• Keputusan Revolusioner MK Status Anak di Luar Nikah

    Mahkamah Konstitusi membuat keputusan revolusioner bahwa anak yang lahir di luar perkawinan yang sah mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya guna melindungi hak-hak anak yang dilahirkan dan membebani tanggung jawab ayah biologis yang bersangkutan.

  • Revisi UU Perkawinan dan Perlindungan Hak Anak

    UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah direvisi dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 bahwa usia paling rendah seseorang dapat melangsungkan perkawinan adalah 19 (sembilan belas) tahun, baik bagi laki-laki ataupun perempuan.

  • Daftar Nikah di KUA Secara Online Pakai HP

    Sekarang ini calon pengantin dapat daftar nikah secara online pakai HP, kemudian datang ke KUA untuk validasi syarat nikah dan persetujuan waktu akad nikah.

  • Istithaah Kesehatan Jemaah Haji

    Syarat beribadah haji adalah Islam, baligh, berakal, dan istithaah. Syarat Istithaah juga meliputi istithaah menurut standar kesehatan sebagaimana Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2016 tentang Istithaah Kesehatan Jemaah Haji.

  • Ketentuan Kegiatan Peribadatan Masa PPKM Level 4 (Empat)

    Tempat ibadah di kabupaten/kota wilayah Jawa dan Bali dengan kriteria level 4 (empat) dan level 3 (tiga) dapat melaksanakan kegiatan peribadatan/keagamaan berjamaah selama masa penerapan PPKM.

  • Upacara Hari Jadi Kabupaten Sleman

    Warga masyarakat Kabupaten Sleman memperingati Hari Jadi Kabupaten Sleman. Upacara Peringatannya dilaksanakan menurut adat budaya Jawa. Semua peraga upacara berpakaian dan berbahasa Jawa.

  • Pelaksanaan Akad Nikah Masa New Normal Covid-19

    Pada masa New Normal (Tatanan Normal Baru) Pandemi Covid-19 Korona, akad nikah dapat dilaksanakan di Balai Nikah KUA ataupun di luar Balai Nikah KUA Kecamatan dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi.

  • Public Hearing Standar Pelayanan Publik KUA

    UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mengamanatkan bahwa Instansi Pemerintah, termasuk KUA Kecamatan, sebagai penyedia layanan harus menetapkan Standar Pelayanan Publik.

  • Syarat dan Alur Pencatatan Perkawinan

    Setiap perkawinan dicatatkan. Syarat dan prosedur pencatatannya sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan.

  • Praktik Kerja Mahasiswa UIN SUKA di KUA

    Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta melaksanakan praktik kerja lapangan di Kantor Urusan Agama,supaya mahasiswa dapat mengelaborasikan antara teori dan praktik bidang hukum keluarga Islam.

Kepastian Hukum Rokok

Oleh: Eko Mardiono
 
Persoalan tentang hukum rokok akhir-akhir ini mencuat kembali pasca dikeluarkannya fatwa haram merokok oleh Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.

Fatwa haram merokok ini ditetapkan setelah dilakukan kajian mendalam dari berbagai aspeknya. Diyakini bahwa perbuatan merokok mengakibatkan hal-hal yang buruk (khabaits), membahayakan (dharar), dan melemahkan (muftir).

Selain itu, perbuatan merokok itu juga bertentangan dengan maqashid asy-Syari’ah (tujuan syariat). Ia bisa menghilangkan nyawa, merusak raga, keluarga, dan harta. Semua hal yang sangat dilindungi dan dipelihara oleh syariat.

Pada tahun 2005 dan 2007 yang lalu, Majlis Tarjih Muhammadiyah sebenarnya sudah pernah mengeluarkan fatwa tentang rokok.

Hanya saja, fatwanya saat itu merokok adalah halal. Ketika itu, hujjah/argumentasi yang digunakan adalah kerusakan (madarat) akibat perbuatan merokok bersifat kondisional dan tidak pasti.

Pada tahun 2009 yang lalu pun, Majlis Ulama Indonesia (MUI) juga pernah mengeluarkan fatwa haram merokok. Namun, penerapannya diberlakukan secara kontekstual.

Oleh MUI, merokok dihukumi haram hanya bagi anak-anak, wanita hamil, dan anggota MUI sendiri serta di tempat-tempat umum.

Sementara itu, para ulama fikih kebanyakan berpendapat bahwa hukum merokok hanyalah makruh, tidak sampai kepada derajat haram.Termasuk ke dalam kelompok terakhir ini adalah para ulama di kalangan Nahdhotul Ulama (NU).

Tampak bahwa di kalangan para ulama dan ormas Islam, hukum merokok begitu variatif. Perbedaan pandangan hukum para ulama tersebut, termasuk lembaga ke-Islaman, bisa menimbulkan resistensi di kalangan umat.

Mereka bisa berpikiran untuk bebas memilih fatwa hukum yang sesuai dengan “selera”nya. Pikiran bebas umat inipun bisa berimplikasi pada sebuah pandangan bahwa ternyata hukum Islam sangatlah “sujektif” dan tidak mempunyai kepastian hukum.

Pada akhirnya, sangat dikhawatirkan di kemudian hari fatwa-fatwa agama yang dikeluarkan oleh lembaga ke-Islaman akan ditanggapi secara skeptis oleh umat.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana solusinya supaya hukum Islam tentang merokok mempunyai kepastian hukum dan mengikat semua umat?

Berdasarkan penelurusan yang telah banyak dilakukan, ternyata hukum tentang merokok memang sangat kondisional.

Misalnya, Majlis Tarjih PP Muhammadiyah sendiri menyatakan bahwa fatwa haram merokok yang dikeluarkannya tidaklah mengikat. Pemberlakuannya pun secara tadarruj (bertahap).

Jelas, persoalan disparitas ini menghajatkan jawaban segera, sehingga umat mempunyai pegangan dalam menentukan pilihan hukum.

Untuk menjawab persoalan krusial tersebut, tulisan ini akan mengurainya dengan teori tentang syariat, fikih, dan hukum Islam.

Syariat adalah perangkat pengetahuan yang memberi peradaban Muslim ketentuan-ketentuan sikap yang tak berubah dan juga sarana-sarana pokok untuk menyesuaikan diri dengan perubahan.

Syariat bukanlah kitab hukum dan juga bukan kodifikasi undang-undang. Ia adalah nash-nash Quran dan hadis. Ia berupa petunjuk dan tuntunan hidup bagi umat manusia.

Sedangkan, fikih merupakan hasil pemahaman ahli hukum Islam (fuqaha’) terhadap syariat untuk menjawab masalah-masalah aktual sosial kontemporer dengan menggunakan bantuan pengetahuan yang ada pada suatu masa.

Oleh karenanya, timbulnya fikih tidak dapat terlepas dari ruang dan waktu. Pendapat mereka pun bisa menjadi beraneka ragam sesuai dengan situasi sosial kultural yang melingkupinya. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga ke-Islaman termasuk kategori ini.

Hukum Islam adalah hasil pemahaman oleh para ahli hukum (fuqaha’/legislator) terhadap syariat, yang berupa ketentuan-ketentuan fikih, kemudian ia dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

Definisi tentang hukum Islam ini didasarkan pada konklusi terhadap Q.S. an-Nisa’ (4): 59. Meskipun ada sebagian ahli tafsir yang memaknakan “ulil amri” dalam ayat tersebut sebagai ulama, tetapi “ulil amri” dalam konteks ini juga dapat dipahami penguasa (sultan) atau para legislator.

Pemahaman yang disebut terakhir ini lebih dipilih dengan pertimbangan bahwa karena ijtihad para ulama itu tidak bisa saling membatalkan, maka jika “ulil amri” diberi pengertian ulama, maka akan terjadi ketidakpastian hukum.

Ulama mana yang harus diikuti? Dalam perspektif ini, ketentuan Islam tentang rokok yang sudah diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undanganlah yang disebut sebagai hukum Islam.

Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta pada pertengahan Oktober 2009 telah mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 42 Tahun 2009. Peraturan tersebut mengatur tentang kawasan dilarang merokok.

Kawasan-kawasan itu adalah tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat khusus untuk belajar mengajar, area kegiatan anak, tempat ibadah, dan tempat umum.

Sebelumnya, Pemerintah Daerah DKI Jakarta juga sudah terlebih dahulu mengeluarkan Peraturan Daerah tentang larangan merokok di tempat-tempat publik.

Apabila Pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat, baik pusat ataupun daerah, secara bersama-sama secara proaktif menggodog regulasi tentang ketentuan merokok dan secara serius melakukan pengawasan pelaksanaannya di lapangan, maka hal itu sebenarnya sudah merupakan implementasi hukum Islam dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.

Umat Islam yang mentaatinya akan dihitung telah menjalankan ajaran Islam dan akan mendapatkan pahala dari sisi-Nya.

Sebaliknya, bagi mereka yang melanggarnya akan terhukumi dosa dan akan mendapatkan sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Dalam kaidah hukum Islam dikenal adanya adagium: tasharrufu al-imam ‘ala ar-ra’iyah manuthun bi al-mashlahah (peraturan perundangan disusun adalah demi kemaslahatan rakyatnya).

Adanya ketentuan hukum tentang merokok dalam peraturan perundangan pastilah demi kemaslahatan bersama.

Persoalannya sekarang adalah, bagaimana supaya peraturan perundangan tentang rokok itu bisa responsif. Ia mampu mengakomodasi semua kepentingan dan menjadikan nilai-nilai ke-Islaman sebagai salah satu sumber penyusunan hukum nasional.

Semuanya akan berpulang kepada Pemerintah, legislator, lembaga ke-Islaman, dan kontrol media massa. Semoga bermanfaat.
Share:

Peraturan Nikah Sirri Akan Kembali ke Belakang?

Oleh: Eko Mardiono

Apakah opini tentang nikah sirri sekarang ini berbalik arah? Sebelumnya, publik begitu memandang negatif terhadap praktik nikah sirri. Pernikahannya sendiri menurut agama memang dianggap sah, tetapi diyakini akan bisa menimbulkan banyak madarat, terutama bagi pihak yang lemah.

Semua mafhum, bagaimana reaksi khayalak terhadap pernikahan sirri syekh Puji dengan Luthfiana Ulfa beberapa waktu yang lalu.

Sebetulnya pangkal utama dari pernikahan Syekh Puji itu adalah dipraktikkannya nikah sirri. Sehingga, terjadilah pernikahan anak di bawah umur dan poligami tanpa izin Pengadilan.

Ironisnya, pihak berwenang pun tidak dapat berbuat banyak karena memang tidak ada sanksi pidana yang signifikan bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya.

Namun, ketika RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan mencantumkan sanksi pidana bagi pelaku nikah sirri justru mendapatkan reaksi kontra dari masyarakat.

Menteri Agama Suryadharma Ali sendiri, misalnya, mengatakan bahwa nikah sirri dan kawin kontrak adalah kebutuhan. Karena itu, negara kemungkinan tetap akan mengaturnya ke depan. Tapi, akan seperti apa pengaturannya, belum bisa disampaikan.

Mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan pun menilai bahwa adanya pidana nikah sirri kurang relevan, karena pelanggaran hukum materiil tidak pernah ada pemidanaan (KR, 20/02/2010).

Paling tidak ada tiga alasan kenapa opini publik tentang nikah sirri dikatakan berbalik arah.

Pertama, sebenarnya semenjak awal masa kemerdekaan RI para pelaku nikah sirri sudah diancam hukuman pidana.

Bahkan, hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini pun juga demikian. Orang yang melaksanakan perkawinan tidak di hadapan pejabat yang berwenang diancam hukuman pidana.

UU Nomor 22/1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk pasal 3 ayat 1 secara gamblang menyatakan, “Barangsiapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah atau Wakilnya dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 50,- (lima puluh rupiah).”

PP Nomor 9/1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan pun demikian. Pasal 45 ayat 1 poin a PP ini menegaskan, “Barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3, 10 ayat (3), dan 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).

Padahal, pasal 3 PP tersebut mengatur tentang ketentuan pemberitahuan kehendak nikah kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan akan dilangsungkan. Sedangkan, pasal 10 PP tersebut mengatur tentang keharusan pelaksanaan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.

Adapun pasal 40 yang pelanggarnya juga diancam sanksi pidana mensyaratkan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.

Tampak jelas, walaupun besarnya hanya Rp. 7.500,-, tetapi hukum positif di Indonesia telah menetapkan sanksi pidana bagi pihak yang tidak mencatatkan perkawinannya.

Kalau demikian, kenapa dikatakan pelaku nikah sirri tidak dapat dipidanakan? Memang, yang diancam sanksi pidana bukan perbuatan akad nikahnya tetapi perbuatan pelanggarannya yang tidak mencatatkan perkawinannya kepada pejabat yang berwenang.

Kedua, keilmuan akademik sudah sampai pada suatu kesimpulan bahwa hukum perkawinan Islam di Indonesia sudah mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Salah satu indikatornya adalah adanya keharusan pencatatan perkawinan.

Bahkan, ada sebagian pakar yang memasukkan pencatatan perkawinan itu ke dalam unsur penentuan keabsahan perkawinan. Konklusi keilmuan tersebut dihasilkan berdasarkan pemahaman ajaran agama secara tematik dan holistik.

Hal ini berbeda dengan kitab-kitab fiqh. Di dalamnya tidak dikenal adanya registrasi perkawinan. Menurut fiqh konvensional tersebut, suatu perkawinan dianggap sah apabila telah terpenuhi syarat dan rukunnya.

Landasan filosofis institusi pencatatan perkawinan adalah untuk mewujudkan ketertiban dalam masyarakat dan memperoleh kepastian hukum, baik bagi yang bersangkutan maupun orang lain dan masyarakat.

Pencatatan perkawinan merupakan bentuk baru dari pemahaman perintah Nabi SAW agar mengumumkan nikah meskipun hanya dengan memotong seekor kambing.

Perintah Nabi tersebut sebetulnya ditujukan kepada masyarakat kesukuan yang kecil dan tertutup seperti penduduk Hijaz tempo dulu.

Bagi mereka, pesta memotong kambing memang sudah cukup sebagai pengumuman resmi. Tetapi, bagi masyarakat yang kompleks dan penuh dengan persyaratan formal seperti era sekarang ini, sudah cukupkah hanya dengan pesta memotong kambing?

Ketiga, sejak awal tahun tujuh puluhan, pembangunan hukum di Indonesia menganut dan mengembangkan teori law as a tool of social engineering, yakni hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.

Pokok-pokok pikiran dari pembangunan hukum ini adalah (1) terciptanya ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat; dan (2) peraturan hukum diharapkan dapat mengarahkan kegiatan masyarakat ke arah pembangunan komunitas yang dikehendaki (Mochtar Kusumaatmadja, 1976).

Saat ini pun ada fenomena sebagian masyarakat Indonesia yang melakukan praktik nikah sirri, kawin kontrak, bahkan kumpul kebo.

Menurut Frances Burton (Inggris), pada era sekarang ini struktur keluarga memang dapat berupa perkawinan (marriage) dan dapat pula berupa kumpul kebo (heterosexual cohabitation).

Menurut kedua model perkawinan tersebut, yang terpenting adalah bagaimana menegakkan kepentingan anak (children’s interest). Keduanya pun dalam hukum keluarga modern di Inggris sama-sama diakui keabsahannya.

Lantas, akankah RUU yang sudah masuk prolegnas ini juga akan hanya mengikuti perkembangan masyarakatnya tanpa harus ada upaya untuk mengarahkan kepada pembangunan masyarakat yang diidealkan?

Di sinilah posisi strategis para legislator, penguasa, dan media massa dalam penyusunan sebuah peraturan perundangan yang responsif.
 
Satu sisi mereka harus mampu menyerap dan menyuarakan perkembangan hukum yang hidup dalam masyarakat, tetapi di lain sisi mereka juga harus kuasa mengawal menuju pembentukan masyarakat yang dicita-citakan.

Share:

Pemberdayaan Perempuan di KUA


Oleh: Eko Mardiono

Sekarang ini sudah banyak perempuan yang menduduki posisi strategis, baik dalam lembaga legislatif, eksekutif maupun dalam kehidupan sosial.

Pemerintah pun telah menjalankan program pengarusutamaan gender. Program pemberdayaan perempuan tersebut menjadi sangat krusial ketika bersinggungan dengan pemahaman keagamaan. Oleh karenanya, sangatlah menarik membahasnya dari aspek tersebut.

Sebagai sampelnya, tulisan ini akan mendeskripsikan bagaimana pemberdayaan perempuan di Kantor Urusan Agama (KUA). KUA di satu sisi merupakan institusi pemerintah, di lain sisi ia sebagai instansi pelaksana pemahaman keagamaan.

Di samping itu, KUA juga mempunyai tugas dan fungsi yang bersinggungan langsung dengan kehidupan sosial.

Persoalannya sekarang, bagaimana seharusnya distribusi peran dan jabatan di KUA yang ideal dalam perspektif gender?

Semenjak kelahirannya sampai sekarang, kepala KUA selalu dijabat oleh laki-laki. Perempuan tidak pernah mendudukinya. Hal ini karena kepala KUA sekaligus ditunjuk sebagai wali hakim. Padahal, wali hakim harus seorang laki-laki. Akankah selamanya perempuan di KUA menjadi staf?

Pertanyaan ini mengemuka karena di KUA hanya ada dua jabatan, yaitu kepala kantor dan staf. Di dalamnya tidak terdapat jabatan struktural lainnya. Kalaupun ada jabatan fungsional penghulu, itu pun selama ini hanya diduduki oleh orang laki-laki.

Secercah harapan sebenarnya pernah muncul, yaitu ketika dikeluarkannya Keputusan Menteri Agama (KMA) 477/2004 tentang Pencatatan Nikah. Menurut KMA ini, kepala KUA tidak sebagai penghulu dan juga tidak sebagai wali hakim.

Berdasarkan KMA yang akhirnya dicabut oleh Peraturan Menteri Agama (PMA) 11/2007 ini, perempuan berpeluang menjabat sebagai kepala KUA.

Hanya saja, tidak selang begitu lama keluarlah PMA 30/2005 tentang Wali Hakim. PMA yang disebut terakhir ini menunjuk kembali kepala KUA sebagai wali hakim. Sejak saat itulah tertutup lagi kesempatan perempuan untuk menduduki jabatan kepala KUA.

Pertanyaannnya sekarang, masih adakah peluang lain bagi perempuan untuk mengabdikan dan mengaktualisasikan diri di KUA sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya?

Tulisan ini mempunyai sebuah hipotesis, sebenarnya bagi mereka masih terbuka peluang itu. Mereka bisa menduduki jabatan fungsional penghulu. Sebuah jabatan yang sangat strategis untuk level KUA. Namun, selama ini jabatan fungsional tersebut hanya diduduki oleh laki-laki.

Memang, seperti itulah opini publik, bahkan termasuk praktik para pengambil kebijakan. Oleh karena itu, sangatlah urgen mengemukakan sekaligus mensosialisasikan argumen-argumen yang mendukung bahwa jabatan fungsional penghulu sebetulnya tidak hanya untuk kaum Adam.

Paling tidak ada tiga aspek argumen yang dapat dikemukakan, yakni aspek formal, agama, dan sosial. 

Pertama aspek formal. Menurut PMA 11/ 2007 pasal 1 (3), penghulu adalah pejabat fungsional Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggungjawab, dan wewenang untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan.

Berdasarkan PMA ini tampak bahwa penghulu adalah Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil itu bisa laki-laki dan juga bisa perempuan.

Mungkin yang dipersoalkan, menurut agama Islam bolehkah seorang perempuan melakukan tugas-tugas kepenghuluan itu? Permasalahannya pun beralih ke aspek agama. 

Kedua aspek agama. Islam menentukan bahwa pernikahan sah apabila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama itu.

Suatu pernikahan dihukumi sah jika telah terpenuhi syarat dan rukunnya. Syarat dan rukun itu adalah calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab qabul.

Tampak, penghulu tidak termasuk di dalamnya. Dalam peristiwa akad nikah ini, penghulu memang hanya sebagai pengawas dan pencatat perkawinan.

Memang, selama ini dalam prosesi pelaksanaan akad nikah terdapat khutbah dan doa akad nikah. Namun, yang perlu diingat, keduanya tidak termasuk rukun akad nikah. Keduanya tidak harus ada. 

Kalaupun diharuskan ada, tidak bolehkah menurut Islam seorang perempuan memberikan khutbah dan doa akad nikah? Jawabannya boleh; dan sebenarnya istilah khutbah nikah bisa saja diganti dengan istilah nasihat perkawinan.

Ada hal lain yang mungkin dipersoalkan ketika penghulu dijabat oleh seorang perempuan. Yaitu, masih adanya sebagian wali nikah yang mewakilkan hak kewaliannya kepada penghulu padahal menurut Islam yang bisa mewakilinya hanyalah seorang laki-laki.

Sebetulnya persoalan itu pun bisa dicarikan solusinya. Persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan pendekatan sosial dan kebijakan institusional. 

Ketiga aspek sosial dan institusional. Terhadap kebiasaan sebagian masyarakat yang mewakilkan hak kewaliannya kepada penghulu, dapat ditempuh dua langkah.

Pertama, mereka diberi penjelasan bahwa lebih utama apabila mereka sendiri yang menikahkan. Sebelumnya mereka dapat dilatih sehingga mampu melaksanakan kewajiban mulianya itu.

Kalaupun mereka tetap mewakilkan kepada penghulu, maka dapat ditempuh langkah kedua. Yakni, dilakukan identifikasi wali nikah yang akan menikahkan sendiri. Kemudian penghulu perempuan lah yang diserahi tugas untuk menghadirinya.

Memang harus diakui, sampai saat ini masih ada sebagian masyarakat yang masih resisten terhadap kehadiran perempuan di ranah publik. Terhadap persoalan krusial ini dapat dilakukan pemetaan, mana yang masuk wilayah konstruksi sosial dan mana yang masuk wilayah ritual keagamaan.

Sambil menunggu proses pencerahan ini, penghulu perempuan untuk sementara waktu dapat diserahi tugas-tugas kepenghuluan yang tidak bersinggungan langsung dengan “upacara keagamaan”.

Mereka dapat diserahi tugas untuk melakukan pendaftaran dan pemeriksaan nikah, konsultasi perkawinan, dan pengembangan keluarga sakinah. Bahkan lebih daripada itu, mereka dapat diterjunkan di bidang tugas-tugas pengembangan profesi kepenghuluan.

Jelas, akan banyak pengaruh positifnya jika di KUA potensi penghulu perempuan diberdayakan. Kekurangan jumlah penghulu akan bisa terpenuhi. Bidang tugas kepenghuluan yang selama ini belum terjangkau dapat tertangani.

Kesan publik bahwa KUA hanya banyak menangani masalah “ijab qabul” bisa terkurangi. Para pegawai dari kaum Hawa ini pun bisa meniti karir di KUA Kecamatan.

Mereka akan bisa menjadi penghulu madya yang bergolongan IV/c. Demikian, terimakasih.
Share:

PASANGAN HIDUP

Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). (QS. an-Nur: 26)

Maka, jadilah yang baik, kamu pun mendapatkan yang baik.

PENGHULU

Kedudukan Penghulu
Penghulu berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional di bidang kepenghuluan pada Kementerian Agama.
Tugas Penghulu
Penghulu bertugas melaksanakan kegiatan pelayanan dan bimbingan nikah atau rujuk, pengembangan kepenghuluan, dan bimbingan masyarakat Islam.

SUKSES PENGHULU

Raih Angka Kredit Penghulu: Putuskan apa yang diinginkan, tulis rencana kegiatan, laksanakan secara berkesinambungan, maka engkau pun jadi penghulu harapan.

Categories

Followers

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *