
Apakah
opini tentang nikah sirri sekarang ini berbalik arah? Sebelumnya, publik begitu
memandang negatif terhadap praktik nikah sirri. Pernikahannya sendiri menurut
agama memang dianggap sah, tetapi diyakini akan bisa menimbulkan banyak
madarat, terutama bagi pihak yang lemah.
Semua
mafhum, bagaimana reaksi khayalak terhadap pernikahan sirri syekh Puji dengan
Luthfiana Ulfa beberapa waktu yang lalu.
Sebetulnya
pangkal utama dari pernikahan Syekh Puji itu adalah dipraktikkannya nikah
sirri. Sehingga, terjadilah pernikahan anak di bawah umur dan poligami tanpa
izin Pengadilan.
Ironisnya,
pihak berwenang pun tidak dapat berbuat banyak karena memang tidak ada sanksi
pidana yang signifikan bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya.
Namun, ketika RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan mencantumkan sanksi pidana bagi pelaku nikah sirri justru mendapatkan reaksi kontra dari masyarakat.
Menteri
Agama Suryadharma Ali sendiri, misalnya, mengatakan bahwa nikah sirri dan kawin
kontrak adalah kebutuhan. Karena itu, negara kemungkinan tetap akan mengaturnya
ke depan. Tapi, akan seperti apa pengaturannya, belum bisa disampaikan.
Mantan
Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan pun menilai bahwa adanya pidana nikah sirri
kurang relevan, karena pelanggaran hukum materiil tidak pernah ada pemidanaan
(KR, 20/02/2010).
Paling tidak ada tiga alasan kenapa opini publik tentang nikah sirri dikatakan berbalik arah.
Pertama,
sebenarnya semenjak awal masa kemerdekaan RI para pelaku nikah sirri sudah
diancam hukuman pidana.
Bahkan,
hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini pun juga demikian. Orang yang
melaksanakan perkawinan tidak di hadapan pejabat yang berwenang diancam hukuman
pidana.
UU Nomor 22/1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk pasal 3 ayat 1 secara gamblang menyatakan, “Barangsiapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah atau Wakilnya dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 50,- (lima puluh rupiah).”
PP Nomor
9/1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan pun demikian.
Pasal 45 ayat 1 poin a PP ini menegaskan, “Barangsiapa yang melanggar
ketentuan yang diatur dalam pasal 3, 10 ayat (3), dan 40 Peraturan Pemerintah
ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu
lima ratus rupiah).”
Padahal, pasal 3 PP tersebut mengatur tentang ketentuan pemberitahuan kehendak nikah kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan akan dilangsungkan. Sedangkan, pasal 10 PP tersebut mengatur tentang keharusan pelaksanaan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.
Adapun
pasal 40 yang pelanggarnya juga diancam sanksi pidana mensyaratkan bahwa
apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang, maka ia
wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.
Tampak jelas, walaupun besarnya hanya Rp. 7.500,-, tetapi hukum positif di Indonesia telah menetapkan sanksi pidana bagi pihak yang tidak mencatatkan perkawinannya.
Kalau
demikian, kenapa dikatakan pelaku nikah sirri tidak dapat dipidanakan? Memang,
yang diancam sanksi pidana bukan perbuatan akad nikahnya tetapi perbuatan
pelanggarannya yang tidak mencatatkan perkawinannya kepada pejabat yang
berwenang.
Kedua, keilmuan akademik sudah sampai pada suatu kesimpulan bahwa hukum perkawinan Islam di Indonesia sudah mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Salah satu indikatornya adalah adanya keharusan pencatatan perkawinan.
Bahkan,
ada sebagian pakar yang memasukkan pencatatan perkawinan itu ke dalam unsur
penentuan keabsahan perkawinan. Konklusi keilmuan tersebut dihasilkan
berdasarkan pemahaman ajaran agama secara tematik dan holistik.
Hal ini
berbeda dengan kitab-kitab fiqh. Di dalamnya tidak dikenal adanya registrasi
perkawinan. Menurut fiqh konvensional tersebut, suatu perkawinan dianggap sah
apabila telah terpenuhi syarat dan rukunnya.
Landasan filosofis institusi pencatatan perkawinan adalah untuk mewujudkan ketertiban dalam masyarakat dan memperoleh kepastian hukum, baik bagi yang bersangkutan maupun orang lain dan masyarakat.
Pencatatan
perkawinan merupakan bentuk baru dari pemahaman perintah Nabi SAW agar
mengumumkan nikah meskipun hanya dengan memotong seekor kambing.
Perintah
Nabi tersebut sebetulnya ditujukan kepada masyarakat kesukuan yang kecil dan
tertutup seperti penduduk Hijaz tempo dulu.
Bagi
mereka, pesta memotong kambing memang sudah cukup sebagai pengumuman resmi.
Tetapi, bagi masyarakat yang kompleks dan penuh dengan persyaratan formal
seperti era sekarang ini, sudah cukupkah hanya dengan pesta memotong kambing?
Ketiga, sejak awal tahun tujuh puluhan, pembangunan hukum di Indonesia menganut dan mengembangkan teori law as a tool of social engineering, yakni hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
Pokok-pokok
pikiran dari pembangunan hukum ini adalah (1) terciptanya ketertiban dan
keteraturan dalam masyarakat; dan (2) peraturan hukum diharapkan dapat
mengarahkan kegiatan masyarakat ke arah pembangunan komunitas yang dikehendaki
(Mochtar Kusumaatmadja, 1976).
Saat ini pun ada fenomena sebagian masyarakat Indonesia yang melakukan praktik nikah sirri, kawin kontrak, bahkan kumpul kebo.
Menurut
Frances Burton (Inggris), pada era sekarang ini struktur keluarga memang dapat
berupa perkawinan (marriage) dan dapat pula berupa kumpul kebo (heterosexual
cohabitation).
Menurut
kedua model perkawinan tersebut, yang terpenting adalah bagaimana menegakkan
kepentingan anak (children’s interest). Keduanya pun dalam hukum keluarga
modern di Inggris sama-sama diakui keabsahannya.
Lantas,
akankah RUU yang sudah masuk prolegnas ini juga akan hanya mengikuti
perkembangan masyarakatnya tanpa harus ada upaya untuk mengarahkan kepada
pembangunan masyarakat yang diidealkan?
Di
sinilah posisi strategis para legislator, penguasa, dan media massa dalam
penyusunan sebuah peraturan perundangan yang responsif.
Satu sisi mereka harus mampu menyerap dan menyuarakan perkembangan hukum yang hidup dalam masyarakat, tetapi di lain sisi mereka juga harus kuasa mengawal menuju pembentukan masyarakat yang dicita-citakan.
Betul, memang sekarang ini menurut peraturan perundangan yang berlaku, pelaku nikah sirri sudah diancam sanksi pidana. Memang sanksinya masih sangat kecil. Itu pun tidak ditegakkan.
BalasHapus