PADA awalnya
saya sering diminta panitia acara seminar atau daurah untuk menulis makalah
tentang materi yang akan saya sampaikan. Permintaan ini tentu saja sangat
memberatkan, karena –maaf— sering kali tidak sebanding dengan fee yang akan
diberikan oleh panitia kepada kita.
Ternyata ada
nilai lain dari sebuah makalah. Ia bisa dikembangkan menjadi sebuah buku. Tapi
jangan membuat buku berjudul “Kumpulan Makalah Seminar”, karena tidak menarik.
Apalagi kalau buku “Kumpulan Makalah Gratis”. Makalah harus dikembangkan, bukan
saja dikumpulkan.
Buku “Pernik-pernik Rumah Tangga Islami” lahir dari sebuah makalah yang saya tulis untuk Daurah Munakahat tahun 1990. Makalah tersebut saya kembangkan menjadi sebuah buku saat masih menjadi pengantin baru.
Buku “Pernik-pernik Rumah Tangga Islami” lahir dari sebuah makalah yang saya tulis untuk Daurah Munakahat tahun 1990. Makalah tersebut saya kembangkan menjadi sebuah buku saat masih menjadi pengantin baru.
Buku “Agar
Cinta Menghiasi Rumah Tangga Kita” lahir dari makalah yang saya siapkan untuk
Daurah Keluarga Samara di Balikpapan, ditambah pengayaan saat diskusi dan tanya
jawab di forum daurah.
Buku “Refleksi
Diri Seorang Murabbi” lahir dari makalah yang saya siapkan untuk Daurah Murabbi
sebelum era kepartaian.
Buku “Media Massa Virus Peradaban” lahir dari makalah yang saya siapkan untuk mengisi Pelatihan Jurnalistik saat masih mengurus Balai Jurnalistik Islami (BJI) bersama pak Ilyas Sunnah.
Buku “Menjadi
Murabiyah Sukses” juga hasil kembangan dari makalah-makalah yang biasa saya
sampaikan dalam Daurah Murabbi.
Demikian pula
buku “Fikih Politik Perempuan”, lahir dari makalah yang saya sampaikan dalam
acara Daurah Kemuslimahan di Universitas Islam Bandung.
Ternyata, makalah adalah miniatur buku. Tinggal mengembangkan, ia menjadi sebuah buku.
Selain menulis buku dari makalah, kadang saya menulis buku dari outline yang dibuatkan orang lain.
Misalnya buku
“Di Jalan Dakwah Aku Menikah”, saya menulis dari tawaran outline yang dibuat
oleh Pak Afrizal. Saya merasa outline tersebut sangat membantu saya untuk
menuangkan ide ke dalam tulisan yang sudah distrukturkan.
Oleh karena
itu, buku ini termasuk yang cukup cepat pengerjaannya karena telah terbantu
oleh outline.
Ada pula buku yang lahir karena pertanyaan dan konsultasi. Buku “Bahagiakan Diri dengan Satu Istri” lahir karena amat banyak pertanyaan baik langsung, maupun lewat sms, telepon, email, dan media lainnya, tentang persoalan rumah tangga.
Saya mengemas
berbagai pertanyaan tersebut dalam bentuk sistematika buku, dan akhirnya
ditulis menjadi buku.
Berbeda pula dengan buku “Memoar Cinta di Medan Dakwah”, yang lahir dari renik-renik peristiwa yang saya jumpai dalam perjalanan jaulah dakwah.
Sebagai
pengurus Wilayah Dakwah, saya memiliki banyak kesempatan berinteraksi dengan
beraneka ragam corak permasalahan di wilayah yang terbantang luas, dari Jogja,
Jawa Tengah, Sulawesi, Kepulauan Maluku, sampai Papua.
Setiap kali
menunaikan amanah jaulah, saya mencatat setiap peristiwa menarik yang bisa
menjadi pelajaran berharga bagi dakwah dan jama’ah.
Saya kira, Pak Eko Novianto menulis “Sudahkah Kita Tarbiyah?” dengan cara yang mirip seperti saya ceritakan. Pak Eko menulis berdasarkan pengalaman, pengamatan, perasaan, intuisi yang langsung didapat dari lapangan dakwah, khususnya Jogja dan Jawa Tengah.
Buku “Kemenangan
Cinta” karya Saiful Bahri, seorang ikhwah yang tengah kuliah di Al- Azhar
Mesir, ditulis dengan cara yang serupa pula.
Saya mendapat cerita menarik dari Kyai Mujab Mahalli –Allah yarham. Buku beliau “Menikahlah Engkau Menjadi Kaya” saya kritik saat bedah buku karena isinya tidak sesuai dengan judulnya.
Beliau menjawab
sederhana, “Judul itu untuk pemasaran. Adapun isi, tergantung kita mau nulis
apa”.
Ternyata,
beliau menulis setiap kali hendak mengajar di Pesantren Al Mahalli. Semua
pelajaran yang hendak diajarkan, ditulis terlebih dahulu. Tak heran, lebih dari
100 buku telah beliau terbitkan.
Ada pula orang menulis karena kebutuhan tertentu. Ini pengakuan di Blog Sabil Elmarufie. “Jujur saja, aku terpaksa menulis buku karena punya kebutuhan. Kalau tidak sedang butuh uang, popularitas, dan peningkatan intelektual, aku tidak akan pernah menulis buku.
Uang,
popularitas, dan peningkatan intelektual (UPPI) adalah segerombolan motivator
yang memaksaku menulis buku. Itulah hal pertama yang aku rasakan.
Setelah,
beberapa karya berupa buku lahir maka minimalnya per tiga bulan aku dapat
memenuhi kebutuhan perut, jiwa, dan akalku. Bisa membeli buku, bisa nraktir
kawan-kawan, bisa ngasih sedekah ke fakir miskin, utamanya nama kita bisa
popular.
Intelektualitasku
juga semakin bertambah. Sebab, ada dorongan untuk menjejali diri dengan
pengetahuan.” Testimoni ini saya kutip dari sabil-elmarufie.blogspot.com.
Pernah pula saya mengalami hal serupa. Saya menjual naskah buku “Spiritualitas Dakwah” kepada Penerbit Tarbiatuna, karena mobil Katana saya terpaksa turun mesin yang memerlukan biaya hampir 3 juta rupiah di bengkel Pak Burhan.
Saya menjual
naskah buku “Dialog Peradaban” kepada Penerbit Era Intermedia sekitar tahun
2003 karena kontrakan rumah saya habis dan harus segera membayar sebelum diusir
oleh pemilik rumah.
Akhirnya kebutuhan dana saya waktu itu terpenuhi. Sedangkan di sisi lain, walaupun tidak saya anggap kebutuhan, namun saya mendapatkan pula hasil lainnya. Seperti “dikenal” (belum sampai terkenal), paling tidak jika Anda tulis cahyadi takariawan dan klik di Google, hasilnya akan muncul lebih dari 15.000. Itu semua karena saya menulis buku.
Lebih
menarik lagi, semua perjalanan saya ke luar negeri, adalah karena buku. Lalu
bagaimana memulai menulis buku? Caranya adalah dengan menulis, menulis, dan
menulis. Setelah itu, tulis lagi, tulis lagi dan tulis lagi. Maka jadilah buku
(Cahyadi Takariawan, Senior Editor Era Intermedia).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan memberikan komentar di kolom ini. Atas masukan dan kritik konstruktifnya, saya ucapkan banyak terimakasih