• Keputusan Revolusioner MK Status Anak di Luar Nikah

    Mahkamah Konstitusi membuat keputusan revolusioner bahwa anak yang lahir di luar perkawinan yang sah mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya guna melindungi hak-hak anak yang dilahirkan dan membebani tanggung jawab ayah biologis yang bersangkutan.

  • Revisi UU Perkawinan dan Perlindungan Hak Anak

    UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah direvisi dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 bahwa usia paling rendah seseorang dapat melangsungkan perkawinan adalah 19 (sembilan belas) tahun, baik bagi laki-laki ataupun perempuan.

  • Daftar Nikah di KUA Secara Online Pakai HP

    Sekarang ini calon pengantin dapat daftar nikah secara online pakai HP, kemudian datang ke KUA untuk validasi syarat nikah dan persetujuan waktu akad nikah.

  • Istithaah Kesehatan Jemaah Haji

    Syarat beribadah haji adalah Islam, baligh, berakal, dan istithaah. Syarat Istithaah juga meliputi istithaah menurut standar kesehatan sebagaimana Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2016 tentang Istithaah Kesehatan Jemaah Haji.

  • Ketentuan Kegiatan Peribadatan Masa PPKM Level 4 (Empat)

    Tempat ibadah di kabupaten/kota wilayah Jawa dan Bali dengan kriteria level 4 (empat) dan level 3 (tiga) dapat melaksanakan kegiatan peribadatan/keagamaan berjamaah selama masa penerapan PPKM.

  • Upacara Hari Jadi Kabupaten Sleman

    Warga masyarakat Kabupaten Sleman memperingati Hari Jadi Kabupaten Sleman. Upacara Peringatannya dilaksanakan menurut adat budaya Jawa. Semua peraga upacara berpakaian dan berbahasa Jawa.

  • Pelaksanaan Akad Nikah Masa New Normal Covid-19

    Pada masa New Normal (Tatanan Normal Baru) Pandemi Covid-19 Korona, akad nikah dapat dilaksanakan di Balai Nikah KUA ataupun di luar Balai Nikah KUA Kecamatan dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi.

  • Public Hearing Standar Pelayanan Publik KUA

    UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mengamanatkan bahwa Instansi Pemerintah, termasuk KUA Kecamatan, sebagai penyedia layanan harus menetapkan Standar Pelayanan Publik.

  • Syarat dan Alur Pencatatan Perkawinan

    Setiap perkawinan dicatatkan. Syarat dan prosedur pencatatannya sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan.

  • Praktik Kerja Mahasiswa UIN SUKA di KUA

    Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta melaksanakan praktik kerja lapangan di Kantor Urusan Agama,supaya mahasiswa dapat mengelaborasikan antara teori dan praktik bidang hukum keluarga Islam.

Akta Ikrar Wakaf adalah Bukti Wakaf yang Sempurna

Oleh: Eko Mardiono

Posisi Penting Harta Benda Wakaf
Di tengah dinamika kehidupan sosial ekonomi masyarakat pada era sekarang ini, keberadaan lembaga wakaf menjadi sangat strategis. Lembaga wakaf sebagai filantropi Islam mempunyai dua dimensi, dimensi spiritual dan dimensi sosial.

Dalam dimensi spiritual, lembaga wakaf berperan dalam memupuk kualitas dan kesempurnaan beribadah umat. Dalam dimensi sosial, lembaga wakaf berperan dalam pembangunan kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Oleh karenanya, harta benda wakaf sudah seharusnya terkelola secara baik dan terlindungi keberadaanya. Namun, di lapangan ada beberapa harta benda wakaf yang menghadapi berbagai persoalan dengan dinamikanya masing-masing.

Persoalan-persoalan wakaf itu diantaranya adalah tanah wakaf yang sudah diikrarkan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dan sudah diterbitkan Akta Ikrar Wakaf (AIW) serta sudah ditetapkan Nadzirnya (pengelolanya), namun prosesnya berhenti dan tidak dilanjutkan.

Bahkan, ikrar tanah wakafnya akan dibatalkan. Kemudian akan diikrarkan ulang dengan nadzir yang baru. Pertimbangannya adalah tanah wakaf tersebut belum bersertifikat tanah wakaf dari BPN. Baru diterbitkan AIW oleh PPAIW. Nadzir wakafnya pun akan diganti.

Persoalannya sekarang: (1) Dapatkah ikrar tanah wakaf dibatalkan karena belum terbit sertifikat tanah wakaf dari BPN? (2) Dapatkah dilaksanakan ikrar tanah wakaf ulang dengan nadzir yang baru? (3) Bagaimana sebenarnya kekuatan pembuktian AIW dan nadzir wakaf yang telah ditetapkan oleh PPAIW KUA Kecamatan?

Akta Ikrar Wakaf Bukti Sempurna Wakaf
Peraturan perundang-undangan menetapkan, harta benda wakaf yang sudah diikrarkan tidak dapat dibatalkan, baik oleh salah satu pihak (wakif) maupun oleh kedua belah pihak (wakif dan nadzir).

Pasal 3 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menegaskan, wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan.

Namun, apabila ternyata ikrar wakaf tanahnya dibatalkan sendiri oleh wakif yang bersangkutan karena belum terbit sertifikat tanah wakaf dari BPN, bolehkah dilaksanakan ikrar wakaf ulang dengan nadzir yang baru.

Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 2004 pasal 3, harta benda yang telah diikrarkan wakaf oleh wakif di hadapan PPAIW tidak dapat dicabut. Oleh karenaya, tidak dapat pula dilaksanakan ikrar wakaf ulang, apalagi ikrar wakafnya dengan nadzir wakaf yang baru pula.

Apabila ikrar wakafnya dicabut dan kemudian diikrarkan wakaf ulang, maka hal itu sama artinya menganggap tidak pernah ada Akta Ikrar Wakaf yang telah diterbitkan oleh PPAIW dan nadzir wakaf yang telah ditetapkan oleh PPAIW pula.  Hal itu sama artinya menafikan eksistensi PPAIW.

Padahal ikrar wakaf itu benar-benar telah dilaksanakan oleh wakif di hadapan PPAIW dan ikrar wakaf itu juga benar-benar telah dituangkan dalam AIW serta nadzir wakafnya telah ditetapkan oleh PPAIW pula.

Mengapa sampai ada yang menganggap, ikrar wakaf di hadapan PPAIW dapat dibatalkan dan kemudian diikrarkan ulang dengan nadzir wakaf yang baru?

Hal itu sampai terjadi karena beberapa sebab. Di antaranya bisa jadi karena masih ada yang menganggap, bukti tanah wakaf hanyalah sertifikat tanah wakaf yang dikeluarkan oleh BPN.

Mereka seakan menganggap, selama belum ada sertifikat tanah wakaf yang dikeluarkan oleh BPN, maka ikrar wakafnya dianggap belum terjadi walaupun telah diterbitkan AIW oleh PPAIW. AIW dianggap hanyalah merupakan salah satu syarat pengurusan sertifikat tanah wakaf di BPN.

Padahal sebenarnya AIW itu sendiri merupakan sebuah akta otentik. AIW itu merupakan akta otentik atas pernyataan kehendak wakif yang mewakafkan harta benda miliknya guna dikelola oleh nadzir sesuai dengan peruntukan harta benda wakaf yang dituangkan dalam bentuk akta (Pasal 1 ayat 6 PP Nomor 42 Tahun 2006).

AIW sebagai sebuah akta otentik pun mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. AIW sebagai sebuah akta otentik mempunyai 3 (tiga) kekuatan pembuktian, yaitu kekuatan pembuktian lahir (uitwendige bewijskracht), kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht), dan kekuatan pembuktian materiil (materieel bewijskracht).

Kekuatan pembuktian lahir (uitwendige bewijskracht) dari AIW terletak pada naskah otentik itu sendiri yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam pembuatan AIW. Dengan adanya AIW, maka dengan sendirinya telah terbukti bahwa harta benda wakaf itu telah diwakafkan.

Apabila ada pihak yang menganggap AIW itu tidak benar, maka pembuktian tidak benarnya AIW itu dibebankan pada pihak yang menyangkal otentisitas AIW tersebut. Selama tidak ada bukti sebaliknya, maka pembuktian AIW itu dianggap benar adanya.

Kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht) dari AIW terletak pada pembuktian kebenaran yang dilihat, didengar, dan dikerjakan oleh PPAIW. Oleh karenanya, dianggap pasti benar tentang hari, tanggal, tempat dibuatnya AIW tersebut, dan tanda tangan oleh PPAIW dan para pihak.

PPAIW dan para pihak yang menandatangani AIW pun dianggap benar-benar menerangkan segala hal yang tertuang dalam AIW itu.

Demikianlah kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht) dari AIW sebagai sebuah akta otentik yang diterbitkan oleh PPAIW.

Adapun kekuatan pembuktian materiil (materieel bewijskracht) dari AIW adalah bahwa isi dari keterangan dalam AIW tersebut dianggap benar bagi PPAIW dan para pihak yang membuat keterangan itu.

Apabila ada pihak lain yang menganggap keterangan AIW itu tidak benar, maka pihak lain itulah yang dibebani untuk membuktikan kebenaran sanggahannya. Selama tidak terbukti sebaliknya, maka keterangan dalam AIW itu dianggap benar adanya.

Demikianlah kekuatan AIW sebagai sebuah akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna yang meliputi 3 (tiga) pembuktian. Yaitu kekuatan pembuktian lahir (uitwendige bewijskracht), kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht), dan kekuatan pembuktian materiil (materieel bewijskracht).

Oleh karena itu, ikrar wakaf dan AIW tidak dapat dibatalkan begitu saja walaupun belum terbit sertifikat tanah wakaf dari BPN. Ikrar wakaf ulang pun tidak diperlukan karena ikrar wakafnya tidak dapat dibatalkan.

AIW merupakan akta otentik sebagai bukti sempurna bahwa suatu harta benda telah diwakafkan.

Pergantian Nadzir Wakaf
Apabila ternyata wakifnya merasa tidak tepat dalam memilih nadzir wakaf saat ikrar wakaf dahulu kemudian menginginkan ganti nadzir, lantas dapatkah ikrar wakafnya diulang dengan nadzir yang baru?

Pertanyaan di atas mengemuka karena AIW dipahami bukan sebagai sebuah akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak pula didasarkan pada pasal 3 UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, bahwa wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan.

Sebenarnya kalaupun wakif ataupun pihak-pihak tertentu menghendaki ganti nadzir, maka hal itu ada ketentuannya tersendiri dalam peraturan perundang-undangan. Tidak dengan serta merta meminta untuk mengulang ikrar wakaf yang telah dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf oleh PPAIW.

Pasal 45 UU Nomor 41 Tahun 2004 menetapkan bahwa dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, nadzir dapat diberhentikan dan diganti dengan nadzir lain karena beberapa alasan. Pemberhentian dan penggantian nadzirnya dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia.

Badan Wakaf Indonesia pun telah mengeluarkan Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penggantian Nazhir Harta Benda Wakaf Tidak Bergerak Berupa Tanah.

Apabila nadzirnya telah diganti, harta benda wakafnya kemudian didaftarkan atas nama nadzir yang mengganti. Namun, terdaftarnya harta benda wakaf atas nama nadzir pengganti itu tetap tidak membuktikan kepemilikan nadzir atas harta benda wakaf tersebut. Harta benda wakaf adalah milik umat sebagai mauquf alaih (pengguna).

Masa bakti nazhir adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali. Dengan demikian, nazhir wakaf diperbaharui setiap 5 (lima) tahun sekali (Pasal 14 PP Nomor 42 Tahun 2006).

Nadzir pun wajib membuat laporan pelaksanaan tugasnya kepada Menteri dan Badan Wakaf Indonesia (Pasal 13 PP Nomor 42 Tahun 2006).

Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan oleh nadzir baru karena penggantian nadzir lama, harus dilakukan dengan tetap memperhatikan peruntukan harta benda wakaf yang ditetapkan oleh wakif pada saat ikrar wakaf dahulu sebagaimana tertuang dalam AIW. 

Eksistensi AIW dan PPAIW 
Berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagaimana diuraikan di atas, tampak bahwa wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan walaupun belum terbit sertifikat tanah wakaf dari BPN. Oleh karenanya, tidak ada ikrar wakaf ulang.

AIW sebagai sebuah akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian sempurna yang meliputi 3 (tiga) pembuktian. Yaitu kekuatan pembuktian lahir (uitwendige bewijskracht), kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht), dan kekuatan pembuktian materiil (materieel bewijskracht).

Kalaupun dikehendaki pergantian nadzir, maka harus diajukan permohonan ganti nadzir wakaf atas nadzir wakaf sebelumnya yang telah ditetapkan. Pergantian nadzir wakaf ini dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia menurut ketentuan yang berlaku.

Pada akhirnya di sertifikat tanah wakaf yang diterbitkan oleh BPN didaftarkan atas nama nadzir wakaf yang baru. Namun, terdaftarnya harta benda wakaf atas nama nadzir tersebut tidak membuktikan kepemilikan nadzir atas harta benda wakaf.

Harta benda wakaf adalah milik umat sebagai mauquf alaih (pengguna) untuk dikelola dan dikembangkan oleh nadzir sesuai dengan peruntukan yang telah ditetapkan oleh wakif pada saat ikrar wakaf sebagaimana tertuang dalam AIW.

Pelayanan dan bimbingan wakaf merupakan salah satu tugas dan fungsi Kantor Urusan Agama Kecamatan.

Oleh karenanya, administrasi dan pelayanan bimbingan wakaf sudah semestinya mendapatkan perhatian dari semua pihak sebagaimana perhatian terhadap tugas fungsi pelayanan nikah/rujuk dan tugas fungsi-tugas fungsi KUA Kecamatan lainnya.

Demikian semoga bermanfaat dan terimakasih. Waallahu a'lam bish shawab.
Share:

Perbup. Sleman Nomor 37.1 Tahun 2020 Penerapan Disiplin Aman Covid-19

Share:

Keutamaan Bulan Muharam dalam Islam

Oleh: Eko Mardiono

Pendahuluan

Ada empat bulan yang disucikan Islam, yaitu bulan: Zulqaidah, Zulhijjah, Muharam, dan Rajab. Allah SWT berfirman:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوْا الْمُشْرِكِيْنَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ (التوبة: 36)

Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS at-Taubah: 36)

Nabi Muhammad SAW bersabda :                 

إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ  وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُوْ الْقَعْدَةِ وَذُوْ الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِيْ بَيْنَ جُمَادَى  وَشَعْبَانَ (رواه البخاري ومسلم)

Artinya: “Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan di antaranya terdapat empat bulan yang dihormati, tiga bulan berturut-turut; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram serta satu bulan yang terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat di antara bulan Jumadil Akhir dan Sya’ban.” (HR. Bukhari  dan Muslim).                         

Keistimewaan Bulan Muharam

§  Bulan Muharam merupakan bulan pertama dalam penanggalan Hijriah.

§  Bulan Muharam termasuk empat bulan yang diistimewakan dalam Islam.

§  Nama Muharam secara bahasa berarti diharamkan.

                                       

Menurut Abu ‘Amr ibn Al ‘Alaa, dinamakan muharram (diharamkan) karena  pada bulan tersebut diharamkan terjadinya peperangan (jihad).

Keutamaan Puasa di Bulan Muharam 

Rasulullah SAW bersabda:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ  بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ (رواه مسلم)

Artinya: “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram dan shalat yang paling utama setelah puasa wajib adalah sholat lail.” (HR. Muslim).

Aisyah RA berkata:              

مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ (رواه البخاري ومسلم)

Artinya: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW berupaya keras untuk puasa pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari ‘Asyura dan bulan ini yaitu Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah SAW memerintahkan umat Islam berpuasa pada tanggal 10 Muharam (Asyura).        

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ فَرَأَى الْيَهُوْدَ تَصُوْمُ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوْا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ  هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوْسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ (رواه البخاري ومسلم)

Artinya: “Ibnu Abbas RA berkata: Ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura, maka Beliau bertanya : “Hari apa ini?. Mereka menjawab, “Ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, Karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini. Rasulullah SAW pun bersabda, “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian“. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan shahabatnya untuk berpuasa di tahun yang akan datang (HR. Bukhari dan Muslim).

Puasa Sehari Sebelum atau Sesudah 10 Muharam

Ketika Rasulullah SAW sedang berpuasa 10 Muharram, para sahabat bertanya kepada beliau “Ya Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani”. 

Rasulullah SAW pun bersabda:                       

فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ -إِنْ شَاءَ اللَّهُ- صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ (رواه مسلم)

Artinya: “Kalau aku masih hidup tahun depan, maka sungguh aku akan berpuasa pada tanggal 9 Muharram (bersama 10 Muharram).“ (HR. Muslim)

Hal tersebut dilakukan sebagai pembeda antara puasa orang Yahudi dengan umat Islam.

Nabi Muhammad SAW bersabda:

صُومُوْا يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَخَالِفُوْا فِيْهِ الْيَهُوْدَ صُوْمُوْا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا (رواه مسلم)

Artinya: “Berpuasalah pada hari ‘Aasyuura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“ [HR Muslim).

Keutamaan Puasa Asyura

Allah SWT akan mengampuni dosa-dosanya di tahun yang lalu.

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ صِيَامُ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ (رواه الترمذي وابن ماجة وأحمد)

Artinya: “Dari Abu Qatadah RA bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, Puasa hari ‘Asyura aku berharap kepada Allah semoga Dia menghapuskan dosa-dosa tahun lalu” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Share:

Perka BKN Nomor 14 Tahun 2020 ttg Perubahan atas Perka BKN No. 6 Tahun 2020 ttg Pelaksanaan Pembinaan Jabatan Fungsional Penghulu

Share:

Lebih Utama Mana Kurban Sapi atau Kambing?

Oleh: Eko Mardiono

Pertanyaan
Ada seorang Shahibul Qurban (orang yang berkurban) pada saat penyembelihan hewan kurban Idul Adha 1441 H/2020 M di Masjid Ussisa Alat Taqwa Geblog, Cangkringan, Sleman yang bertanya. Ia bertanya beberapa hal, yaitu:
1.    Lebih utama mana berkurban sapi atau berkurban kambing?

2.    Dapatkah kurban hewan tidak ditentukan shahibul qurban-nya?
Hal ini ditanyakan karena di kalangan masyarakat banyak orang yang lebih memilih untuk ikut berkurban sapi berkelompok 7 (tujuh) orang, padahal kelompoknya sudah penuh 7 (tujuh) orang.
Sementara itu, shahibul qurban yang lain tidak mau berkurban berupa kambing karena dagingnya lebih sedikit dibandingkan berkurban berupa sapi.
 
3.   Dalam pembagian 1/3 (sepertiga) daging kurban untuk shahibul qurban-nya dalam peristiwa seperti itu, dapatkah pembagian dagingnya disamaratakan untuk semua shahibul qurban, baik yang berkurban hewan sapi atau yang berkurban hewan kambing?
 
Sehingga, mereka sama-sama mendapatkan bagian yang sama dari sepertiga daging sapi dan dari sepertiga dari daging kambing.
 
Jawaban
Terimakasih atas pengajuan pertanyaannya. Akan dijawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Semoga dapat dijawab dengan tepat dan sesuai Syariat serta dapat memberikan jalan keluar dalam menghadapi dinamika pengamalan ajaran agama di tengah-tengah masyarakat.

Pertanyaan Pertama: Lebih utama mana berkurban sapi atau berkurban kambing?

Jawab: Apabila ibadah hewan kurbannya adalah masing-masing oleh satu orang atau sendiri, maka urutan keutamannya adalah pertama berkurban berupa unta oleh satu orang, kemudian kedua berkurban berupa sapi oleh satu orang, kemudian ketiga berkurban berupa kambing oleh satu orang.
 
Dalam hal urutan keutamaan jenis hewan ini memang tidak ada hadis Nabi SAW yang secara langsung menerangkan tentang keutamaan jenis hewan kurban Walaupun demikian, hal ini dapat diqiyaskan (dikomparasikan) pada hadits Nabi Muhammad SAW yang memberikan gambaran imbalan pahala bagi gelombang orang yang datang berjamaah shalat Jumat di masjid.
 
Nabi Muhammad SAW bersabda:
مَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْأُولَى فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً
Artinya: “Barangsiapa yang berangkat (shalat Jum’at) pada jam pertama, maka seakan-akan dia berkurban dengan unta; Barangsiapa yang berangkat pada jam ke-2, maka seakan-akan dia berkurban dengan sapi; Barangsiapa yang berangkat pada jam ke-3, maka seakan-akan dia berkurban dengan kambing jantan; Barangsiapa yang berangkat pada jam ke-4, maka seakan-akan dia berkurban dengan ayam; Barangsiapa yang berangkat pada jam ke-5, maka seakan-akan dia berkurban dengan telur.” [HR Bukhari Muslim]
 
Hanya saja, urutan keutamaan jenis hewan Kurban akan berbeda apabila berkurbannya berupa unta atau sapi tetapi tidak oleh satu orang, melainkan oleh 7 (tujuh) orang. Urutan keutamaan berkurbannya berubah menjadi yang pertama berkurban kambing satu orang, kemudian kedua berkurban unta tujuh orang, kemudian ketiga kurban sapi tujuh orang.

Jadi, dalam hal ini yang lebih utama adalah berkurban berupa kambing satu orang daripada berkurban sapi berkelompok 7 (tujuh) orang.
 
Jawaban keutamaan berkurban berupa kambing ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW, bahwasanya beliau berkurban berupa kambing.
عَنْ أَنَسٍ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَحَّى بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ الْكَرِيْمَةِ سَمَّى وَكَبَّرَ (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: Dikabarkan oleh Anas bahwasanya Rasulullah telah berkurban dengan dua ekor kambing yang baik-baik. Beliau sembelih sendiri. Beliau baca bismillah dan bertakbir (HR Bukhari Muslim).
 
Sahabat Abu Ayyub berkata:
كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِه.
Artinya: ”Pada masa Rasulullah SAW seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai kurban bagi dirinya dan keluarganya.” [HR Tirmidzi]
 
Banyak ulama yang menyatakan bahwa berkurban seekor kambing adalah lebih utama dibandingkan berkurban seekor sapi berkelompok 7 (tujuh) orang.
 
Ibnu Qudamah  (Hanabilah) menyatakan:
والشاة أفضل من شرك (أي : الاشتراك) في بدنة, لأن إراقة الدم مقصودة في الأضحية, والمنفرد يتقرب بإراقته كله.
Artinya: “Berkurban seekor kambing lebih utama dibandingkan berkurban berkelompok berupa unta. Hal itu karena tujuan utama ibadah kurban adalah iraqah ad-dam (menumpahkan darah). Satu orang, bisa berkurban dengan menyembelih satu ekor utuh.” (al-Mughni, 9/439).
 
As-Syirazi (Syafiiyah) menyatakan:
والشاة أفضل من مشاركة سبعة في بدنة أو بقرة لأنه يتفرد بإراقة دم.
Artinya: “Berkurban dengan seekor kambing adalah lebih afdhal dibandingkan berkurban berkelompok berupa unta atau sapi bersama 7 (tujuh) orang, karena berkurban seekor kambing berarti menumpahkan  darah (menyembelih) sendirian.” (al-Muhadzab, 1/433).

Ibnu Utsaimin menjelaskan:
الأفضل من الأضاحي : الإبل ، ثم البقر إن ضحى بها كاملة ، ثم الضأن ، ثم المعز ، ثم سُبْع البدنة ، ثم سبع البقرة.
Artinya: “Kurban yang paling afdhal adalah unta, lalu sapi jika kurbannya utuh (tidak berkelompok), kemudian domba, kemudian kambing, kemudian sepertujuh unta, kemudian sepertujuh sapi.” (Ahkam al-Udhhiyah)
 
Akan tetapi, ada ulama lain yang berpandangan berbeda, yaitu bahwa kalaupun Rasulullah SAW berkurban berupa kambing, tetapi hal itu karena beliau berkeinginan tidak memberatkan umatnya.
 
Menurut ulama ini, Nabi Muhammad SAW dalam memberikan contoh tidak selalu memilih yang paling baik, tetapi memilih yang memudahkan umatnya.
 
Pandangan seperti itu sebagaimana pernyataan ulama tersebut seperti berikut ini:
إنه صلى الله عليه وسلم قد يختار غير الأولى رفقاً بالأمة؛ لأنهم يتأسون به، ولا يحب صلى الله عليه وسلم أن يشق عليهم، وقد بين فضل البدنة على البقر والغنم كما سبق.
Artinya: “Nabi Muhammad SAW terkadang tidak memilih yang terbaik karena rasa sayang Beliau SAW kepada umatnya. Hal itu  karena umat manusia akan berusaha mengikuti perbuatan Beliau SAW. Beliau SAW tidak ingin memberatkan umatnya dan Beliau pun telah menjelaskan keunggulan unta dibandingkan sapi dan kambing.” [Fatwa AL-Lajnah Ad-Daimah 11/398]
 
Dengan demikian, untuk di Indonesia yang tidak ada hewan untanya, maka urutan terbaik hewan kurbannya adalah sebagai beriktu pertama kurban berupa sapi untuk satu orang, kemudian kedua kurban kambing untuk satu orang, kemudian ketiga kurban sapi untuk tujuh orang.
 
Namun, untuk berkurban yang berkelompok, maka urutan keutamannya berubah, yaitu yang pertama kurban kambing satu orang, kemudian yang kedua kurban sapi untuk tujuh orang.
 
Sebenarnya semua jenis hewan kurban, baik unta, sapi ataupun kambing adalah baik sesuai dengan kondisi wilayah dan kemampuan masing-masing orang yang akan berkurban.
 
Hal ini sebagaimana yang ditekankan oleh syaikh Abdul Aziz bin Baz, bahwa setelah menjelaskan urutannya, beliau mengatakan bahwa semua jenis hewan adalah baik untuk berkurban:
فالمقصود أن الضحية بالغنم أفضل، ومن ضحى بالبقرة أو بالإبل -الناقة عن سبعة والبقرة عن سبعة- كله طيب.
Artinya: “Bahwa berkurban dengan kambing memang lebih baik daripada berkurban sapi dan unta berkelompok tujuh orang. Walaupun demikian. semua jenis hewan kurban adalah baik."
 
Memang harus diakui apabila berkurbannya berupa sapi, maka daging hewan kurbannya akan lebih banyak dibandingkan dengan berkurban berupa kambing.
 
Ibadah kurban itu memang sejatinya juga ada dimensi ibadah sosialnya. Yaitu dengan beribadah kurban, seseorang dapat memberikan daging kurban minimal duapertiganya pada orang banyak.
 
Akhirnya, masalah keutamaan jenis hewan semuanya kembali kepada niat dan pertimbangan masing-masing shahibul qurban (orang yang berkurban). Apakah akan berkurban sapi ataukah akan berkurban kambing.
 
Berkurban kambing pun tidak kalah utamanya dibandingkan berkurban dengan sapi.

Pertanyaan Kedua: Dapatkah kurban hewan tidak ditentukan shahibul qurban-nya?

Jawab: Secara prinsip ibadah kurban harus jelas siapa shahibul qurbannya (siapa orang yang berkurban) dan harus jelas berupa apa hewan kurbannya.

Hal itu karena terkait dengan niat shahibul qurban, apakah dia berniat berkurban berupa sapi ataukah berniat berkurban berupa kambing dan juga terkait dengan hak sepertiga bagian dari daging hewan qurban yang akan diterimanya.
 
Permasalahan ini mengemuka karena di tengah-tengah masyarakat banyak orang yang lebih memilih untuk ikut berkurban berupa sapi berkelompok 7 (tujuh) orang dibandingkan berkurban kambing, padahal kelompok kurban sapinya sudah penuh 7 (tujuh) orang.
 
Sementara itu, shahibul qurban lainnya tidak mau berkurban berupa kambing karena menganggap dagingnya lebih sedikit dibandingkan dengan daging kurban sapi.
 
Dalam hal ini, sejatinya yang perlu dipahami oleh semua pihak ialah bahwa yang sampai ke hadirat Allah SWT adalah takwanya, bukan dagingnya. Allah SWT berfirman:
 لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقۡوَىٰ مِنكُمۡۚ٣٧
Artinya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamu lah yang dapat mencapainya.” (QS. al-Hajj: 37)

Berdasarkan firman Allah SWT di atas, memang yang sampai kepada Allah SWT adalah takwanya, bukan dagingnya.

Namun, yang perlu diingat pula bahwa segala amal perbuatan manusia tergantung pada niatnya. Setiap orang pun akan mendapatkan pahala (imbalan) dari Allah SWT sesuai dengan yang diniatkannya.

Apabila seseorang berniat berkurban sapi, maka ia akan mendapatkan pahala berkurban sapi. Begitu juga jika ia berniat berkurban kambing, maka ia pun akan mendapatkan pahala berkurban kambing. 

Nabi Muhammad SAW bersabda:

اِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ و اِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى....(رواه البخاري ومسلم)

Artinya: Sesungguhnya amal perbuatan orang tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan (pahala) sesuai dengan niatnya (HR Bukhari dan Muslim)

Adapun jika di tengah-tengah masyarakat ada shahibul qurban yang semuanya menginginkan mendapatkan bagian yang sama karena mereka iurannya sama, maka dapat ditempuh langkah-langkah sebagai berikut.

Pertama-tama harus ditentukan terlebih dahulu, siapa di antara para shahibul qurban yang distatuskan dan berniat berkurban sapi dan siapa yang distatuskan dan berniat berkurban kambing.

Langkah pertama ini penting karena terkait dengan hadis Nabi SAW bahwa amal ibadah seseorang tergantung pada niatnya. Dengan demikian, harus ditentukan siapa yang berkurban sapi dan siapa yang berkurban kambing.

Pertanyaan Ketiga: Dapatkah pembagian dagingnya disamaratakan untuk semua shohibul qurban, baik yang distatuskan dan berniat berkurban sapi ataupun yang distatuskan dan berniat berkurban kambing?

Jawab: Dalam peristiwa seperti ini, pembagian daging kurban untuk semua shahibul qurban dapat disamaratakan, tetapi dengan syarat para shahibul qurban terlebih dahulu dan telah bersepakat untuk mengumpulkan kembali bagian daging yang telah diterimanya menjadi satu, kemudian dibagi rata di antara mereka.

Jadi para shahibul qurban terlebih dahulu bersepakat dan merelakan, bahwa bagian sepertiga daging hewan qurban yang telah mereka terima itu dikumpulkan kembali menjadi satu, baik yang bagian daging qurban sapi ataupun yang berupa bagian daging kurban kambing.

Kesepakatan dan kerelaan para shahibul qurban ini tidak menyalahi ketentuan aturan hukum karena daging qurban tersebut sudah menjadi hak milik masing-masing shahibul qurban.

Misalnya ada 9 (sembilan) shahibul qurban. Masing-masing memberikan iuran yang sama, yaitu sebesar Rp. 3 juta. Kemudian terkumpul uang Rp. 27 juta. Lalu, dibelikan seekor sapi Rp. 21 juta dan 2 (dua) ekor kambing Rp. 6 juta.

Dalam hal ini, tujuh orang shahibul Qurban terlebih dahulu harus distatuskan dan berniat berkurban sapi. Dua orang shahibul qurban lainnya distatuskan dan berniat berkurban kambing.

Lalu, sepertiga bagian daging sapi dikumpulkan jadi satu dengan sepertiga bagian daging kambing. Kemudian dibagi rata untuk 9 (sembilan) orang shohibul qurban.

Dengan langkah-langkah seperti ini, maka niat shohibul qurban terpenuhi dan pemerataan bagian daging di antara semua shohibul qurban juga terpenuhi. Masyarakat penerima daging kurban pun terpenuhi haknya 2/3 (dua pertiga) daging hewan kurban.

Pendapat seperti ini didasarkan pada beberapa dasar (dalil), yaitu:

Dasar Pertama: Bahwa yang sampai kepada Allah SWT adalah ketakwaannya, bukan dagingnya sebagaimana firman Allah SWT surat al-Hajj ayat 37.

 لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقۡوَىٰ مِنكُمۡۚ٣٧

Artinya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamu lah yang dapat mencapainya.” (QS. al-Hajj: 37)

Dengan demikian, tidak jadi permasalahan apakah kurbannya itu berupa sapi ataukah berupa kambing karena yang sampai ke Allah SWT adalah takwanya, bukan dagingnya.

Dasar Kedua: Bahwa hal itu tidak mengurangi hak 2/3 (dua pertiga) bagian daging sapi dan hak 2/3 (dua pertiga) bagian daging kambing bagi orang lain (masyarakat) yang berhak menerima (mustahiq). Shahibul qurban pun hanya mengambil haknya sendiri, yaitu mengambil bagian dari sepertiga daging sapi dan dari sepertiga daging kambing sesuai dengan status dan niat masing-masing.

Kalaupun ada perbedaan asal daging dari sapi dan dari kambing di antara shahibul qurban, maka bagian sepertiga daging kurban itu sejatinya sudah menjadi niat dan hak milik masing-masing shahibul qurban itu, yang mereka sudah bersepakat dan saling merelakan untuk saling bertukar daging sapi dan kambing yang telah mereka terima.

Dasar Ketiga: Bahwa hal itu tetap memenuhi fungsi ibadah sosial dari Syariat ibadah kurban. Yaitu tetap dapat memberikan bagian 2/3 (dua pertiga) daging sapi dan 2/3 (dua pertiga) daging kambing kepada masyarakat.

Dalam hal ini, shahibul qurban tetap dapat memberikan bagian 2/3 (dua pertiga) daging sapi, juga tetap dapat memberikan bagian 2/3 (dua pertiga) daging kambing kepada masyarakat.

Demikian jawaban atas tiga pertanyaan di atas yang dapat diberikan.

Semoga jawaban ini menjadi sebuah jawaban yang sesuai dengan ketentuan Syariat Islam dan dapat memberikan jalan keluar atas persoalan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Amiin. Wallahu a’lam bish shawab.

Share:

PASANGAN HIDUP

Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). (QS. an-Nur: 26)

Maka, jadilah yang baik, kamu pun mendapatkan yang baik.

PENGHULU

Kedudukan Penghulu
Penghulu berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional di bidang kepenghuluan pada Kementerian Agama.
Tugas Penghulu
Penghulu bertugas melaksanakan kegiatan pelayanan dan bimbingan nikah atau rujuk, pengembangan kepenghuluan, dan bimbingan masyarakat Islam.

SUKSES PENGHULU

Raih Angka Kredit Penghulu: Putuskan apa yang diinginkan, tulis rencana kegiatan, laksanakan secara berkesinambungan, maka engkau pun jadi penghulu harapan.

Categories

Followers

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *