Jumat, 28 Mei 2010 merupakan hari meluruskan arah kiblat. Pada hari itu tepatnya pukul 16:17:56 WIB posisi matahari berada persis di atas Ka’bah (istiwa’ a’dham).
Seputar Fatwa MUI tentang Arah Kiblat
Jumat, 28 Mei 2010 merupakan hari meluruskan arah kiblat. Pada hari itu tepatnya pukul 16:17:56 WIB posisi matahari berada persis di atas Ka’bah (istiwa’ a’dham).
Oleh
karenanya, semua bayang-bayang benda yang berdiri tegak lurus akan tepat
mengarah ke Ka’bah (rasydul kiblat).
Peristiwa
langka tersebut dalam satu tahunnya hanya terjadi dua kali. Untuk tahun 2010
ini, rasydul kiblat juga akan terjadi pada 16 Juli pukul 16:26:43 WIB.
Keadaan
seperti itu pun dapat digunakan untuk meluruskan arah kiblat tempat ibadah.
Sungguh
sangat mudah meluruskan arah kiblat dengan menggunakan metode rasydu kiblat.
Demikian pula metode-metode yang lain.
Namun,
mengapa Majlis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang arah kiblat
yang seakan tidak memanfaatkan dan mempertimbangkan kemudahan dalam meluruskan
arah kiblat tersebut?
Sebagaimana
diwartakan, pada 1 Februari 2010 MUI telah mengeluarkan fatwa tentang Arah
Kiblat.
Menurut
fatwa tersebut, kiblat tempat ibadah umat Islam Indonesia cukup menghadap ke
arah barat, mengingat letak geografis Indonesia berada di sebelah timur
Ka’bah/Mekkah.
Shalat umat
Islam Indonesia pun sudah dihukumi sah jika mereka sudah menghadap ke arah
barat.
Kontan,
fatwa MUI tersebut mendapat reaksi keras, terutama dari kalangan pemerhati dan
praktisi falakiyah (astronomi). Fatwa MUI itu dinilai kontraproduktif.
Fatwa MUI
itu dinilai tidak proporsional dan tidak berwawasan jauh ke depan serta
membodohkan umat. Mereka menentang, bahkan mengkampayekan anti fatwa MUI yang
mereka anggap sangat tidak mendidik tersebut.
Mereka
pun lantas menggalang gerakan “Mendukung Program Penyempurnaan Arah Kiblat” di
kalangan facebooker.
Memang,
Kementerian Agama RI telah memberikan instruksi kepada Kementerian Agama di
daerah agar memberikan pelayanan dalam pengukuran arah kiblat.
Sampai
di sini, seakan terjadi kontradiksi antara fatwa MUI di satu pihak dan
kebijakan Kementerian Agama di lain pihak. Lantas, bagaimana umat Islam harus
menyikapinya?
Untuk
mengkritisi persoalan di atas, ada beberapa hal yang perlu dikemukakan.
Pertama, fatwa MUI tentang Arah Kiblat dikeluarkan dalam rangka untuk merespon
cepat keresahan umat pasca terpublikasinya perhitungan arah kiblat yang
dilakukan dengan metode ukur satelit.
Ternyata,
banyak arah kiblat tempat ibadah di Indonesia telah bergeser 30 centimeter ke
arah kanan, sebagai akibat gempa bumi yang sering terjadi dan pergeseran
lempeng dunia.
Umat
Islam pun banyak yang resah. Bagi mereka, menghadap kiblat merupakan salah satu
syarat sahnya shalat. Di antara mereka pun ada yang kemudian membongkar lalu
membangun kembali bangunan tempat ibadahnya.
Kedua,
MUI tetap menyarankan agar tempat ibadah yang arah kiblatnya kurang tepat
supaya diluruskan. Pelurusan arah kiblat itu pun tidak harus dengan membongkar
bangunannya.
Ia cukup
dilakukan dengan mengubah arah garis shaf shalat dan mimbar khutbahnya. Apabila
yang dipilih adalah membongkar dan membangun kembali bangunannya, maka pasti
akan memakan banyak beaya.
Padahal,
beaya yang tidak sedikit itu dapat digunakan untuk hal-hal lain yang sifatnya
lebih produktif.
Dalam
hal ini, MUI hanya merekomendasikan agar bangunan masjid,mushalla ataupun
langgar di Indonesia sepanjang kiblatnya menghadap ke arah barat, tidak perlu
diubah dan dibongkar.
Ketiga,
dalam khazanah ilmu fikih, perihal menghadap kiblat sebagai syarat sahnya
shalat terdapat dua klasifikasi.
Yaitu,
(1) Bagi orang yang dapat melihat Ka’bah, maka kiblat shalatnya adalah
menghadap ke bangunan Ka’bah (ain al-ka’bah). (2) Bagi orang yang tidak dapat
melihatnya, maka kiblat shalatnya adalah arah Ka’bah (jihat al-ka’bah).
Bagi
kelompok kedua, yang terpenting adalah mengarah ke Ka’bah, tidak harus tepat
menghadap ke bangunan kabah. Nah dalam perspektif ini, fatwa MUI tentang Arah
Kiblat tersebut sebenarnya masih dalam batas toleransi ilmu fikih.
Memang,
jika diukur dengan metode falakiyah, arah kiblat yang hanya berbeda beberapa
derajat saja akan menyimpang jauh dari Ka’bah, bahkan bisa keluar dari wilayah
kerajaan Saudi Arabia.
Kalau
demikian, apakah lantas fatwa MUI tentang Arah Kiblat tersebut bertentangan
dengan kebijakan Kementerian Agama yang mempunyai program untuk meluruskan arah
kiblat tempat ibadah?
Perihal
ini, kiranya perlu diingat bahwa pengeluaran suatu fatwa, termasuk oleh MUI,
pasti tidak hampa dari situasi dan kondisi tertentu.
Sebagaimana
dipaparkan di depan, saat dikeluarkannya fatwa MUI tersebut banyak umat Islam
yang menjadi resah akibat arah kiblat tempat ibadahnya tidak tepat ke Ka’bah.
Mereka
menganggap ada 160.000 tempat ibadah umat Islam yang bergeser arah kiblatnya,
akibat gempa bumi dan pergeseran lempeng dunia. Selain itu, umat Islam
Indonesia juga tidak sedikit yang belum begitu paham tentang cara meluruskan
arah kiblat.
Nah,
dengan melihat keadaan yang seperti itu, MUI akhirnya mengeluarkan fatwa
tentang Arah Kiblat yang oleh sementara pihak dianggap sangat kontroversial.
Menurut
hemat saya, fatwa MUI tersebut sebetulnya hanyalah penetapan hukum secara
bertahap (tadarruj). Sejatinya, pada saatnya nanti MUI bisa saja menfatwakan,
bahwa ketika shalat harus menghadap tepat ke Ka’bah.
Hanya
saja, untuk saat ini kondisinya belum memungkinkan. Apa gunanya difatwakan
menghadap ke Ka’bah hukumnya wajib jika di lapangan tidak dapat dilaksanakan?
Oleh karenanya,
semuanya akan berpulang kepada Kementerian Agama.
Apabila
Kementerian Agama sudah berhasil merealisasikan kebijakannya untuk meluruskan
arah kiblat atau minimal telah melakukan sosialisasi ke semua lapisan
masyarakat di segala penjuru Nusantara, maka pada saat itulah penetapan hukum
oleh MUI dapat ditingkatkan ke tahap berikutnya, bahwa menghadap ke Ka’bah
dalam shalat hukumnya adalah wajib.
Sehingga
dalam hal ini, MUI dan Kementerian Agama dapat berfungsi secara sinergis sesuai
dengan perannya masing-masing.
Telah dimuat
SKH Kedaulatan Rakyat
Kamis, 27 Mei 2010
Sawah Ladang
Oleh:
Dianifa Zikra Amelia
Sejauh mata memandang
Terhampar sawah ladang yang luas
Berjajar banyak pematang
Seakan tiada batas
Gubuk kecil di tengah ladang
Tempat berteduh dari panas siang
Para petani bekerja pagi hingga petang
Pulang ke rumah dengan hati riang
Telah dimuat
SKH Kedaulatan Rakyat
Minggu, 23 Mei 2010