KMA 477/2004 ini mengemban amanat untuk mewujudkan sebuah konsep yang sudah sangat lama direncanakan guna mencapai cita-cita yang begitu luhur dan strategis, yaitu terberdayanya KUA dalam berbagai aspek tugas pokok dan fungsinya, supaya KUA ke depan tidak hanya berkutat dalam lingkup tugas nikah, talak, cerai, dan rujuk (NTCR).
Akan tetapi, tampaknya para pembuat kebijakan dalam merumuskan PMA 11/2007 ini mempunyai pertimbangan dan planning lain yang dianggap lebih cerdas dan progressif demi kebaikan dan kemajuan KUA itu sendiri sebagai lini terdepan Departemen Agama.
Kedua, PMA 11/2007 menetapkan beberapa ketentuan hukum perkawinan yang spesifik. Dalam perspektif ilmu hukum Islam (fiqh), dapat dikatakan bahwa beberapa ketentuan hukum perkawinan dalam PMA 11/2007 cukup fenomenal sekaligus kontroversial.
PMA ini menetapkan, syarat wali nasab adalah : (a) laki-laki, (b) beragama Islam, (c) baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun, (d) berakal, (e) merdeka, dan (f) dapat berlaku adil.[1] Persyaratan ini berbeda dengan yang ditetapkan oleh Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Tulisan ini disusun untuk mencoba mengkritisinya dalam perspektif hukum Islam di Indonesia dengan menggunakan pendekatan filosofis dan yuridis.
Handlichting (pendewasaan) ialah suatu pernyataan tentang seseorang yang belum mencapai usia dewasa penuh atau hanya untuk beberapa hal saja, ia dipersamakan dengan seorang yang sudah dewasa.[5]
B. Persyaratan Wali Nikah
Sebagaimana telah dikemukakan di depan, penetapan PMA 11/2007 tentang persyaratan wali nikah yang harus sudah baligh dan sekurang-kurangnya berumur 19 tahun adalah berbeda dengan ketentuan yang ada dalam KHI dan fiqh-fiqh pada umunya.
Baligh dan rusyd adalah dua hal yang berbeda. Baligh dalam bahasa Indonesia biasa diterjemahkan dengan kematangan fisik, sedangkan rusyd biasa diterjemahkan dengan kematangan mental atau kematangan akal pikiran.
Alquran memberikan petunjuk dalam menguji kematangan mental (rusyd) seseorang. Allah SWT berfirman Q.S. an-Nisa’ ayat 6.
Memang, sebagaimana pendapat Ahmad Azhar Basyir, M.A., akan lebih tepat apabila penentuan kedewasaan itu tidak hanya dibatasi dengan kriteria baligh, tetapi juga mengikutsertakan faktor rusyd (kematangan pertimbangan akal/mental).
Tampaknya, inilah yang dijadikan metode dan parameter para perumus PMA 11/2007 dalam menetapkan syarat batas minimal umur wali nikah, yaitu batasan umur rusyd (kematangan mental), bukan batasan baligh (kematangan fisik).
Dalam hal ini tampak bahwa pensyaratan minimal usia wali nikah di sini bertujuan demi kebaikan dan kemaslahatan semua pihak, karena dengan demikian wali nikah yang sudah rusyd akan bisa memutuskan segala sesuatu berdasarkan pertimbangan rasio, bukan emosi.
Hanya saja, persoalannya sekarang adalah bagaimana posisi dan implementasi ketetapan PMA 11/2007 tersebut dalam hukum positif di Indonesia?
Sebenarnya, dalam hukum positif di Indonesia dikenal adanya lembaga handlichting (pendewasaan).
Pendewasaan sebagaimana diuraikan di atas merupakan pendewasaan atas inisiatif personal.
Menurut Prof. Subekti, S.H., tafsir a contario dari pasal 50 Undang-undang Perkawinan tersebut adalah jika anak yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua itu sudah mencapai umur 18 tahun, maka anak tersebut sudah dianggap dewasa, yang otomatis sudah cakap berbuat hukum.
Ketentuan kedewasaan Undang-undang Perkawinan lah yang berlaku, baik dalam bidang perkawinan maupun dalam hal perbuatan hukum pada umumnya.
Dengan demikian, berdasarkan analisis yuridis ini dapat disimpulkan bahwa ketetapan PMA 11/2007 tentang batasan minimal umur wali nikah 19 tahun berbeda dengan Undang-undang Perkawinan.
Bagaimana jika ada calon wali nikah berusia 18 tahun yang disebabkan ayah kandungnya telah meninggal dunia tetapi ia masih dalam kekuasaan salah satu orang tuanya, yaitu ibu kandungnya?
Syarat wali nikah kedua dalam PMA 11/2007 yang akan dikritisi dalam tulisan ini adalah syarat “dapat berlaku adil”.
Padahal, para perintis dan pelaksana KHI berjuang dengan sekuat tenaga untuk menghilangkan semua itu.
Sebetulnya KHI hanya mengadopsi persyaratan wali nikah yang telah disepakati para ulama. Ada 3 syarat yang disepakati oleh mereka, yaitu Islam, baligh, dan berakal.[21]
Kalau demikian, apa sebenarnya pertimbangan PMA 11/2007 mensyaratkan wali nikah harus “dapat berlaku adil”? Padahal kalau dikritisi, penambahan syarat ini sama sekali tidak ada pengaruhnya (وجوده كعدمه).[23]
Menurut M. Quraish Shihab, perbedaan antara kata yang berbentuk kata benda atau pelaku (isim fa’il) dan yang berbentuk kata kerja (fi’il) adalah kalau berbentuk kata yang pertama perbuatan itu sudah menjadi karakter dan kepribadiannya atau perbuatan itu berulangkali dikerjakan, sedangkan jika berbentuk kata yang kedua perbuatan itu hanya sesekali dikerjakan.[24]
Inilah makna filosofis dari penggunaan kata berbentuk fi’il. Penggunaan kata berbentuk fi’il ini tentunya bukan ketidaksengajaan. PMA 11/2007 adalah produk peraturan hukum.
C. Kesimpulan
Saran dan Usul
[1] Pasal 18 ayat 2 PMA Nomor 11 Tahun 2007.
[2] Pasal 20 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
[3] Adapun masalah syarat wali nikah harus laki-laki, pada dasarnya dalam PMA ini tidak ada penambahan karena yang disyaratkan dalam KHI wali harus muslim, aqil, dan baligh adalah seorang laki-laki. Cermati kembali Pasal 20 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia!
[4] Drs. Abdul Halim, M.Hum., “Ijtihad Kontemporer : Kajian Terhadap Beberapa Aspek Hukum Keluarga Islam di Indonesia”, dalam Dr. Ainurrofiq, M.A. (ed.al), Mazhab Yogya : Menggagas Paradigma Ushul Kontemporer (Djogyakarta : Ar-Ruzz Press, 2002), hlm. 233.
[5] Prof. Subekti, S.H., Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta : Intermasa, 1989), hlm. 55.
[6] Al-Imam al-Hafiz al-Musannif al-Muttaqin Abi Dawud Sulaiman Ibni al-Asy'asas-Sijistani al-Azdi, edisi Muhammad Muhyi ad-Din 'Abd al-Hamid, Sunan Abi Dawud (ttp.: Dar al-Fikr li at-Taba'ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi', t.t.), juz IV : 141.
[7] Mansur bin Yunus bin Idris al-Buhuti, Sharh al-Muntaha al-Iradat (al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktaba as-Salafiya, t.t.), Vol. II, hlm. 289.
[8] Drs. H. Dadan Muttaqien, S,H., M.Hum. , Cakap Hukum Bidang Perkawinan dan Perjanjian (Yogyakarta : Insania Cita Press, 2006), hlm.24.
[9] Drs. H. Dadan Muttaqien, S,H., M.Hum. , Cakap., hlm. 25.
[10] Ahmad Azhar Basyir, M.A., Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta : UII Press, 2004), hlm. 31.
[11] As-Sayuti, al-Asybah wa an-Nazair, (Indonesia : Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.), hlm. 22.
[12] ‘Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al- ‘ala al-Mazahib al-‘Arba’ah (Misr : al-Maktabah at-Tijariyyat al-Kubra, 1969), hlm. IV : 28.
[13] Masalah lex generalis, lihat Drs. H. Roihan A. Rasyid, S.H., Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta : Rajawali Press, 1991), hlm.21.
[14] Lihat : (1) pasal 330 KUH Perdata (BW), (2) Stb. 1924-556, (3) Stb. 1924-557, dan (4) Stb. 193-554.
[15] Drs. H. Dadan Muttaqien, S,H., M.Hum. , Cakap., hlm. 52.
[16] Pasal 71 (e) KHI menyatakan, suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila : perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau oleh wali yang tidak berhak.
[17] Prof. Subekti, S.H., Pokok-pokok,. hlm. 55.
[18] Ibid.
[19] Ibid., hlm. 56.
[20] M. Yahya Harahap, “Materi Kompilasi Hukum Islam”, dalam Dr. Moh. Mahfud MD., S.H., S.U., (ed.al), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta : UII Press, 1993), hlm. 63 - 65.
[21] Muhammad Asy-Syarbini al-Khatib, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Alfaz al-Minhaj (Misr : Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuhu, 1958), hlm. 14.
[22] Sayyid Sabiq, as-Sunnah (Beirut : Dar al-Fikr, 1426-1427 H/2006 M.), hlm. 517.
[23] Berdasarkan hasil pembinaan penghulu oleh Kepala Seksi Urusan Agama Islam Kantor Departemen Agama Kabupaten Sleman pada Kamis, 21 September 2006, dapat berlaku adil bagi wali nikah di sini dipahami beragama Islam.
Dengan demikian, penulis menyimpulkan, persyaratan dapat berlaku adil tidak diperlukan karena syarat ini sama dengan syarat Islam yang sudah menjadi salah satu syarat wali nikah.
[24] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Vo. 1, hlm. 98.