Oleh: Eko
Mardiono
Persoalan
tentang hukum rokok akhir-akhir ini mencuat kembali pasca dikeluarkannya fatwa
haram merokok oleh Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
Fatwa haram
merokok ini ditetapkan setelah dilakukan kajian mendalam dari berbagai
aspeknya. Diyakini bahwa perbuatan merokok mengakibatkan hal-hal yang buruk
(khabaits), membahayakan (dharar), dan melemahkan (muftir).
Selain itu,
perbuatan merokok itu juga bertentangan dengan maqashid asy-Syari’ah (tujuan
syariat). Ia bisa menghilangkan nyawa, merusak raga, keluarga, dan harta. Semua
hal yang sangat dilindungi dan dipelihara oleh syariat.
Pada tahun 2005 dan 2007 yang lalu, Majlis Tarjih Muhammadiyah sebenarnya sudah
pernah mengeluarkan fatwa tentang rokok.
Hanya saja,
fatwanya saat itu merokok adalah halal. Ketika itu, hujjah/argumentasi yang
digunakan adalah kerusakan (madarat) akibat perbuatan merokok bersifat
kondisional dan tidak pasti.
Pada tahun 2009
yang lalu pun, Majlis Ulama Indonesia (MUI) juga pernah mengeluarkan fatwa
haram merokok. Namun, penerapannya diberlakukan secara kontekstual.
Oleh MUI,
merokok dihukumi haram hanya bagi anak-anak, wanita hamil, dan anggota MUI
sendiri serta di tempat-tempat umum.
Sementara itu,
para ulama fikih kebanyakan berpendapat bahwa hukum merokok hanyalah makruh,
tidak sampai kepada derajat haram.Termasuk ke dalam kelompok terakhir ini
adalah para ulama di kalangan Nahdhotul Ulama (NU).
Tampak bahwa di kalangan para ulama dan ormas Islam, hukum merokok begitu
variatif. Perbedaan pandangan hukum para ulama tersebut, termasuk lembaga
ke-Islaman, bisa menimbulkan resistensi di kalangan umat.
Mereka bisa
berpikiran untuk bebas memilih fatwa hukum yang sesuai dengan “selera”nya.
Pikiran bebas umat inipun bisa berimplikasi pada sebuah pandangan bahwa
ternyata hukum Islam sangatlah “sujektif” dan tidak mempunyai kepastian hukum.
Pada akhirnya,
sangat dikhawatirkan di kemudian hari fatwa-fatwa agama yang dikeluarkan oleh
lembaga ke-Islaman akan ditanggapi secara skeptis oleh umat.
Pertanyaannya
sekarang, bagaimana solusinya supaya hukum Islam tentang merokok mempunyai
kepastian hukum dan mengikat semua umat?
Berdasarkan penelurusan yang telah banyak dilakukan, ternyata hukum tentang merokok
memang sangat kondisional.
Misalnya,
Majlis Tarjih PP Muhammadiyah sendiri menyatakan bahwa fatwa haram merokok yang
dikeluarkannya tidaklah mengikat. Pemberlakuannya pun secara tadarruj
(bertahap).
Jelas,
persoalan disparitas ini menghajatkan jawaban segera, sehingga umat mempunyai
pegangan dalam menentukan pilihan hukum.
Untuk menjawab
persoalan krusial tersebut, tulisan ini akan mengurainya dengan teori tentang
syariat, fikih, dan hukum Islam.
Syariat adalah perangkat pengetahuan yang memberi peradaban Muslim
ketentuan-ketentuan sikap yang tak berubah dan juga sarana-sarana pokok untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan.
Syariat
bukanlah kitab hukum dan juga bukan kodifikasi undang-undang. Ia adalah
nash-nash Quran dan hadis. Ia berupa petunjuk dan tuntunan hidup bagi umat
manusia.
Sedangkan,
fikih merupakan hasil pemahaman ahli hukum Islam (fuqaha’) terhadap syariat
untuk menjawab masalah-masalah aktual sosial kontemporer dengan menggunakan
bantuan pengetahuan yang ada pada suatu masa.
Oleh karenanya,
timbulnya fikih tidak dapat terlepas dari ruang dan waktu. Pendapat mereka pun
bisa menjadi beraneka ragam sesuai dengan situasi sosial kultural yang
melingkupinya. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga ke-Islaman
termasuk kategori ini.
Hukum Islam adalah hasil pemahaman oleh para ahli hukum (fuqaha’/legislator)
terhadap syariat, yang berupa ketentuan-ketentuan fikih, kemudian ia dituangkan
dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Definisi
tentang hukum Islam ini didasarkan pada konklusi terhadap Q.S. an-Nisa’ (4):
59. Meskipun ada sebagian ahli tafsir yang memaknakan “ulil amri” dalam ayat
tersebut sebagai ulama, tetapi “ulil amri” dalam konteks ini juga dapat
dipahami penguasa (sultan) atau para legislator.
Pemahaman yang
disebut terakhir ini lebih dipilih dengan pertimbangan bahwa karena ijtihad
para ulama itu tidak bisa saling membatalkan, maka jika “ulil amri” diberi
pengertian ulama, maka akan terjadi ketidakpastian hukum.
Ulama mana yang
harus diikuti? Dalam perspektif ini, ketentuan Islam tentang rokok yang sudah
diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undanganlah yang disebut sebagai
hukum Islam.
Pemerintah
Provinsi DI Yogyakarta pada pertengahan Oktober 2009 telah mengeluarkan
Peraturan Gubernur Nomor 42 Tahun 2009. Peraturan tersebut mengatur tentang
kawasan dilarang merokok.
Kawasan-kawasan
itu adalah tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat khusus untuk
belajar mengajar, area kegiatan anak, tempat ibadah, dan tempat umum.
Sebelumnya,
Pemerintah Daerah DKI Jakarta juga sudah terlebih dahulu mengeluarkan Peraturan
Daerah tentang larangan merokok di tempat-tempat publik.
Apabila Pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat, baik pusat ataupun daerah,
secara bersama-sama secara proaktif menggodog regulasi tentang ketentuan
merokok dan secara serius melakukan pengawasan pelaksanaannya di lapangan, maka
hal itu sebenarnya sudah merupakan implementasi hukum Islam dalam kehidupan
beragama, berbangsa, dan bernegara.
Umat Islam yang
mentaatinya akan dihitung telah menjalankan ajaran Islam dan akan mendapatkan
pahala dari sisi-Nya.
Sebaliknya,
bagi mereka yang melanggarnya akan terhukumi dosa dan akan mendapatkan sanksi
pidana sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Dalam kaidah hukum Islam dikenal adanya adagium: tasharrufu al-imam ‘ala
ar-ra’iyah manuthun bi al-mashlahah (peraturan perundangan disusun adalah
demi kemaslahatan rakyatnya).
Adanya
ketentuan hukum tentang merokok dalam peraturan perundangan pastilah demi
kemaslahatan bersama.
Persoalannya
sekarang adalah, bagaimana supaya peraturan perundangan tentang rokok itu bisa
responsif. Ia mampu mengakomodasi semua kepentingan dan menjadikan nilai-nilai
ke-Islaman sebagai salah satu sumber penyusunan hukum nasional.
Semuanya akan
berpulang kepada Pemerintah, legislator, lembaga ke-Islaman, dan kontrol media
massa. Semoga bermanfaat.