Oleh: Eko Mardiono
Sang Pejabat diidentifikasi telah melanggar berbagai peraturan perundangan. Ia telah melanggar UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Orang. Serta melanggar moral etika yang seharusnya seorang pejabat mampu menjadi suri tauladan.
Nikah sirri dan cerai via SMS seperti
itu akan berdampak negatif terhadap pihak yang lemah, terutama perempuan dan
anak. Hak yang paling asasi mereka bisa terabaikan.
Persoalan krusial ini sangatlah urgen untuk
dikritisi mengingat beberapa saat yang lalu umat manusia baru saja memperingati
Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, yaitu pada 25 November 2012 dan juga
akan memperingati Hari Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 2012.
Terkait dengan perceraian (talak) via SMS yang
menghebohkan ini, ada satu hasil Ijtima’ Ulama Majelis Ulama
Indonesia (MUI) yang sangat penting untuk dicermati.
Hasil ijtima’ ulama itu dikhawatirkan
justru akan berkontribusi besar terhadap maraknya perceraian yang dilakukan
oleh suami secara sepihak.
Sebagaimana siaran persnya pada 1 Juli 2012, MUI menyatakan bahwa talak di luar pengadilan hukumnya sah. Masa iddah (masa tunggu)-nya pun dihitung sejak suami menjatuhkan talak di luar pengadilan tersebut.
MUI hanya mengharuskan para pihak untuk
melaporkan (ikhbar) perceraiannya ke Pengadilan Agama.
Memang, MUI mensyaratkan bahwa talak di luar
pengadilan harus mempunyai alasan syar’i yang kebenarannya dapat dibuktikan di
pengadilan. MUI memang juga merekomendasikan agar Pemerintah bersama ulama
melakukan edukasi kepada masyarakat untuk memperkuat lembaga pernikahan dan
tidak mudah menjatuhkan talak.
Selain itu, MUI memang juga mengharuskan, bahwa
jika suami menceraikan istrinya, maka ia harus menjamin hak-hak istri yang
diceraikan itu dan hak anak-anak mereka.
Namun, realita membuktikan bahwa pengakuan
keabsahan perceraian (talak) di luar pengadilan justru menyuburkan perceraian
secara sepihak oleh suami. Isteri yang berada dalam posisi yang lemah tidak
mempunyai daya tawar yang sebanding.
Nantinya, Pengadilan Agama pun hanyalah
berfungsi sebagai pemberi stempel (legal formal) terhadap perceraian
(talak) yang telah terjadi di luar sidang.
Suami dan isteri yang bersangkutan pun akan
memahami bahwa mereka secara agama ---sebagaimana menurut MUI--- telah
absah bercerai. Mereka datang ke Pengadilan Agama hanyalah untuk menyampaikan
laporan (ikhbar).
Menurut hemat penulis, hasil Ijtima’
Ulama tentang Talak di Luar Pengadilan ini merupakan langkah mundur dalam
Pembangunan Hukum Islam di Indonesia.
Selama ini menurut hukum Islam di Indonesia
sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU Perkawinan, dan UU
Peradilan Agama, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan.
Itu pun harus ada cukup alasan, bahwa antara
suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri (pasal
39 UU Perkawinan).
Dalam hal ini, MUI tampak kembali ke pemahaman
fikih klasik, bahwa suami mempunyai hak mutlak untuk menjatuhkan talak kapan
pun dan di mana pun, bahkan tanpa seorang saksi pun.
Hal itu berbeda dengan Hukum Islam (peraturan
perundangan) di Indonesia, bahwa cerai talak yang asalnya dalam fikih klasik
sifat perkaranya mirip volunter (permohonan) ditingkatkan menjadi gugat contentiosa
(gugatan) dengan ketentuan: suami sebagai pemohon yang berkedudukan sebagai
"penggugat" dan isteri sebagai termohon yang berposisi sebagai
"tergugat" dan proses pemeriksaannya berdasar atas asas audi et
alteram partem.
Dengan model dan sistem pembaharuan Hukum Islam
di Indonesia sebagaimana tersebut di atas, maka kepentingan kedua belah
pihak, terutama isteri dan anak, dapat lebih terlindungi.
Sehingga, perceraian di luar pengadilan apalagi lewat SMS diharapkan tidak terjadi lagi karena umat sudah tercerahkan bahwa cerai (talak) di luar pengadilan hukumnya adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan dan kepastian hukum.
Perceraian dan ikrar talak harus diikrarkan suami di depan sidang pengadilan dan masa iddahnya pun dihitung sejak suami mengikrarkan talak di depan sidang pengadilan itu. Wallahu a'lam.
Sehingga, perceraian di luar pengadilan apalagi lewat SMS diharapkan tidak terjadi lagi karena umat sudah tercerahkan bahwa cerai (talak) di luar pengadilan hukumnya adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan dan kepastian hukum.
Perceraian dan ikrar talak harus diikrarkan suami di depan sidang pengadilan dan masa iddahnya pun dihitung sejak suami mengikrarkan talak di depan sidang pengadilan itu. Wallahu a'lam.
Tulisannya saya simak, mohon izin !
BalasHapusYa, silakan. Terimakasih, semoga bermanfaat.
Hapus