Oleh: Eko Mardiono
A. Pendahuluan
Sepenuh hatikah seorang isteri mengizinkan suaminya berpoligami? Pertanyaan ini mengemuka karena semua pernikahan poligami pasti memerlukan izin isteri terdahulu.
Di lapangan pun telah terjadi beberapa
peristiwa perkawinan poligami. Padahal, Kantor Urusan Agama baru
melaksanakannya jika ada izin dari Pengadilan Agama.
Pengadilan Agama sendiri baru memberikan izin
poligami bila isteri pertamanya terlebih dahulu telah memberikan izinnya.
Hal
itu berarti bahwa dalam realita telah ada beberapa isteri yang telah memberikan
izin poligami kepada suaminya.
Namun, persoalannya adalah apakah
pemberian izin isteri itu diberikan secara tulus? Apakah tidak mungkin izin itu
mereka berikan karena mereka tidak kuasa menolaknya?
Tulisan ini mencoba untuk memaparkan gambaran
dan kondisi seorang isteri ketika ia akan memberikan keputusan izin poligami
kepada suaminya.
Pemaparan ini dilakukan dengan cara menelusuri
kembali dinamika konsultasi keluarga di BP4 (Badan Penasihatan, Pembinaan, dan
Pelestarian Perkawinan) Kecamatan.
Penelusuran ini pun ditempuh dengan harapan
nantinya bisa ditemukan sebab-sebab beserta konteksnya ketika seorang isteri
harus memberikan izin kepada suaminya untuk beristeri lebih dari seorang.
Uraian dalam tulisan ini sifatnya hanya
deskriptif kasuistik sesuai dengan peristiwa yang penulis alami.
B. Demi Nama Baik Keluarga Suami
Ada seorang suami muda yang melakukan
pernikahan poligami. Suami muda tersebut baru berusia 22 tahun. Pernikahannya
juga baru seumur jagung. Pernikahan pertamanya belum genap berjalan 4 bulan.
Pernikahan dengan lebih dari seorang isteri itu
bermula dari pergaulan masa mudanya yang melewati batas.
Akibatnya, sang pemudi
hamil di luar nikah. Entah kenapa, sang pemuda justru menikahi gadis lain.
Pemudi itu pun menuntut pertanggungjawaban sang
pemuda. Apa boleh dikata, sang pemuda sudah berstatus suami wanita lain. Dari
sinilah, peristiwa poligami bermula.
Suami ini, sang pemohon pernikahan poligami,
berpenghasilan tidak tetap. Sehari-harinya, ia bekerja sebagai pemain kesenian
tradisional, Jathilan.
Pada saat itu, tahun 2000, ia hanya mempunyai
pendapatan Rp. 250.000,- setiap bulan. Padahal, salah satu syarat mengajukan
permohonan poligami adalah mempunyai penghasilan yang cukup untuk menghidupi
dua orang isteri dan anak-anaknya.
Dalam kasus ini pun muncul beberapa
permasalahan serius. Apakah pemuda tersebut akan dibebaskan dari tanggung
jawab? Lantas, bagaimana nasib gadis malang yang telah dihamilinya beserta
anaknya?
Persoalan-persoalan seputar inilah yang
dikonsultasikan kepada BP4 Kecamatan.
Saya pun sebagai konselor BP4 mencoba untuk
mengemukakan beberapa alternatif solusi dengan berbagai konsekuensinya.
Pertama, tetap menjaga keutuhan keluarga monogami.
Masalah anak yang lahir di luar nikah sebagaimana menurut hukum yang berlaku,
ia dinasabkan kepada ibunya.
Lalu, sebagai bentuk pertangungjawaban dan jika
ibunya menghendaki, hak asuh (hadhanah) anaknya dipindahkan kepada lelaki yang
menghamilinya.
Suatu saat nanti, pemudi yang terlanjur hamil
pranikah itu dapat melangsungkan pernikahan dengan lelaki lain.
Kedua, keputusannya dikembalikan kepada isteri
pertama. Bila isteri sahnya ini sudah tidak mau lagi menerima suaminya karena
ia telah merasa dikhianati suaminya, maka isteri tersebut dapat menempuh jalur
perceraian.
Setelah bercerai nanti, pemuda tersebut lantas
dimintai pertanggungjawaban untuk menikahi pemudi yang telah dihamilinya.
Solusi kedua ini pun bisa menjadikan semua pihak mendapatkan status hukum dan
sosial yang jelas.
Ketiga, alternatif terakhir, yakni menempuh
pernikahan poligami sebagaimana yang dikehendaki suami. Namun, alternatif
ketiga ini akan membawa beberapa konsekuensi serius.
Setelah bermusyawarah, para pihak pun
bersepakat untuk memilih alternatif ketiga, yakni poligami.
Dalam pengambilan
keputusan poligami ini ada beberapa pertimbangan yang cukup menarik.
Ternyata, semua pihak menyadari bahwa
penghasilan suami tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan kedua isteri dan
anak-anaknya. Penghasilannya hanya Rp. 250.000,- setiap bulan.
Untuk mengatasinya, orang tua suami dan orang
tua calon isteri kedua menyanggupi akan ikut menanggung beban ekonomi keluarga
poligami itu.
Selain itu, yang juga menarik, pertimbangan
isteri pertama dalam memberikan izin poligami adalah demi menjaga nama baik
keluarga suaminya.
Pertimbangan itu tidak didasarkan pada
kepentingan atau kebaikan keluarganya sendiri. Demi menutupi aib keluarga
suami, ia pun rela mengizinkan suaminya berpoligami.
Ada juga pertimbangan lain yang sempat
terungkap.
Ternyata, alternatif pernikahan poligami lebih dipilih adalah demi
mencarikan kejelasan status anak yang dikandung. Jangan sampai anak yang
bersangkutan lahir tanpa ayah yang sah.
Masalah bagaimana keberlangsungan pernikahan
poligami selanjutnya dipikirkan belakangan.
Kalaupun seandainya di tengah
perjalanan pernikahannya bubar, toh semua pihak telah mendapatkan status hukum
dan sosial yang jelas.
Kenyataannya pun menunjukkan, bahwa setelah dilangsungkannya pernikahan poligami dan sesaat setelah isteri kedua melahirkan anaknya, isteri muda itu pun lantas pergi ke Malaysia menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW).
Sejak itu pula komunikasi antara dia dan
suaminya terputus. Anak semata wayangnya diserahkan kepada kakek dan neneknya,
justru tidak kepada ayah kandungnya.
Yang terpenting bagi mereka, anak yang tidak
berdosa itu mempunyai ayah dan ibu yang sah dan diakui oleh negara.
Memang, dalam kasus seperti ini isteri pertama
dalam posisi yang sangat dilematis. Bila ia tidak mengizinkan suaminya
berpoligami, bagaimana dengan nasib anak dan gadis yang telah dihamili
suaminya.
Sebaliknya, jika ia mengizinkan suaminya
berpoligami, siapkah ia menerima kenyataan itu? Kalau pun seandainya ia
menempuh alternatif bercerai, sudah siapkan ia hidup menjadi seorang janda?
Persoalan-persoalan itulah yang berkecamuk di
pikiran sang isteri yang harus membuat keputusan segera.
Akhirnya, demi nasib sesama kaumnya dan demi
nama baik keluarga suaminya, isteri itu pun mengizinkan suaminya berpoligami.
C. Khawatir Suami Berbuat Dosa
Pekerja cleanning servis pun berpoligami. Pekerja itu berpenghasilan Rp. 400.000,- setiap bulan. Peristiwa ini terjadi di penghujung akhir tahun 2005.
Pertimbangan utama istri pertama memberikan
izin poligami kepada suaminya adalah karena ia khawatir suaminya berbuat dosa.
Kekhawatiran ini muncul setelah suaminya
berkenalan dengan seorang janda beranak satu.
Padahal sebenarnya hubungan
antara suami dan janda itu belum begitu jauh dan belum sampai melanggar
norma-norma agama dan susila.
Oleh karenanya, ketika mereka datang ke BP4
Kecamatan, saya tawarkan sebuah solusi. Mereka saya sarankan, sebaiknya rencana
poligami tersebut diurungkan.
Dalam kasus seperti itu, sangat tidak beralasan
suami mengajukan permohonan poligami. Adalah sesuatu yang wajar apabila seorang
laki-laki tertarik kepada lawan jenisnya.
Merupakan sesuatu yang normal jika kaum Adam
menganggumi kaum Hawa. Begitu juga sebaliknya.
Memang, Allah swt sudah menitahkan umat manusia
itu tertarik kepada lawan jenisnya, harta benda, dan perhiasan dunia lainnya.
Namun persoalannya, apakah ketertarikan
tersebut harus dituruti begitu saja tanpa kendali? Sudah barang tentu tidak.
Sebenarnya kehidupan rumahtangga keluarga yang
akan berpoligami ini tergolong wajar-wajar saja.
Mereka telah dikaruniai dua
orang anak. Istrinya pun mampu menunaikan kewajibannya, begitu juga suaminya.
Hak dan kewajiban mereka juga terpenuhi.
Walaupun penghasilan mereka setiap bulan hanya Rp. 400.000,-, tetapi mereka
sudah merasa cukup.
Mereka juga tidak mendapatkan penyakit atau
cacat badan tetap. Akan tetapi, mengapa mereka akan berpoligami dan tetap
bersikukuh akan tetap melangsungkannya?
Oleh karena itu, berhubung mereka sudah tidak
mau dicegah, mereka pun saya buatkan surat pengantar ke Pengadilan Agama
setempat untuk mendaftarkan sidang permohonan pernikahan poligami.
Setelah menjalani beberapa kali sidang,
ternyata permohonan pernikahan poligami itu dikabulkan.
Padahal, secara jelas
permohonan poligami itu tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditetapkan
oleh UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975.
Majlis hakim yang menyidangkannya pun mengakui
akan hal itu. Secara ekplisit dalam putusan itu dinyatakan bahwa:
“Menimbang, bahwa permohonan izin poligami
pemohon meskipun tidak terpenuhi syarat-syarat izin poligami sebagaimana pasal
4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 41 PP Nomor 9 Tahun 1975, namun hal
ini dilakukan demi kemaslahatan Pemohon, Termohon I, dan Termohon II karena
pada dasarnya Termohon I rela dimadu dan Pemohon sanggup berlaku adil dan
mempunyai nafkah yang cukup, maka permohonan pemohon akan lebih besar
mudhorotnya apabila hal itu ditolak sesuai kaidah: menolak kerusakan
didahulukan daripada mendapatkan kemaslahatan.”
Pertanyaannya sekarang adalah apa pertimbangannya sehingga majlis hakim mengabulkan permohonan poligami walaupun tidak memenuhi persyaratan peraturan perundangan?
Sebagaimana terbaca dalam putusan, ternyata
pertimbangan utama hakim adalah demi kemaslahatan bersama, baik bagi Pemohon,
Termohon I, ataupun Termohon II.
Selain itu, sebagaimana tertera dalam “Tentang
Pertimbangan Hukum”nya, hakim juga mempertimbangkan bahwa suami dikhawatirkan
akan berbuat yang bertentangan dengan hukum dan ketentuan agama.
Memurut saya, Eko Mardiono, penggalian hukum oleh hakim ini
sangatlah menarik untuk dicermati.
Tampaknya, hakim berpandangan bahwa seandainya
permohonan poligami ini tidak dikabulkan, maka yang akan terjadi adalah tiga
kemungkinan.
Pertama, suami tadi akan menjaga diri untuk tidak lagi
mendekati janda calon isteri keduanya. Namun, tampaknya naluri hakim mengatakan
lain, bahwa yang terjadi pasti tidak demikian.
Yang akan terjadi justru dua kemungkinan
berikutnya. Yaitu, sebagai kemungkinan kedua, bahwa suami itu justru akan
menempuh pernikahan poligami sirri, atau sebagai kemungkinan yang ketiga, bahwa
suami tersebut malah akan melakukan kumpul kebo.
Dari sini, tampaknya pertimbangan yang
digunakan oleh majlis hakim dan isteri pertama adalah sama. Yaitu, sama-sama
mengkhawatirkan terjadinya dua kemungkinan terakhir. Suami dikhawatirkan akan
melanggar hukum dan ketentuan agama.
Seakan tiada guna apabila suami yang sudah
bersikukuh akan berpoligami tidak dizinkan permohonannya.
Pasti, suami itu akan
menggunakan caranya sendiri, melakukan poligami sirri atau kumpul kebo.
Dalam kasus seperti ini, untuk menjaga keutuhan
rumahtanggannya apakah ada pilihan lain bagi isteri pertama selain memberikan izin
kepada suaminya untuk berpoligami?
Di sinilah letak pengorbanan besar seorang
isteri dalam upayanya menjaga keutuhan sebuah keluarga.
Kalau demikian, tidak terpaksakah isteri
tersebut dalam memberikan izin poligami kepada suaminya?
D. Ternyata, Tidak Hanya Karena untuk Menyantuni Anak Yatim
Pada akhir tahun 2008 ada seorang laki-laki
datang ke BP4 Kecamatan, tempat saya bertugas.
Lelaki tadi datang tidak
sendirian. Ia bersama seorang perempuan berumur 35 tahunan.
Mereka kelihatan serasi dan harmonis, bahkan
sedikit mesra. Sesaat setelah duduk, lelaki tadi pun segera memberitahukan
maksud kedatangannya.
Ia berkonsultasi bahwa dirinya akan melakukan pernikahan
poligami.
Ia pun bertanya tentang seluk-beluk dan
persyaratan pernikahan poligami di Kantor Urusan Agama Kecamatan.
Ia juga
bertanya tentang pernikahan sirri, termasuk poligami sirri.
Saya pun segera menjelaskan secara panjang
lebar tentang dampak buruk dan madarat dari pernikahan sirri, terutama bagi
pihak perempuan dan anak-anak yang dilahirkannya.
Kepadanya, saya lontarkan sebuah pertanyaan,
mengapa harus memilih nikah sirri? Apa sulitnya melaksanakan pernikahan secara
resmi di Kantor Urusan Agama?
Saya juga menginformasikan, selama
persyaratannya sudah lengkap, maka pernikahannya akan dapat dilaksanakan.
Kalaupun di Kantor Urusan Agama ada beberapa persyaratan, itu adalah demi
kebaikan bagi yang bersangkutan, yaitu supaya pernikahannya mempunyai kekuatan
hukum.
Lelaki itu pun mengulangi lagi maksud kedatangannya ke BP4 Kecamatan bahwa ia akan beristeri lebih dari seorang. Pertimbangan utamanya adalah agar ia bisa menyantuni anak-anak yatim.
Dengan poligami, ia akan bisa ikut merawat dan
mengasuh mereka sebab ibunya adalah seorang janda tinggal mati yang
berpenghasilan tidak tetap.
Mereka sangat membutuhkan uluran tangan untuk
menyongsong masadepannya. Menurut pengakuan suami tadi, isteri pertamanya juga
sudah menyetujui dan memberikan izin.
Seorang perempuan yang sejak tadi mendampingi
laki-laki itu menganggukkan kepala.
Katanya, “Ya, sebagai isteri pertama, saya
setuju dan rela suami saya menikah lagi.”
Saya terperanjat. Perempuan cantik dan tampak
masih muda itu ternyata isteri pertama dari lelaki yang berada di hadapan saya
itu.
Sebelumnya, saya mengira dialah calon isteri keduanya.
Dalam pikiran saya timbul tanda tanya, mengapa
pasangan suami isteri yang kelihatan begitu harmonis dan serasi akan
berpoligami?
Betulkah niat dan tujuan suami itu berpoligami
adalah hanya untuk menyantuni anak yatim?
Kalau tujuannya memang demikian,
haruskah dengan cara menikahi ibu dari anak-anak yatim itu?
Saya pun mengapresiasi tujuan mereka. Saya
katakan kepada mereka, “Sangatlah mulia apabila Bapak dan Ibu berkenan untuk
menyantuni anak-anak yatim. Sebetulnya niat luhur Bapak dan Ibu ini dapat
direalisasikan dengan cara mengasuh anak-anak yatim itu dengan hak hadhanah
melalui Pengadilan Agama.”
“Memang, hak hadhanah ini tidak sampai
menimbulkan hubungan waris mewaris, tetapi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
memberikan porsi warisan bagi anak hadhanah melalui lembaga wasiat wajibah.”
“Jadi, hak anak hadhanah pun dijamin oleh
peraturan perundangan. Dengan demikian, Bapak dan Ibu tetap bisa menyantuni
anak-anak yatim tanpa harus menempuh pernikahan poligami.”
Setelah saya menyampaikan tentang alternatif
hadhanah anak, lelaki tadi pun kemudian menyampaikan apa adanya alasan-alasan
mengapa ia akan berpoligami.
Ternyata, selain alasan sebagaimana yang
disebutkan di atas, ia akan berpoligami juga karena ia menginginkan keturunan
lagi. Padahal, isteri pertamanya sudah tidak mau lagi mengandung dan melahirkan
anak.
Untuk diketahui, sebenarnya isteri pertama
itu sudah memberikan suaminya dua orang anak.
Semula saya mengira bahwa rencana poligami ini
memang murni untuk menyantuni anak-anak yatim. Saya menduga, tidak ada
persoalan di antara kedua suami isteri itu.
Akan tetapi, setelah terungkap, ternyata ada
permintaan suami yang dibebankan kepada isterinya. Yaitu, isteri pertama
dituntut untuk mau mengandung dan melahirkan anak lagi.
Kalau isteri pertama
tidak mau, maka suami akan menempuh pernikahan poligami.
Dari sini saya menjadi tahu bahwa ternyata
rencana pernikahan poligami lelaki tersebut tidak murni didasarkan pada
keinginan untuk menyantuni anak-anak yatim, tetapi ada satu tuntutan yang harus
dipenuhi oleh isteri pertamanya, yaitu mau mengandung dan melahirkan anak lagi.
Walaupun akan dimadu, isteri pertama itu begitu
setia mengantar dan mendampingi suaminya dalam mencari persyaratan pernikahan
poligami, mulai dari RT, RW, dukuh, kelurahan, KUA, sidang Pengadilan Agama,
sampai kembali ke KUA lagi untuk mendaftarkan dan melangsungkan pernikahan
poligami.
Apa sebabnya dan mengapa hal itu bisa terjadi?
Ternyata, setelah saya mencari informasi dari penduduk sekitarnya, hal itu
dikarenakan kedua suami isteri tersebut mengikuti kelompok pengajian tertentu,
sehingga isteri pertama itu bersikap dan bertindak seperti itu.
Saya tidak tahu persis kelompok pengajian apa
yang mereka ikuti.
Melihat cara mereka berbusana, sebenarnya tidak ada yang
eksklusif.
Isteri pertama tersebut berpenampilan santun dan berpakaian
“nasional”, tidak berjilbab apalagi bercadar misalnya, mohon maaf.
Kemudian, pada saat pelaksanaan ijab qabul
pernikahan poligami dilangsungkan, isteri pertama tersebut juga menghadirinya.
Memang, akad nikahnya hanya dilaksanakan di balai nikah Kantor Urusan Agama
Kecamatan.
Tidak banyak yang menghadiri. Hanya ada satu
orang wali dan dua orang saksi. Dalam pelaksanaan akad nikah itu, saya pun
memperhatian.
Isteri pertama itu duduk agak ke belakang.
Padahal ada beberapa kursi di depan yang kosong. Ia hanya diam dan tampak
begitu tegar.
Begitu saya melafazkan kalimat ijab dan
suaminya selesai mengucapkan kalimat qabul, dan saya sebagai penghulu
menyatakan pernikahannya sudah absah, isteri pertama itu pun meneteskan
airmata.
Akan tetapi, saya tidak tahu apakah itu airmata
kebahagiaan sebab ia telah berhasil mengantarkan suaminya berpoligami, ataukah
karena ia merasa bahwa sejak saat itu suaminya sudah tidak lagi menjadi
miliknya seorang. Sudah ada perempuan lain yang juga ikut memilikinya.
Tentunya, hanya dia lah yang mengetahuinya.
E. Penutup
Berdasarkan pengalaman beberapa peristiwa
konsultasi pernikahan poligami sebagaimana dipaparkan di depan, ternyata pemberian
izin poligami oleh isteri pertama kepada suaminya tidak dapat terlepas dari
situasi dan kondisi yang melingkupi.
Bahkan, dalam banyak kasus, isteri pertama
senantiasa dihadapkan pada pilihan yang sangat dilematis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan memberikan komentar di kolom ini. Atas masukan dan kritik konstruktifnya, saya ucapkan banyak terimakasih