Revisi UU Perkawinan dan Perlindungan Hak-hak Anak

Oleh: Eko Mardiono

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah direvisi oleh DPR sebagaimana amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017.

MK memutuskan batas minimum perkawinan dalam UU Perkawinan Pasal 7 ayat (1) supaya direvisi dan memberi tenggat waktu tiga tahun kepada DPR untuk melakukan perubahan.

Revisi UU Perkawinan ini ditetapkan dengan UU Nomor: 16 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menetapkan, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. DPR pun merevisi dan mengesahkan batas minimum usia perkawinan 19 tahun bagi pria dan wanita. 

Efektifkah upaya pendewasaan usia perkawinan dengan hanya menaikkan usia minimum perkawinan bagi wanita dari 16 tahun menjadi 19 tahun tanpa menghapus Pasal 7 ayat (2) yang memberikan dispensasi perkawinan di bawah umur dengan izin Pengadilan? 

Sangat menarik tulisan Ghufron Su’udi yang berjudul, “Sudah Cukupkah Revisi UU Perkawinan?” Ghufron menegaskan, walaupun sudah ada revisi UU Perkawinan namun perkawinan anak akan tetap berlangsung dan upaya pendewasaan usia perkawinan hanya menjadi angan-angan semata.

Hal itu karena, menurut Ghufron, Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan yang memberikan peluang adanya pengecualian perkawinan di bawah umur tidak sekalian direvisi. Dengan hanya merevisi Pasal 7 ayat (1), maka permohonan dispensasi perkawinan di bawah umur akan semakin meningkat, demikian Ghufron (KR, 24/09/2019).

Betulkah demikian? Haruskah Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan yang memberikan peluang perkawinan di bawah umur dengan dispensasi Pengadilan harus dihapus? Saya mempunyai pendapat yang berbeda.

Secara teoretis, Undang-undang yang mengatur usia minimum perkawinan ada tiga kategori, yaitu: (1) Undang-undang yang lebih menjamin hak-hak, yakni yang menetapkan usia 18 tahun sebagai usia minimum perkawinan, baik untuk laki-laki maupun perempuan;

(2) Undang-undang yang dapat digunakan untuk melindungi hak-hak, yakni yang memperbolehkan pengecualian terhadap usia minimum 18 tahun tanpa batasan, tetapi mengharuskan adanya izin orangtua untuk perkawinan di bawah usia 21 tahun; dan

(3) Undang-undang yang diskriminatif, yaitu yang menetapkan usia di bawah 15 tahun sebagai usia minimum perkawinan, atau menetapkan pubertas sebagai ukuran kapasitas untuk menikah, atau tidak menentukan usia minimum perkawinan (WLUML London, Mengenali. 2007, hlm. 67).

Berdasarkan Tiga kategori di atas, maka revisi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan itu masuk kategori kedua. Yaitu, kategori Undang-undang yang dapat digunakan untuk melindungi hak-hak, yakni Undang-undang yang memperbolehkan pengecualian terhadap usia minimum 18 tahun tanpa batasan, tetapi mengharuskan izin orangtua untuk perkawinan di bawah usia 21 tahun.

Usia minimum hasil revisi UU Perkawinan ini pun, yakni 19 tahun bagi pria dan wanita, memang harus tetap mendapatkan izin kedua orang tuanya bagi mereka yang belum mencapai umur 21 tahun (Pasal 6 ayat 2 UU Perkawinan).

Jadi, hasil revisi UU Perkawinan ini termasuk kategori kedua, kategori Undang-undang yang dapat digunakan untuk melindungi hak-hak, tetapi tetap memperbolehkan pengecualian terhadap usia minimun perkawinan. 

Pertanyaannya sekarang, mungkinkah revisi UU Perkawinan ditetapkan tanpa pengecualian atas batas minimum perkawinannya 19 tahun bagi pria dan wanita?, sehingga masuk kategori pertama, yaitu Undang-undang yang lebih menjamin hak-hak?

Perihal ini harus dilihat dari berbagai aspeknya. Saya (penulis) saat bertugas di KUA Kecamatan selama 23 tahun lebih mendapati, bahwa hampir semua perkawinan di bawah umur terjadi karena hamil pranikah akibat pergaulan bebas.

Oleh karena itu, apabila pengecualian perkawinan di bawah umur dengan dispensasi Pengadilan dihapus, lantas bagaimana status dan nasib anak yang masih dalam kandungan?

Akankah anak dalam kandungan tersebut lahir sebagai anak seorang ibu, tanpa mempunyai bapak kandung yang sah? Bagaimana dampak psikis dan sosial ekonomi bagi anak yang lahir tanpa mempunyai bapak sah itu?

Menurut pengalaman penulis yang sekarang ini sebagai Penghulu Ahli Madya, bahwa anak seorang ibu yang tidak mempunyai ayah sah menjadi terisak menangis tatkala berikrar dan bermohon supaya dinikahkan dengan wali hakim sebab tidak mempunyai wali nasab ayah kandung.

Memang Kitab Undang-undang Hukum Perdata membuka peluang Pengesahan Anak (Pasal 272) dan Pengakuan Anak (Pasal 280) serta dapat mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya (Putusan MK No. 46-PUU-VIII-2010).

Namun, dalam Akte Kelahiran anak tersebut tetap tertulis sebagai anak seorang ibu yang tidak mempunyai ayah sah. Hal itu akan berdampak terhadap perkembangan psikis dan sosial ekonomi anak yang bersangkutan.

Dengan demikian menurut hemat penulis, revisi UU Perkawinan untuk saat ini tidak harus menghapus pasal pengecualian perkawinan di bawah umur dengan dispensasi Pengadilan.

Untuk mencegah terjadinya perkawinan di bawah umur, justru diawali dengan gerakan kegiatan pendewasaan usia perkawinan dan gerakan peningkatan mental spiritual keagamaan bagi remaja dan pemuda, sehingga mereka terhindar dari hamil pranikah. Pernikahan di bawah umur pun dapat terhindari.

Kalaupun seandainya ada permohoan izin perkawinan di bawah umur bukan karena hamil pranikah, maka hakim Pengadilan Agama akan menjadi leluasa dalam memutuskan permohonan perkawinan di bawah umur tersebut karena tiadanya janin dalam kandungan yang juga harus dilindungi hak-haknya.

Demikian, semoga bermanfaat.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan memberikan komentar di kolom ini. Atas masukan dan kritik konstruktifnya, saya ucapkan banyak terimakasih

PASANGAN HIDUP

Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). (QS. an-Nur: 26)

Maka, jadilah yang baik, kamu pun mendapatkan yang baik.

PENGHULU

Kedudukan Penghulu
Penghulu berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional di bidang kepenghuluan pada Kementerian Agama.
Tugas Penghulu
Penghulu bertugas melaksanakan kegiatan pelayanan dan bimbingan nikah atau rujuk, pengembangan kepenghuluan, dan bimbingan masyarakat Islam.

SUKSES PENGHULU

Raih Angka Kredit Penghulu: Putuskan apa yang diinginkan, tulis rencana kegiatan, laksanakan secara berkesinambungan, maka engkau pun jadi penghulu harapan.

Categories

Followers

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *