• Keputusan Revolusioner MK Status Anak di Luar Nikah

    Mahkamah Konstitusi membuat keputusan revolusioner bahwa anak yang lahir di luar perkawinan yang sah mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya guna melindungi hak-hak anak yang dilahirkan dan membebani tanggung jawab ayah biologis yang bersangkutan.

  • Revisi UU Perkawinan dan Perlindungan Hak Anak

    UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah direvisi dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 bahwa usia paling rendah seseorang dapat melangsungkan perkawinan adalah 19 (sembilan belas) tahun, baik bagi laki-laki ataupun perempuan.

  • Daftar Nikah di KUA Secara Online Pakai HP

    Sekarang ini calon pengantin dapat daftar nikah secara online pakai HP, kemudian datang ke KUA untuk validasi syarat nikah dan persetujuan waktu akad nikah.

  • Istithaah Kesehatan Jemaah Haji

    Syarat beribadah haji adalah Islam, baligh, berakal, dan istithaah. Syarat Istithaah juga meliputi istithaah menurut standar kesehatan sebagaimana Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2016 tentang Istithaah Kesehatan Jemaah Haji.

  • Ketentuan Kegiatan Peribadatan Masa PPKM Level 4 (Empat)

    Tempat ibadah di kabupaten/kota wilayah Jawa dan Bali dengan kriteria level 4 (empat) dan level 3 (tiga) dapat melaksanakan kegiatan peribadatan/keagamaan berjamaah selama masa penerapan PPKM.

  • Upacara Hari Jadi Kabupaten Sleman

    Warga masyarakat Kabupaten Sleman memperingati Hari Jadi Kabupaten Sleman. Upacara Peringatannya dilaksanakan menurut adat budaya Jawa. Semua peraga upacara berpakaian dan berbahasa Jawa.

  • Pelaksanaan Akad Nikah Masa New Normal Covid-19

    Pada masa New Normal (Tatanan Normal Baru) Pandemi Covid-19 Korona, akad nikah dapat dilaksanakan di Balai Nikah KUA ataupun di luar Balai Nikah KUA Kecamatan dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi.

  • Public Hearing Standar Pelayanan Publik KUA

    UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mengamanatkan bahwa Instansi Pemerintah, termasuk KUA Kecamatan, sebagai penyedia layanan harus menetapkan Standar Pelayanan Publik.

  • Syarat dan Alur Pencatatan Perkawinan

    Setiap perkawinan dicatatkan. Syarat dan prosedur pencatatannya sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan.

  • Praktik Kerja Mahasiswa UIN SUKA di KUA

    Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta melaksanakan praktik kerja lapangan di Kantor Urusan Agama,supaya mahasiswa dapat mengelaborasikan antara teori dan praktik bidang hukum keluarga Islam.

Bukti Fisik Angka Kredit Penghulu

Oleh: Eko Mardiono

“Menjadi lebih sulit, rumit, dan lebih banyak membutuhkan duit”, demikian komentar sebagian penghulu pasca keluarnya Peraturan Dirjen Bimas Islam Nomor: DJ.II/426 Tahun 2008 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tugas dan Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Penghulu.

Komentar semacam itu mengemuka karena bukti fisik yang ditentukan oleh Petunjuk Teknis tersebut lebih rinci, detail, dan konkret, sehingga lampirannya menjadi lebih tebal dan lebih banyak menyita waktu, tenaga, dan beaya.

Di kalangan penghulu juga timbul pertanyaan, “Kalau bukti fisiknya seperti itu, bukankah waktu penghulu nanti akan habis hanya untuk membuat bukti fisik angka kredit?,” lantas, “Kapan penghulu mempunyai waktu untuk melayani masyarakat, bukankah tugas utama penghulu adalah sebagai pelayan publik?”

Jawaban terhadap pertanyaan penghulu tersebut dapat ditemukan dalam Peraturan MENPAN Nomor: PER/62/M.PAN/6/2005; tentang Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya.

Oleh Peraturan ini, pembuatan bukti fisik angka kredit justru dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. 

Peraturan MENPAN ini seakan menggunakan logika bahwa karena penghulu membutuhkan bukti fisik, maka ia akan mengerjakan model NC, misalnya.

Sebab penghulu memerlukan syarat untuk naik pangkat, maka ia akan memberi tanda bukti telah mendaftar kehendak nikah kepada calon pengantin, contoh lainnya.

Lantaran penghulu menghajatkan peningkatan tunjangan fungsionalnya, maka ia akan giat menulis artikel di media massa untuk mengkomunikasikan ide dan gagasannya, dan begitu seterusnya. 

Logika yang dikemukakan ini dapat terbaca dalam bagian pertimbangan Peraturan MENPAN tersebut, bahwa fungsionalisasi jabatan penghulu bertujuan untuk mengembangkan karier penghulu yang bersangkutan dan meningkatkan kualitas profesionalisme penghulu dalam menjalankan tugas di bidang kepenghuluan.

Persoalannya sekarang adalah bagaimana rumusan format bukti fisik angka kredit tersebut sehingga tujuan fungsionalisasi jabatan penghulu dapat tercapai?

Mayoritas penghulu, bahkan mungkin semuanya, menghendaki agar rumusannya simpel dan praktis tetapi tetap memenuhi standar petunjuk teknis sebagaimana yang telah ditetapkan?

Realisasi perumusan format bukti fisik yang ideal semacam ini jelas membutuhkan upaya yang komprehensif dan kerjasama yang sinergis dari semua pihak.

Tidak cukup diserahkan kepada ijtihad masing-masing penghulu. Hal ini karena hasil format bukti fisik tersebut harus berstandar nasional. Tidak cukup berupa “kebijaksanaan” lokal.

Hal itu karena ia tidak hanya akan digunakan oleh penghulu pertama dan penghulu muda, tetapi juga akan dipakai oleh penghulu madya yang penilaian angka kreditnya dilakukan oleh Tim Penilai Tingkat Departemen Agama Pusat Jakarta.

Mengingat begitu strategis dan vitalnya perumusan format bukti fisik angka kredit penghulu tersebut, maka sudah sewajarnyalah bila diadakan sebuah agenda, tim, dan alokasi dana khusus untuk itu. 

Pertama-tama, tim merumuskan prinsip-prinsip umumnya. 

Kemudian, tim dibagi ke dalam komisi-komisi sesuai dengan bidang yang akan dibuatkan format bukti fisiknya, yaitu: (1) komisi bidang pendidikan, (2) komisi bidang pelayanan dan konsultasi nikah/rujuk, (3) komisi bidang pengembangan kepenghuluan, dan (4) komisi bidang pengembangan profesi penghulu.

Bahkan jika memungkinkan, tim mengundang reviewer dan pembahas yang berkompeten di bidangnya.

Sehingga dengan demikian, hasil rumusannya menjadi tidak parsial dan tidak sepotong-potong. Ia akan dapat digunakan oleh semua penghulu, baik oleh penghulu pertama, penghulu muda, ataupun penghulu madya.

Ia akan dapat diterima, baik oleh Tim Penilai Tingkat Kabupaten/Kota, Tim Penilai Tingkat Propinsi, maupun Tim Penilai Tingkat Pusat.

Tulisan ini disusun untuk mencoba menawarkan acuan perumusan format bukti fisik termaksud.

Tulisan ini mengupayakan agar hasil rumusannya nanti bersifat simpel dan praktis, tetapi tetap memenuhi standar petunjuk teknis. 

Sudah barang tentu, tulisan ini tidak sampai menghasilkan rumusan yang konkret dan menyeluruh. 

Menurut penulis, langkah yang paling pertama dan utama adalah mengklasifikasikan bukti fisik angka kredit penghulu berdasarkan kronologi waktu dan kesamaan jenis.

Pengklasifikasian ini sangatlah urgen karena untuk menentukan mana bukti fisik yang harus diselesaikan pada saat kegiatan itu terjadi, mana yang dapat ditunda, dan mana yang harus dibuat untuk setiap peristiwa, serta mana yang bisa cukup dibuat secara rekap.

Di samping itu, pengkategorian tersebut juga bermanfaat untuk mengidentifikasi mana bukti fisik yang bisa digabung dan mana yang tidak.

Sebagai contoh adalah bukti fisik melakukan pendaftaran dan penelitian kelengkapan administrasi pendaftaran kehendak nikah/rujuk (b.1), bukti fisik mengolah dan menverifikasi data calon pengantin (b.2), bukti fisik menyiapkan bukti pendaftaran nikah/rujuk (b.3), dan bukti fisik melakukan penetapan dan/atau penolakan kehendak nikah/rujuk dan menyampaikannya (b.4). 

Keempat bukti fisik ini dapat dikategorikan yang harus diselesaikan pada saat pendaftaran itu juga, tidak bisa dibarengkan dengan menunggu datangnya peristiwa pendaftaran nikah lainnya.

Oleh karenanya, ia tergolong satu bukti fisik untuk satu peristiwa. Hanya saja, keempatnya dapat digabung dalam satu bukti fisik karena kesamaan jenis dan waktunya.

Dalam hal ini, dapat dirumuskan sebuah format dan redaksi kalimat dalam satu lembar kertas yang bisa mencakup keempat kegiatan tersebut.

Kecuali, jika dalam satu KUA terdapat penghulu pertama dan penghulu muda/madya, maka penggabungan keempatnya tidak dapat dilakukan secara keseluruhan karena bukti fisik b.1, b.2, dan b.3 merupakan hak penghulu pertama, sedangkan bukti fisik b.4 merupakan wewenang penghulu muda/madya.

Selain bukti fisik-bukti fisik tersebut, yang juga termasuk kategori yang harus selesai pada saat peristiwa terjadi dan dibuat untuk setiap satu peristiwa ini adalah bukti fisik bahwa penghulu menerima taukil wali nikah.

Hal ini karena bukti fisik tersebut harus ditandatangani oleh wali nikah yang bersangkutan.

Adapun bukti fisik yang termasuk kategori untuk kegiatan yang akan datang sebetulnya dapat juga dibuat secara kolektif (rekap) walaupun tidak selalu demikian.

Contohnya adalah bukti fisik tentang surat tugas kepala KUA kepada penghulu untuk memimpin pelaksanaan akad nikah.

Kepala KUA dapat saja membuat surat tugas setiap 10 hari sekali atau dua minggu sekali dengan lampiran rincian calon pengantin mana dan pelaksanaan akad nikah kapan saja yang dimandatkan.

Sudah barang tentu, dasar surat tugasnya adalah nama calon pengantin, nomor pendaftaran, dan tanggal pelaksanaan akad nikah, bukan nomor dan tanggal akta nikah karena keduanya belum diketahui.

Langkah ini sangatlah mungkin karena kebanyakan calon pengantin mendaftarkan kehendak nikahnya paling lambat 10 hari sebelum pelaksanaan akad nikah.

Kalaupun seandainya ada calon pengantin yang mendaftar secara mendadak dengan dispensasi camat, maka kepala KUA dapat membuat surat tugas tersendiri.

Paling tidak, alternatif langkah seperti ini dapat lebih meringkas, bahwa satu lembar bukti fisik bisa untuk beberapa kegiatan.

Begitu juga bukti fisik lain yang pembuatannya dapat ditunda. Pengerjaannya pun dapat dibuat secara rekap.

Hal ini karena bukti fisiknya berupa surat keterangan yang dibuat oleh kepala KUA, dan yang perlu digarisbawahi di sini adalah surat keterangan kepala KUA tersebut dibuat untuk kegiatan yang telah dilaksanakan. 

Untuk menguji validitas opini ini, ada beberapa pertanyaan yang dapat diajukan. Yaitu, adakah batasan jeda waktu maksimal antara pembuatan surat keterangan dengan kejadian peristiwanya? 

Haruskah surat keterangan kepala KUA dibuat sesaat setelah penghulu memberikan khutbah nikah, doa, dan memandu pembacaan sighat taklik talak?

Apakah tidak diperbolehkan surat keterangan tersebut dibuat pada setiap akhir bulan secara rekap dengan berdasarkan “berita acara” yang terdapat dalam lembar model NB?

Bukankah dalam model NB sudah tercantum bahwa suami membaca sighat taklik talak atau tidak?

Kalau suami membaca sighat taklik talak, siapa lagi yang memandunya kalau bukan penghulu yang bertugas?

Kalaupun toh “berita acara” bahwa penghulu telah memberikan khutbah nikah dan doa tidak tercantum dalam model NB, apakah tidak begitu halnya dengan surat keterangan kepala KUA walaupun ia dibuat sesaat sesudahnya? 

Apakah keduanya tidak sama-sama dibuat berdasarkan “kejujuran” keterangan yang diberikan oleh seorang pejabat yang bernama penghulu sebab kepala KUA memang tidak ikut menghadiri pelaksanaan akad nikahnya?

Sekali lagi yang perlu ditekankan di sini adalah, Petunjuk Teknisnya menentukan bahwa surat keterangan tersebut dibuat oleh kepala KUA dengan tidak ditandatangani oleh para pihak mempelai dan wali nikah.

Selain itu, yang juga termasuk dalam kategori terakhir ini adalah bukti fisik untuk kegiatan konseling/penasihatan bagi calon pengantin, misalnya kegiatan analisis kebutuhan konseling/penasihatan calon pengantin dan bukti fisik menyusun materi dan desain pelaksanaannya.

Dalam perspektif teori pengklasifikasian ini, keduanya pun dapat diupayakan dibuat secara rekap. Begitu juga bukti fisik-bukti fisik lain yang pembuatannya tidak harus selesai pada saat terjadinya peristiwa.

Mengenai ini, penulis berpendapat bahwa pada prinsipnya semua kegiatan yang pembuatan bukti fisiknya dapat ditunda atau dibuat lebih dulu daripada pelaksanaan kegiatannya, maka bukti fisik tersebut dapat dibuat secara rekap sesuai dengan kelompok jangka waktu yang disepakati.

Apabila bukti fisik itu dibuat untuk suatu kegiatan sebelum pelaksanaan akad nikah atau suatu kegiatan lainnya, maka yang dijadikan dasar adalah nama calon pengantin dan nomor pendaftaran kehendak nikah atau data-data lainnya yang telah teridentifikasi.

Sebaliknya, bila dibuat setelah pelaksanaan kegiatannya, maka yang dijadikan pijakan pembuatan bukti fisiknya adalah nomor dan tanggal akta nikah atau data-data lain kegiatan termaksud.

Upaya pengklasifikasian, pemisahan, dan penggabungan ini jelas akan mempertipis dan memperingan pembuatan bukti fisik angka kredit penghulu.

Memang harus diakui bahwa pengerjaan format bukti fisik berdasarkan pengklasifikasian seperti itu akan bersifat variatif, kondisional, dan kasuistik sehingga tidak selalu sama. 

Sebenarnya yang paling mudah dan sederhana adalah rumusan format yang dibuat bahwa setiap satu bukti fisik untuk satu kegiatan walaupun hal itu ada sedikit kendala karena lebih banyak membutuhkan waktu, tenaga, dan beaya.

Kendala inipun sejatinya tidak lagi menjadi persoalan karena era sekarang ini teknologi informasi sudah begitu canggih. Semuanya akan berpulang kepada SDM yang bersangkutan.

Demikian, sedikit wacana tentang upaya perumusan format bukti fisik angka kredit penghulu.

Sudah barang tentu, tulisan ini hanyalah opini awal untuk menuju format bukti fisik yang praktis tetapi komprehensif, sehingga dua tujuan utama fungsionalisasi jabatan penghulu dapat tercapai, yaitu (1) mengembangkan karier penghulu yang bersangkutan dan (2) meningkatkan kualitas profesionalisme penghulu dalam menjalankan tugas di bidang kepenghuluan.

Semoga bermanfaat.
Share:

Otoritas Agama Majelis Ulama Indonesia

MUI PEMEGANG OTORITAS AGAMA?
Oleh: Eko Mardiono

Pasca mengeluarkan beberapa fatwa kontroversial, Majlis Ulama Indonesia (MUI) diprotes berbagai kalangan. Mulai dari tidak menghiraukan seruan fatwanya, mencela cara berpikirnya, sampai menuntut pembubaran lembaganya. Terutama terkait dengan fatwa MUI tentang Rokok Haram yang dapat mengancam keberlangsungan kehidupan sosial ekonomi.

Dalam dalam ini, apakah Islam mengenal lembaga pemegang otoritas? Kalau ya, apa hak, wewenang, dan batasannya?

Semua agama, sebagaimana semua kelompok sosial dan politik, memang memiliki proses atau metode untuk menciptakan dan menentukan otoritas. Otoritas bisa bersifat formal atau informal. Secara mendasar, otoritas menentukan apa yang bisa dijadikan sandaran dan apa yang seyogyanya diikuti.

Dalam konteks Islam, pemegang otoritas mengkomunikasikan kepada para penganutnya, apa yang dapat disepakati, apa yang dapat diterima, dan apa yang mengikat, serta apa yang secara formal dipandang sebagai bagian dari agama mereka.

Akan tetapi, di zaman modern ini, umat Islam telah didera krisis otoritas yang telah memburuk hingga mencapai titik chaos yang akut. Di dunia Islam, ada banyak kelompok yang seolah-oleh berbicara atas nama Tuhan, namun tidak banyak yang mau mendengarkannya.

Di era modern ini pun, terdapat banyak klaim kontradiktif yang dibuat atas nama Tuhan, tetapi tatkala dikembalikan kepada syariat Islam, ternyata klaim tersebut sangat tergantung kepada pemegang otoritas itu sendiri.

Berdasarkan studi historis-empiris, ternyata agama sarat dengan berbagai “kepentingan” yang menempel dalam ajaran dan batang tubuh ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri.

Campur aduk dan berkaitnya “agama” dengan berbagai “kepentingan” sosial kemasyarakatan merupakan salah satu persoalan keagamaan kontemporer yang paling rumit untuk dipecahkan.

Oleh karenanya, sangat sulit menjumpai sebuah agama tanpa terkait dengan “kepentingan” kelembagaan, kekuasaan, dan interest-interest tertentu betapapun tingginya nilai sosial yang dikandung oleh kepentingan tersebut.

Apakah MUI termasuk di dalamnya? Yang jelas, salah satu tujuan kelahiran MUI adalah untuk menjebatani antara aspirasi umat Islam di satu sisi dan kepentingan pemerintah di lain sisi.

Selain itu, sebuah fatwa ---sesuai dengan namanya--- baru dikeluarkan apabila ada permintaan penetapan hukum suatu masalah dari pihak-pihak tertentu. Dari sini terlihat, bahwa semua fatwa MUI pasti berkaitan dengan kepentingan tertentu.

Hanya saja persoalannya, kuasakah MUI menjaga netralitas dan objektifitas dalam memberikan fatwa? Di samping itu, mampukah MUI merujukkan sebuah gagasan tentang perubahan dengan sifat agama sebagai pembawa kebenaran abadi dan perenial?

Secara prinsip dan ideal, untuk memahami agama secara tepat, seseorang harus juga memanfaatkan sejumlah besar pengetahuan dari luar wilayah khas agama itu sendiri.

Teori-teori kosmologis, antropologis, dan linguistik selalu membatasi dan mengikat pemahaman tentang agama dan harapan-harapan terhadapnya.

Sebelum upaya apa pun untuk memahami agama, suatu kerangka epistemologis, linguistik, kosmologis, dan antropologis sudah ada. Setiap pemahaman dicapai dalam konstelasi seperti itu, dan ditakdirkan untuk menjadi padu atau koheren di dalam kerangka seperti itu pula.

Kerangka ini bisa meluas, juga bisa menyempit. Makin luas kerangka, makin luas pula horizon bagi pemahaman agama. Sebaliknya, makin dibatasi atau disempitkan kerangkanya, maka akan sempit pula suatu pemahaman atas teks-teks agama.

Dalam upaya pemahaman terhadap teks-teks keagamaan ini dapat diaplikasikan pendekatan hermeneutika. Pendekatan ini dinilai tepat karena ia mempertimbangkan kepentingan tiga komponen utama, yaitu pengarang (author), pembaca (reader), dan teks (text).

Hermeneutika ialah penafsiran suatu teks, yang merupakan proses transformasi pemikiran dari yang kurang jelas atau ambigu menuju ke yang lebih jelas atau konkret.

Penafsiran atau pemahaman teks secara hermeneutis merupakan produk interaksi yang hidup dan dinamis antara ketiga elemen pelaku itu.

Dengan demikian, ada proses penyeimbangan antara berbagai muatan kepentingan yang dibawa oleh masing-masing pihak dan terjadi proses negosiasi (negotiating process) yang terus menerus, tak kenal henti antarketiga pihak terkait.

Ada tiga perangkat kerangka analisis epistemologis yang dapat diaplikasikan dalam pemahaman agama ini, yaitu Epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani. Hanya saja, model kerjanya harus dengan memanfaatkan gerak putar hermeneutis, yang pola hubungan ketiganya bersifat sirkular.

Yaitu, menjadikan teks sebagai sumber ilmu nalar bayani; menjadikan pengalaman langsung (direct experience) sebagai sumber nalar irfani; dan menjadikan realitas (al-waqi’) sebagai sumber nalar burhani.

Validitas nalar bayani akan dikembalikan kepada kedekatan dan keserupaan teks atau nash dengan realitas. Validitas nalar irfani lebih diacukan pada kematangan social skill (empati, simpati, verstehen).

Validitas burhani ditekankan pada korespondensi (al-mutabaqah baina al-‘aql wa nizam al-tabi’ah), yakni kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh akal manusia dengan hukum-hukum alam).

Apabila MUI mengaplikasikan prinsip, metode, dan perangkat kerangka analisis epistemologis tersebut, tidak mustahil lembaga keagamaan itu akan mendapatkan respon positif dari publik.

Hal ini karena MUI akan memberikan fatwa-fatwa yang problem solving dalam realita kehidupan. Karena dengan demikian, MUI akan berhasil memadukan antara kebaqaan dan kefanaan.

Memang harus diakui, MUI boleh memiliki pendapat dan keyakinan, tetapi ia tak boleh mempunyai hak veto. Di dalam masyarakat ini tidak ada yang sakral.

Meskipun agama itu sendiri sakral, tetapi penafsirannya tidak sakral. Sebab itu, hasil penafsiran agama tersebut dapat dikritik, dimodifikasi, diverifikasi, dan didefinisikan kembali.

Pemahaman keagamaan oleh para ulama, intelektual, dan orang-orang yang terpelajar sama sekali tidak di atas kritik. Setiap pemahaman yang tepat terhadap agama oleh mereka bergantung pada perumusan suatu upaya yang sistematik, metodik, rasional, dan bisa dijustifikasi. Wallahu a’lam.
Share:

Fatwa MUI: Rokok Haram?

ROKOK HARAM:
Sebuah Fatwa Hukum Kontekstual dan Gradual?
Oleh: Eko Mardiono
                    
Begitu beragam reaksi publik terhadap fatwa-fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan beberapa waktu yang lalu. Ada yang pro, tetapi tidak sedikit yang kontra.

Sebagaimana diketahui, MUI telah mengeluarkan beberapa fatwa yang kontroversial. Salah satunya berupa fatwa, bahwa rokok adalah haram bagi ibu-ibu hamil, anak-anak, remaja, di tempat umum, dan bagi pengurus MUI sendiri.

Bagi publik yang tidak setuju, fatwa MUI tersebut dianggap tidak peka lingkungan. Ia bisa berdampak negatif terhadap usaha perkebunan tembakau, dunia kerja, dan sosial kemasyarakatan.

Menurutnya, pendapatan mereka bisa berkurang. Omzet penjualan produksi perusahaan rokok bisa merosot. Pada akhirnya, PHK dan pengangguran tak terhindarkan. Masyarakat pun menjadi resah.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana tingkat kepekaan para ulama yang tergabung dalam MUI tersebut? Tidak tahukah mereka bahwa bangsa ini sedang menghadapi kemiskinan yang sangat serius?

Bukankah mereka sendiri mengatakan bahwa kefakiran adalah dekat dengan kekafiran? Sebenarnya mereka tahu kondisi kehidupan umatnya, tetapi mengapa mengeluarkan fatwa seperti itu?

Persoalan-persoalan inilah yang akan diurai oleh tulisan ini.

MUI memang menghadapi keadaan yang sangat dilematis. Satu sisi, MUI menyadari bahwa rokok dengan berbagai jaringannya menjadi salah satu motor penggerak ekonomi bangsa.

Namun di lain sisi, rokok juga bisa membawa pengaruh negatif terhadap pemberdayaan ekonomi itu sendiri dan para konsumen beserta orang-orang sekitarnya.

Pemerintah pun telah memberikan peringatan bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin.

Para anak-anak dan remaja yang masih duduk di bangku sekolah tidak sedikit yang kecanduan rokok. Padahal, mereka belum mampu mencari uang.

Orang-orang miskin pun banyak yang tidak bisa melepaskan diri dari candu rokok, lantas bagaimana dampak terhadap ekonomi keluarganya?

Bagaimana pula dengan hak asasi orang-orang yang berada di sekitar orang yang merokok? Bukankah menurut penelitian, dampak negatif bagi perokok pasif lebih berbahaya daripada perokok itu sendiri?

Menghadapi dilema tersebut, selama ini mayoritas ulama menghukumi rokok dengan makruh secara mutlak. Artinya, bila merokok, tidak berdosa, tetapi jika meninggalkannya, akan mendapatkan pahala.

Ternyata, penetapan hukum makruh tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap perubahan perilaku umat. Kebanyakan orang akan tetap merokok karena menganggap bahwa hal itu memang tidak berdosa.

Dengan perkataan lain, penetapan hukum makruh memang berhasil mempertahankan eksistensi produksi rokok dengan berbagai jaringan ekonominya.

Tetapi di sisi lain, ia tidak kuasa mengendalikan dampak negatif dari penggunaan tembakau, baik dari aspek ekonomi itu sendiri, kesehatan, maupun lingkungan sekitar konsumennya.

Dalam dataran ini, MUI mencoba untuk memberikan solusi alternatif. Sebuah problem solving yang diyakininya sebagai win-win solution.

Langkah strategis MUI ini tampaknya mengikuti tahapan-tahapan yang ditempuh Alquran ketika akan mengharamkan khamr (minuman keras) dan maisir (perjudian) yang sudah mencandu di kalangan bangsa Arab saat itu. Alquran mengambil langkah secara kontekstual dan gradual.

Pertama-tama, Alquran menegaskan bahwa kurma dan anggur dapat menghasilkan dua hal yang berbeda, yaitu minuman yang memabukkan dan rizki yang baik (Q.S. an-Nahl: 67).

Pada tahap berikutnya, Alquran menerangkan bahwa dalam khamr dan maisir selain terdapat kerusakan (mafsadat), juga terdapat kebaikan (manfaat), hanya saja, kerusakannya lebih besar daripada kebaikannya (Q.S. al-Baqarah: 219).

Sampai dua ayat Alquran ini turun, umat Islam saat itu masih banyak yang minum khamr karena memang mereka menganggap di dalamnya juga terdapat banyak manfaat.

Langkah selanjutnya yang diambil oleh Alquran adalah melokalisasi tempat dan waktu minum khamr. Umat Islam dilarang atau haram melakukannya tatkala akan melaksanakan salat (Q.S. an-Nisa’: 43).

Saat itu, umat Islam pun mentaatinya, tetapi begitu selesai salat dan kembali ke rumahnya, mereka kembali minum khamr. Baru kemudian, pada akhirnya Alquran secara mutlak menetapkan bahwa hukum khamr dan judi adalah haram (Q.S. al-Maidah: 90).

Dalam perspektif tersebut, MUI telah berupaya menetapkan fatwa sesuai dengan konteksnya. Diharapkannya semua kepentingan dapat terakomodasi.

Rokok ditetapkan haram dengan beberapa spesifikasi, yaitu dalam rangka melindungi pihak-pihak tertentu yang sangat rentan menjadi korban. Rokok tetap dihukumi makruh, yaitu bagi pihak-pihak dan di tempat-tempat tertentu adalah dalam rangka menetapkan hukum secara gradual.

Dengan demikian, eksistensi sosial-ekonomi produksi rokok dapat berlangsung sesuai dengan konteksnya, tanpa harus mengorbankan pihak-pihak lain.

Fatwa MUI tentang rokok ini akan menemukan korelasinya tatkala dikaitkan dengan RUU tentang Penanganan Dampak Produk Tembakau Bagi Kesehatan, yang saat ini sudah berhasil masuk dalam Program Legislasi Nasional DPR RI.

Ada hal-hal krusial yang tercantum dalam RUU ini. Di antaranya, pertama, cukai rokok akan dinaikkan sangat tinggi, sehingga anak sekolah dan orang miskin tidak mampu membelinya.

Selama ini, rokok dari AS di Indonesia hanya dijual US$ 93 sen dan Pemerintah hanya memungut cukai Rp. 4.000,-. Padahal, di Singapura rokok itu dijual US$ 7,5.

Seandainya disamakan dengan Singapura, maka Pemerintah akan bisa menerima cukai rokok tidak hanya Rp. 50 triliun, tetapi 10 kali lipatnya.

Kedua, sponsorship olahraga dan kepemudaan, pemberian beasiswa, dan iklan-iklan di media massa oleh perusahaan-perusahaan rokok akan dibatasi secara proporsional. Dana alternatifnya akan diambilkan dari hasil cukai rokok yang sudah sangat tinggi tersebut.

Ketiga, dalam RUU ini juga dicantumkan bahwa demi kepentingan umum merokok di tempat publik akan dilarang.

Terakhir keempat, RUU ini disusun atas asumsi bahwa berapa pun harganya, rokok akan tetap dibeli para pecandunya.

Jika memang demikian, apakah semua ini berarti bahwa fatwa MUI tentang rokok menjadi relevan dan proporsional serta sesuai dengan situasi dan kondisinya, sehingga dapat diterima? Wallahu a’lam bish shawab.
Share:

PASANGAN HIDUP

Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). (QS. an-Nur: 26)

Maka, jadilah yang baik, kamu pun mendapatkan yang baik.

PENGHULU

Kedudukan Penghulu
Penghulu berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional di bidang kepenghuluan pada Kementerian Agama.
Tugas Penghulu
Penghulu bertugas melaksanakan kegiatan pelayanan dan bimbingan nikah atau rujuk, pengembangan kepenghuluan, dan bimbingan masyarakat Islam.

SUKSES PENGHULU

Raih Angka Kredit Penghulu: Putuskan apa yang diinginkan, tulis rencana kegiatan, laksanakan secara berkesinambungan, maka engkau pun jadi penghulu harapan.

Categories

Followers

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *