Oleh: Eko Mardiono
A. Pendahuluan
Selasa, 26 Oktober
2010 pukul 17.02 WIB Merapi meletus. Letusan ini pun diikuti beberapa letusan
berikutnya.
Letusan tersebut menjadikan Merapi memasuki tahap erupsi, yang
belum dapat diprediksi sampai kapan erupsi tersebut berlangsung.
Dari satu masa
erupsi ke masa erupsi lainnya, Merapi memang selalu menunjukkan gejala yang
berbeda.
Oleh karenanya,
gejala erupsi tahun-tahun sebelumnya tidak dapat dijadikan sebagai acuan secara
persis.
Walau demikian, gejala erupsi Merapi tahun 2010 ini pun dapat
dipelajari oleh ahlinya.
Letusan Merapi yang terjadi Selasa petang itu mengakibatkan jatuhnya korban
jiwa dan harta benda yang tidak sedikit.
Kenapa hal itu
sampai terjadi? Bukankah erupsi Merapi telah terjadi secara periodik, sehingga
dapat dikenali gejalanya, dan ditentukan langkah antisipasinya?
Sebetulnya BPPTK (Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian)
Yogyakarta sudah memberikan langkah-langkah antisipasi.
BPPTK telah
memberikan tahapan-tahapan status Merapi dengan berbagai konsekuensinya. Secara
bertahap, BPPTK telah menetapkan status Merapi, mulai dari waspada, siaga,
sampai awas.
Ketika Merapi
berstatus awas pun, BPPTK telah menginstruksikan agar penduduk yang bertempat
tinggal dalam radius 10 km dari puncak Merapi agar mengungsi.
Bahkan, pada
Selasa 26 Oktober itu, BPPTK telah memerintahkan agar semuanya telah dievakuasi
paling lambat pukul 15.00 WIB.
Tetapi, apa yang
terjadi? Ternyata, masih banyak warga yang belum memasuki barak pengungsiannya.
Akhirnya, kita pun menjadi berduka karena banyaknya jatuh korban.
Banyak penyebab, kenapa mereka tidak segera memasuki barak pengungsian. Di
antaranya, mereka harus tetap bekerja untuk menyambung hidup.
Mereka harus
mencarikan dan memberi makan hewan ternak yang mereka pelihara. Mereka juga
harus mengamankan rumah beserta harta bendanya.
Di samping itu,
mereka juga mempercayai adanya firasat batin dan pasrah pada takdir Tuhan.
Sebagian mereka pun sangat percaya, pasti akan ada firasat batin jika akan
terjadi mara bahaya dan semuanya akan kembali kepada takdir-Nya.
Padahal sebenarnya
suatu firasat batin dan takdir Tuhan tidak terlepas dari gejala alam semesta.
Bagaimana agama memandang persoalan-persoalan tersebut?
B. Pengejawantahan Ajaran Agama
M. Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Quran (2000) menegaskan bahwa Islam
memerintahkan kepada umatnya agar senantiasa memperhatikan gejala alam sebagai
sumber ilmu demi kemaslahatan umat manusia di muka bumi.
Banyak ayat-ayat
Alquran yang mendukung hal itu. Misalnya, Alquran Surat Yunus ayat 101
memerintahkan, “Perhatikanlah apa yang terdapat di langit dan di bumi....”
Al-Ghasyiyah ayat
17-20 juga menegaskan, “Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta
diciptakan, bagaimana langit ditinggikan, bagaimana gunung ditancapkan, dan
bagaimana bumi dihamparkan.”
Selain itu, Islam
memang juga mengenal sumber ilmu yang berasal dari firasat dan intuisi, yang
dapat diraih melalui penyucian hati (Q.S. al-A’raf (7): 146).
Sudah barang
tentu, ilmu-ilmu yang berasal dari berbagai sumber tersebut saling melengkapi
dan menyempurnakan. Bukan jutru saling bertentangan.
Ilmu yang berasal dari jagat alam raya, firasat, dan intuisi itupun dapat
diperoleh melalui pendengaran, pengamatan, penalaran, dan ketulusan hati.
Alquran Surat
an-Nahl ayat 78 menerangkan, “....dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur (dengan menggunakannya sesuai dengan
petunjuk Ilahi untuk memperoleh pengetahuan).”
Trial and error
(uji coba), pengamatan, percobaan, dan tes-tes kemungkinan (probability) adalah
cara-cara yang digunakan oleh para ilmuwan untuk meraih ilmu pengetahuan.
Berdasarkan beberapa ayat Alquran di atas, maka dapat dinyatakan bahwa
penyelidikan dan pengembangan teknologi kegunungapian yang dilakukan oleh BPPTK
sejatinya adalah selaras dengan perintah agama.
Ia merupakan
pengejawantahan dari ajaran agama itu. BPPTK dalam menetapkan status Merapi
pasti berdasarkan beberapa parameter.
Balai ini pun
sebelumnya pasti sudah melakukan pengamatan dan pengkajian, baik dengan cara
visual ataupun berdasarkan data seismograf.
BPPTK pasti telah mengamati
kejadian gempa vulkanik dalam (VA), gempa vulkanik dangkal (VB), gempa pase
banyak (MP), dan guguran material lava serta pertumbuhan dan sudut deformasi.
Kejadian-kejadian
seputar Merapi tersebut adalah gejala alam yang termasuk diperintahkan oleh
agama agar senantiasa dipelajari untuk kemaslahatan umat manusia itu sendiri.
Dengan demikian, hasil pengamatan dan pengkajian BPPTK merupakan bagian dari
takdir Tuhan.
Takdir secara bahasa berarti ukuran. Takdir Tuhan tersebut
berjalan sesuai dengan sunnatullah (hukum-hukum alam yang ditetapkan Allah).
Hukum-hukum alam
itu pun tidak akan pernah berubah (Q.S. al-Ahzab (33):62). Hukum-hukum alam
tersebut memiliki beberapa karakteristik.
Pertama,
segala sesuatu di alam raya ini memiliki ciri dan hukum-hukumnya (Q.S. al-Ra’du
(13): 8).
Kedua, semua yang ada di alam raya tersebut tunduk kepada-Nya
(Q.S. al-Ra’du (13): 15).
Ketiga,
benda-benda alam tidak mampu memilih, sepenuhnya tunduk kepada hukum-hukum-Nya
(Q.S. Fushshilat (41): 11.
Berdasarkan
beberapa karakteristik tersebut, maka hukum-hukum alam pun bersifat pasti.
Demikian juga halnya dengan hukum-hukum alam yang berlaku pada Merapi.
Merapi juga
mempunyai gejala alam spesifik yang dapat dikenali dan dipelajari.
Dalam ranah
inilah sebenarnya misi yang diemban oleh Balai Penyelidikan dan Pengembangan
Teknologi Kegunungapian (BPPTK).
C. Penutup
Dengan demikian, pengamatan dan pengkajian tentang Merapi yang dilakukan oleh
BPPTK adalah selaras dengan ajaran agama.
Agama memerintahkan umat manusia agar
memperhatikan gejala alam untuk kemaslahatannya.
Oleh karena itu,
melaksanakan instruksi yang diberikan oleh BPPTK hukumnya adalah wajib.
Melaksanakannya pun merupakan bagian dari pengamalan ajaran agama dan sebagai salah satu bentuk ketaatan kepada-Nya. Semoga bermanfaat.