HIJRIYAH:
Antara Kalender Ibadah dan Muamalah
oleh: Eko Mardiono
oleh: Eko Mardiono
A. Pendahuluan
Beberapa waktu yang lalu ada seorang wali nikah datang ke KUA
Kecamatan, tempat saya bertugas. Ia bermaksud memberitahukan kehendak nikah
bagi anak perempuannya.
Saya menjadi terperanjat ketika disampaikan bahwa rencana
pernikahan itu akan dilaksanakan tepat pada 1 Syawal 1429 H. Pertimbangannya
karena dulu anak perempuannya itu lahir bertepatan dengan Idul Fitri 1 Syawal.
Saat pendaftaran nikah itu, seketika saya berpikir keras, kapan
jatuhnya 1 Syawal 1429 H? Bukankah sampai saat ini belum ada metode dan
kriteria penetapan awal bulan Qamariyah yang telah disepakati oleh semua pihak?
Lantas penanggalan hijriyah yang ia maksudkan menurut siapa?
Apakah menurut Persis, Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Pemerintah ataukah
lainnya?
Akhirnya, wali nikah tersebut menjelaskan bahwa yang ia maksudkan
adalah penanggalan Hijriyah menurut penetapan Pemerintah.
Kemudian saya jelaskan bahwa kalau demikian rencana hari dan tanggal
pelaksanaan akad nikahnya belum dapat ditentukan pada saat pendaftaran sekarang
ini karena harus terlebih dahulu menunggu sidang itsbat Pemerintah yang baru
akan diselenggarakan di penghujung akhir bulan Ramadan.
Bapak wali nikah tersebut menjadi bingung. Ia merasa bahwa jeda
waktunya sangat amat sempit. Bagaimana ia harus mempersiapkan segala sesuatunya
dalam tempo yang sesingkat itu?
Belum lagi jika nanti ternyata terjadi perbedaan penetapan 1
Syawal 1429 H, bagaimana komunikasinya dengan orang yang berbeda penanggalannya.
Akhirnya, wali nikah tersebut tidak jadi menggunakan kalender
Hijriyah sebagai pedoman. Ia beralih ke kalender Masehi. Baginya, ternyata
kalender Hijriyah tidak dapat dijadikan sebagai acuan dalam berinteraksi sosial
(muamalah).
Persoalannya sekarang adalah dapatkah kalender Hijriyah
dipergunakan sebagai acuan dalam beribadah dan bermuamalah sekaligus?
B. Penanggalan Hijriyah
Memang, dalam diskursus tentang kalender Hijriyah dikenal
adanya hisab urfi dan hisab hakiki. Hisab urfi
adalah sistem perhitungan kalender yang didasarkan pada peredaran rata-rata
bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional.
Sistem hisab urfi ini dimulai sejak ditetapkan
oleh khalifah Umar bin Khattab r.a. (17 H) sebagai acuan untuk menyusun
kalender Islam abadi.
Sistem hisab urfi tak ubahnya seperti kalender Syamsiah (Miladiah).
Bilangan hari pada tiap-tiap bulan berjumlah tetap, kecuali bulan tertentu pada
tahun-tahun tertentu, jumlahnya lebih panjang satu hari.
Oleh karenanya, sistem hisab urfi ini sebenarnya
dapat dijadikan sebagai pedoman dalam berinteraksi sosial.
Hanya saja, ia tidak dapat dipergunakan sebagai acuan dalam
pelaksanaan ibadah (awal dan akhir Ramadan misalnya), karena menurut sistem
ini, umur bulan Sya’ban dan Ramadan adalah tetap, yaitu 29 hari untuk Sya’ban
dan 30 hari untuk Ramadan.
Sedangkan, hisab hakiki adalah sistem hisab yang
didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya.
Menurut sistem ini, umur tiap bulan tidaklah konstan dan juga
tidak beraturan, melainkan tergantung posisi hilal setiap awal bulan. Artinya,
boleh jadi dua bulan berturut-turut berumur 29 hari atau 30 hari. Bahkan, boleh
jadi bergantian seperti menurut hisab urfi.
Di Indonesia, hisab hakiki dapat diklasifikasi
menjadi tiga generasi, yaitu: (1) Hisab hakiki taqribi, (2) Hisab
hakiki tahqiqi, dan (3) Hisab hakiki kontemporer.
Dari aspek ini, sebenarnya hisab hakiki dapat digunakan sebagai
acuan pelaksanaan ibadah sekaligus sebagai pedoman hubungan muamalah (interaksi
sosial).
Dikatakan demikian karena ia selalu memperhitungkan posisi hilal
pada setiap awal bulan, dan perhitungannya pun dibuat jauh sebelumnya.
Hanya saja persoalannya, di dalam hisab hakiki tersebut masih
terdapat beberapa problem yang cukup krusial.
Di antaranya, belum adanya kesepakatan tentang kriteria hisab
hilal itu dan adanya pihak yang mengharuskan perlunya pembuktian dengan rukyah,
terutama pada setiap awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah.
Padahal, rukyah itu sendiri baru bisa dilakukan sesaat sebelum pergantian
bulan yang sedang berjalan.
Hasil rukyahnya pun sangat tergantung kepada cuaca yang tidak
dapat dipastikan. Jika langitnya mendung, penghitungan harinya bisa berubah,
yaitu di-istikmal-kan menjadi 30 hari.
Nah, dalam perspektif ini, jelas kalender Hijriyah walaupun
menggunakan hisab hakiki tetapi ia tidak dapat dipergunakan sebagai pedoman
untuk menyusun planning suatu kegiatan.
Selama ini di Indonesia ada dua mazhab besar yang belum berhasil
ditemukan titik temunya. Yaitu, mazhab rukyah yang direpresentasikan oleh
Nahdhatul Ulama dan mazhab hisab yang disimbolkan oleh Muhammadiyah.
Nahdhatul Ulama melalui Lajnah Bahsul Masail pernah
mengeluarkan keputusan bahwa penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah
adalah atas dasar ru’yah al-hilal atau istikmal,
sebagaimana tersurat dalam keputusan Munas Ulama, 13–16 Rabiul Awal 1404
H/18–21 Desember 1983 M di Situbondo, Jawa Timur.
Keputusan Munas Ulama itu selengkapnya berbunyi sebagai
berikut: “Penetapan Pemerintah tentang awal Ramadhan dan Syawal dengan
menggunakan dasar hisab, tidak wajib diikuti. Sebab menurut Jumhur Salaf bahwa
tsubut awal Syawal dan Ramadhan itu hanya bi al-ru’yah au itmam
al-‘adad tsalatsina yauman. Adapun mengamalkan hisab untuk menetapkan awal
Ramadhan dan Syawal hanya boleh bagi ahli hisab itu sendiri dan orang yang
mempercayainya.”
Sementara itu, Muhammadiyah dalam menetapkan awal dan akhir
Ramadan mengacu hisab wujud al-hilal (milad al-hilal).
Dalam sistem hisab ormas Islam ini terdapat istilah garis
batas wujud al-hilal. Yakni, tempat-tempat yang mengalami
terbenamnya matahari dan bulan pada saat yang bersamaan.
Jika tempat-tempat hilal tersebut dihubungkan, maka akan terbentuk
sebuah garis batas wujud al-hilal.
Wilayah yang berada di sebelah barat garis batas wujud al-hilal,
terbenamnya matahari lebih dahulu daripada terbenamnya bulan.
Oleh karena itu, pada saat terbenamnya matahari, bulan berada di
atas ufuk. Dengan kata lain, bulan sudah wujud.
Sejak terbenamnya matahari tersebut, wilayah termaksud sudah mulai
masuk bulan baru. Sebaliknya, wilayah yang berada di sebelah timur garis batas
wujud al-hilal, terbenamnya bulan lebih dahulu daripada terbenamnya matahari.
Oleh karenanya, pada saat matahari terbenam, bulan berada di bawah
ufuk. Dengan kata lain, bulan belum wujud.
Sejak matahari terbenam dan keesokan harinya, wilayah itu belum
masuk bulan baru melainkan masih termasuk akhir dari bulan yang sedang
berlangsung.
Dalam putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah disebutkan: “Apabila
ahli hisab menetapkan bahwa bulan belum tampak (tanggal) atau sudah wujud
tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataannya ada orang yang melihat pada malam
itu juga, manakah yang muktabar. Majlis Tarjih memutuskan bahwa rukyah lah yang
muktabar. Hal ini didasarkan pada hadis dari Abu Hurairah r.a. riwayat Bukhari
dan Muslim.”
Kalimat “sudah wujud” dalam Putusan Majlis Tarjih mengandung
pengertian bahwa pada saat itu sudah terjadi ijtima’ qabl al-ghurub dan
posisi bulan sudah positif di atas ufuk.
Sedangkan Putusan Majlis Tarjih bahwa “rukyah lah yang muktabar,”
hal ini dengan syarat hilal sudah wujud. Bila hilal belum wujud –yakni posisi
bulan negatif terhadap ufuk—maka ketentuan “rukyah lah yang muktabar”
tidak berlaku.
Demikian ketentuan kedua ormas Islam terbesar di Indonesia yang
pandangan penanggalan hijriyahnya berbeda.
Perbedaan ini membawa konsekuensi, kalender Hijriyah tidak dapat
dijadikan sebagai acuan bermuamalah oleh semua pihak yang lintas golongan.
Untuk mengkompromikan kedua mazhab besar tersebut, sebenarnya
Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Departemen Agama, menawarkan
konsep imkan al-rukyah (posisi hilal yang mungkin dapat
dilihat).
Yaitu, segala hal yang dapat memberikan dugaan kuat (zhanni)
bahwa hilal telah ada di atas ufuk dan mungkin dapat dilihat.
Berdasarkan konsep tersebut di atas, posisi hilal ada tiga
kemungkinan, yaitu: (1) pasti tidak mungkin dilihat (istihalah al-ru’yah),
(2) mungkin dapat dilihat (imkan al-ru’yah), dan (3) pasti dapat dilihat
(al-qath’u bi al-ru’yah).
Musyawarah Kerja Hisab Rukyah pada Maret 1998 di Ciawi, Bogor yang
diselenggarakan oleh Departemen Agama menghasilkan empat kriteria imkan
al-rukyah.
Pertama: Penentuan awal bulan qamariah
didasarkan pada imkan al-rukyah, sekalipun tidak ada laporan ru’yah
al-hilal.
Kedua: Imkan al-rukyah yang
dimaksud didasarkan pada tinggi hilal 2 derajat dan umur bulan 8 jam dari
saat ijtima’ saat matahari terbenam.
Ketiga: Ketinggian dimaksud
berdasarkan hasil perhitungan sistem hisab haqiqi tahqiqi. dan Keempat:
Laporan ru’yah hilal yang kurang dari 2 derajat dapat ditolak.
Hanya saja, menurut hasil penelitian Thomas Djamaluddin, peneliti
bidang matahari dan lingkungan antariksa LAPAN, ada beberapa kriteria imkan
al-ru’yah yang masih perlu direvisi.
Yaitu, ketinggian minimal hilal tidak selalu seragam 2 derajat,
tetapi harus memperhatikan beda azimuth bulan matahari dan
jarak bulan dari matahari minimal 5,6 derajat.
Walaupun kriteria imkan al-rukyah tersebut sampai
saat ini belum diterima oleh semua pihak, tetapi jika melihat realita di
lapangan, maka kemungkinan ke arah sana sangatlah terbuka lebar.
Nahdhatul Ulama dalam keputusannya tentang penetapan 1 Syawal 1418
H beberapa tahun yang lalu telah mengaplikasikan konsep imkan al-rukyah tersebut.
Hal ini terbukti dengan adanya penolakan oleh ormas Islam itu
terhadap laporan rukyah dari Bawean dan Cakung karena posisi hilal di seluruh
Indonesia pada waktu itu tidak mungkin terlihat.
Sementara itu, Muhammadiyah yang memakai sistem hisab wujud
al-hilal sudah mulai memperhatikan minoritas fungsional. Hal ini
terlihat pada tahun 2002.
Berdasarkan perhitungan ahli hisab PP Muhammadiyah yang disebarkan
melalui surat edaran, disebutkan bahwa ijtimak menjelang 1
Syawal 1423 H jatuh pada hari Rabu, 4 Desember 2002, pukul 14.34 WIB.
Saat itu, ketika matahari terbenam, tinggi hilal di Sabang 0
derajat 53 menit 16 detik, Yogyakarta 0 derajat 41 menit 42 detik, dan di
Merauke -0 derajat 25 menit 30 detik.
Akhirnya saat itu, PP Muhammadiyah menetapkan bahwa hari raya Idul
Fitri 1423 H jatuh pada Kamis, 5 Desember 2002.
Namun, dalam kenyataannya Muhammadiyah memberikan “kebebasan”
kepada warganya di bagian timur untuk mengikuti keputusan PP Muhammadiyah atau
keputusan Pemerintah dengan memperhatikan aspek kemaslahatan bagi daerah
setempat.
Salah seorang tokoh Muhammadiyah yang menggagas matlak
minoritas fungsional ini adalah Saadoe’ddin Djambek (mantan rektor
Universitas IKIP Muhammadiyah Jakarta tahun 1959-1962).
Pemikiran Saadoe’ddin Djambek ini kemudian dikembangkan oleh
Susiknan Azhari, ahli falak muda Muhammadiyah, dengan menawarkan sebuah
konsep Wujudul Hilal Nasional.
Menurut teori Susiknan ini, awal bulan qamariyah dimulai apabila
setelah terjadi ijtimak, matahari tenggelam terlebih dahulu
dibandingkan dengan bulan (moonset after sunset) dan pada saat itu
posisi bulan sudah berada di atas ufuk untuk seluruh wilayah Indonesia.
Artinya menurut konsep Wujudul Hilal Nasional ini,
apabila untuk wilayah Indonesia bagian timur bulan belum di atas ufuk, maka
penetapan awal bulannya dihitung satu hari berikutnya walaupun pada saat itu
untuk wilayah Indonesia bagian barat bulan sudah di atas ufuk.
C. Penutup
Demikianlah perkembangan sistem hisab rukyah di Indonesia.
Apabila kelompok yang bermazhab rukyah bisa menerima konsep imkan
al-ru’yah dengan tanpa mengharuskan pembuktian dengan rukyah dan jika
golongan yang bermazhab hisab menerapkan konsep Wujudul Hilal Nasional,
maka bukanlah hal yang mustahil bahwa keseragaman penanggalan Hijriyah di
Indonesia akan menjadi sebuah kenyataan.
Sehingga pada gilirannya, kalender Hijriyah akan siap dijadikan
sebagai acuan, baik sebagai acuan ibadah maupun muamalah.
Konklusi ini bukanlah sebuah utopia belaka. Hal ini karena bagi
Nahdhatul Ulama, yang merupakan representasi mazhab rukyah, bahwa hasil rukyah
dapat ditolak jika ahli hisab berlandaskan dasar-dasar yang qath’i (pasti).
Selain itu, bagi organisasi kaum Nahdhiyyin ini, hasil rukyah pun
dapat ditolak jika jumlah ahli hisab mencapai batas mutawatir.
Di sisi lain, salah satu keputusan Musyawarah Kerja Hisab Rukyah
pada Maret 1998 di Ciawi, Bogor menetapkan bahwa penentuan awal bulan Qamariah
didasarkan pada imkan al-rukyah sekalipun tidak ada
laporan ru’yah al-hilal.
Sebaliknya, bagi Muhammadiyah, yang merupakan simbol mazhab hisab,
konsep Wujudul Hilal Nasional bukanlah barang
asing lagi, apalagi konsep ini merupakan jalan tengah antara teori wujud
al-hilal dan imkan al-ru’yah.
Padahal, teori Wujudul Hilal Nasional ini
akan bisa menjadikan bertemunya antara sistem rukyah dan sistem hisab.
Hal ini karena begitu di wilayah Indonesia bagian timur bulan sudah di atas ufuk, maka secara otomatis hilal di wilayah Indonesia pasti sudah memenuhi kriteria imkan al-ru'yah karena posisi hilalnya pasti lebih tinggi daripada di wilayah Indonesia bagian timur. Wallahu a'lam.
Hal ini karena begitu di wilayah Indonesia bagian timur bulan sudah di atas ufuk, maka secara otomatis hilal di wilayah Indonesia pasti sudah memenuhi kriteria imkan al-ru'yah karena posisi hilalnya pasti lebih tinggi daripada di wilayah Indonesia bagian timur. Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan memberikan komentar di kolom ini. Atas masukan dan kritik konstruktifnya, saya ucapkan banyak terimakasih