• Keputusan Revolusioner MK Status Anak di Luar Nikah

    Mahkamah Konstitusi membuat keputusan revolusioner bahwa anak yang lahir di luar perkawinan yang sah mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya guna melindungi hak-hak anak yang dilahirkan dan membebani tanggung jawab ayah biologis yang bersangkutan.

  • Revisi UU Perkawinan dan Perlindungan Hak Anak

    UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah direvisi dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 bahwa usia paling rendah seseorang dapat melangsungkan perkawinan adalah 19 (sembilan belas) tahun, baik bagi laki-laki ataupun perempuan.

  • Daftar Nikah di KUA Secara Online Pakai HP

    Sekarang ini calon pengantin dapat daftar nikah secara online pakai HP, kemudian datang ke KUA untuk validasi syarat nikah dan persetujuan waktu akad nikah.

  • Istithaah Kesehatan Jemaah Haji

    Syarat beribadah haji adalah Islam, baligh, berakal, dan istithaah. Syarat Istithaah juga meliputi istithaah menurut standar kesehatan sebagaimana Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2016 tentang Istithaah Kesehatan Jemaah Haji.

  • Ketentuan Kegiatan Peribadatan Masa PPKM Level 4 (Empat)

    Tempat ibadah di kabupaten/kota wilayah Jawa dan Bali dengan kriteria level 4 (empat) dan level 3 (tiga) dapat melaksanakan kegiatan peribadatan/keagamaan berjamaah selama masa penerapan PPKM.

  • Upacara Hari Jadi Kabupaten Sleman

    Warga masyarakat Kabupaten Sleman memperingati Hari Jadi Kabupaten Sleman. Upacara Peringatannya dilaksanakan menurut adat budaya Jawa. Semua peraga upacara berpakaian dan berbahasa Jawa.

  • Pelaksanaan Akad Nikah Masa New Normal Covid-19

    Pada masa New Normal (Tatanan Normal Baru) Pandemi Covid-19 Korona, akad nikah dapat dilaksanakan di Balai Nikah KUA ataupun di luar Balai Nikah KUA Kecamatan dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi.

  • Public Hearing Standar Pelayanan Publik KUA

    UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mengamanatkan bahwa Instansi Pemerintah, termasuk KUA Kecamatan, sebagai penyedia layanan harus menetapkan Standar Pelayanan Publik.

  • Syarat dan Alur Pencatatan Perkawinan

    Setiap perkawinan dicatatkan. Syarat dan prosedur pencatatannya sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan.

  • Praktik Kerja Mahasiswa UIN SUKA di KUA

    Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta melaksanakan praktik kerja lapangan di Kantor Urusan Agama,supaya mahasiswa dapat mengelaborasikan antara teori dan praktik bidang hukum keluarga Islam.

Kritik Penetapan Hukum PMA 11/2007

A.     Pendahuluan
Kelahiran Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11 Tahun 2007 tanggal 21 Juli 2007 tentang Pencatatan Nikah cukup mengundang perhatian banyak pihak, terutama di kalangan pelaksana undang-undang perkawinan.

Hal ini dikarenakan diantaranya, pertama PMA 11/2007 ini membatalkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 477 Tahun 2004 tentang perihal yang sama.

Padahal sebenarnya lahirnya KMA 477/2004 merupakan upaya realisasi dari sebuah gagasan besar yang berwawasan jauh ke depan.

KMA
477/2004 ini mengemban amanat untuk mewujudkan sebuah konsep yang sudah sangat lama direncanakan guna mencapai cita-cita yang begitu luhur dan strategis, yaitu terberdayanya KUA dalam berbagai aspek tugas pokok dan fungsinya, supaya KUA ke depan tidak hanya berkutat dalam lingkup tugas nikah, talak, cerai, dan rujuk (NTCR).

Akan tetapi, tampaknya para pembuat kebijakan dalam merumuskan PMA 11/2007 ini mempunyai pertimbangan dan planning lain yang dianggap lebih cerdas dan progressif demi kebaikan dan kemajuan KUA itu sendiri sebagai lini terdepan Departemen Agama.

Kedua, PMA 11/2007 menetapkan beberapa ketentuan hukum perkawinan yang spesifik. Dalam perspektif ilmu hukum Islam (fiqh), dapat dikatakan bahwa beberapa ketentuan hukum perkawinan dalam PMA 11/2007 cukup fenomenal sekaligus kontroversial.

Di antaranya adalah penetapan ketentuan tentang persyaratan wali nasab dalam pelaksanaan akad nikah.

PMA ini menetapkan, syarat wali nasab adalah : (a) laki-laki, (b) beragama Islam, (c) baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun, (d) berakal, (e) merdeka, dan (f) dapat berlaku adil.[1] Persyaratan ini berbeda dengan yang ditetapkan oleh Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Kompilasi Hukum Islam hanya mensyaratkan wali nikah harus muslim, aqil, dan baligh.[2] Sehingga, dalam PMA tersebut ada penambahan syarat wali nikah, yaitu (1) berumur sekurang-kurangnya 19 tahun, (2) merdeka, dan (3) dapat berlaku adil.[3]

Tulisan ini disusun untuk mencoba mengkritisinya dalam perspektif hukum Islam di Indonesia dengan menggunakan pendekatan filosofis dan yuridis.

Analisisnya akan dibatasi hanya pada penetapan syarat wali nikah yang berupa: baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun dan dapat berlaku adil supaya bisa lebih fokus dan konprehensif.

Adapun persyaratan wali nikah lainnya akan disinggung secara global. Kemudian, sebagai pisau bedah analisisnya, kajian ini akan mengimplementasikan teori ijtihad intiqa’i dan ijtihad insya’i, serta teori handlichting (pendewasaan).

Ijtihad Intiqa’i ialah ijtihad yang dilakukan dengan cara menyeleksi pendapat ulama terdahulu yang dipandang lebih cocok dan lebih kuat.

Ijtihad Insya’i adalah mengambil konklusi hukum baru dalam suatu permasalahan, yang permasalahan tersebut belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu, baik masalah itu baru atau lama.

Sedangkan gabungan antara ijtihad intiqa’i dan ijtihad insya’i ialah menyeleksi pendapat-pendapat ulama terdahulu yang dipandang lebih cocok dan lebih kuat, kemudian dalam pendapat tersebut ditambahkan unsur-unsur ijtihad baru.[4]

Handlichting (pendewasaan) ialah suatu pernyataan tentang seseorang yang belum mencapai usia dewasa penuh atau hanya untuk beberapa hal saja, ia dipersamakan dengan seorang yang sudah dewasa.[5]

Handlichting (pendewasaan) ini bisa berasal dari permohonan secara personal kepada presiden dan bisa sudah berupa ketetapan peraturan perundang-undangan.

B.
  Persyaratan Wali Nikah
Sebagaimana telah dikemukakan di depan, penetapan PMA 11/2007 tentang persyaratan wali nikah yang harus sudah baligh dan sekurang-kurangnya berumur 19 tahun adalah berbeda dengan ketentuan yang ada dalam KHI dan fiqh-fiqh pada umunya.

Dalam khazanah ilmu fiqh, penentuan baligh didasarkan kepada kejadian ihtilam (mimpi basah) bagi laki-laki dan menstruasi bagi perempuan. Hal ini didasarkan kepada hadis Nabi SAW:
رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يعقل [6]
Yang menarik untuk dikritisi adalah, apa sebenarnya standar atau ukuran PMA 11/2007 dalam menetapkan bahwa balighnya seorang laki-laki terjadi pada minimal usia 19 tahun?

Padahal, menurut penelitian para pakar hukum Islam ---misalnya Al-Auza’i, imam Ahmad, Asy-syafi’i, Abu Yusuf, dan Muhammad--- baligh (kematangan fisik) seorang laki-laki terjadi paling cepat pada usia 9 tahun dan paling lambat usia 15 tahun.[7] Atau, apakah mungkin yang dimaksud usia minimal wali nikah oleh PMA 11/2007 di sini adalah bukan usia minimal baligh, tetapi usia minimal mencapai derajat rusyd?

Baligh dan rusyd adalah dua hal yang berbeda. Baligh dalam bahasa Indonesia biasa diterjemahkan dengan kematangan fisik, sedangkan rusyd biasa diterjemahkan dengan kematangan mental atau kematangan akal pikiran.

Baligh ditandai dengan ihtilam (mimpi basah) bagi laki-laki dan menstruasi bagi perempuan. Sedangkan, rusyd ialah keadaan seseorang yang mampu memahami hakekat sesuatu yang diperlukan dan yang tidak, sesuatu yang mungkin dan yang tidak, dan sesuatu yang dianggap penting dan yang dianggap membahayakan.[8]

Alquran memberikan petunjuk dalam menguji kematangan mental (rusyd) seseorang. Allah SWT berfirman Q.S. an-Nisa’ ayat 6.

Ayat ini menjelaskan tentang ketentuan menguji kematangan mental (rusyd) bagi anak yatim dan orang yang belum dewasa, baik bagi yang tidak normal karena ketidaksempurnaan daya pikirnya maupun yang semata-mata karena belum mencapai tingkat kedewasaan.[9]

Memang, sebagaimana pendapat Ahmad Azhar Basyir, M.A., akan lebih tepat apabila penentuan kedewasaan itu tidak hanya dibatasi dengan kriteria baligh, tetapi juga mengikutsertakan faktor rusyd (kematangan pertimbangan akal/mental).

Untuk menentukan waktu seseorang dipandang matang atau rusyd, menurut Basyir, dapat diadakan penelitian terhadap orang-orang antara umur 15 dan 25 tahun. Kemudian diambil angka rata-rata, kapan seseorang itu dipandang telah rusyd.

Mungkin, akan ditemukan angka umur 19, 20, atau 21 tahun, yang kemudian dijadikan stándar baku untuk menentukan batas kedewasaan (rusyd) tersebut.[10]

Tampaknya, inilah yang dijadikan metode dan parameter para perumus PMA 11/2007 dalam menetapkan syarat batas minimal umur wali nikah, yaitu batasan umur rusyd (kematangan mental), bukan batasan baligh (kematangan fisik).

Sebab sebagaimana telah dikemukakan, bahwa berdasarkan penelitian para pakar hukum Islam, baligh paling lambat terjadi pada usia 15 tahun.

Apalagi pada era sekarang karena pengaruh media massa, baik elektronik ataupun cetak, dan pengaruh hormon makanan, bisa jadi seseorang akan lebih cepat lagi dalam mencapai usia baligh.

Dalam hal ini tampak bahwa pensyaratan minimal usia wali nikah di sini bertujuan demi kebaikan dan kemaslahatan semua pihak, karena dengan demikian wali nikah yang sudah rusyd akan bisa memutuskan segala sesuatu berdasarkan pertimbangan rasio, bukan emosi.

Penetapan hukum ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah:
 تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة [11]
Artinya : Peraturan Pemerintah adalah berintikan terjaminnya kemaslahatan rakyatnya.

Sementara itu di sisi lain, dalam literatur fiqh dikenal adanya satu mazhab yang mensyaratkan wali nikah harus sudah rusyd, tidak cukup sudah baligh. Mazhab tersebut adalah Hanabilah atau mazhab Hanbali.[12]

Dengan demikian, terlihat bahwa bentuk ijtihad yang digunakan dalam PMA 11/2007 adalah penggabungan antara ijtihad intiqa’i dan ijtihad insya’i.

Dikatakan menggunakan ijtihad intiqa’i karena menyeleksi pendapat-pendapat ulama terdahulu. Yaitu, dengan lebih memilih pendapat ulama mazhab Hanbali.

Dikatakan menggunakan ijtihad insya’i karena ia menambahkan unsur-unsur ijtihad baru ke dalam pendapat mazhab Hanbali tersebut, yakni batasan definitif usia rusyd, yang berupa syarat umur wali nikah sekurang-kurangnya 19 tahun.

Pembatasan usia semacam ini belum pernah ditemukan ketentuan hukumnya dalam literatur fiqh klasik.

Demikianlah hasil ijtihad kontemporer PMA 11/2007. Ia merupakan perkembangan progressif dalam pembangunan hukum Islam di Indonesia.

Hanya saja, persoalannya sekarang adalah bagaimana posisi dan implementasi ketetapan PMA 11/2007 tersebut dalam hukum positif di Indonesia?

Hal ini perlu dicermati karena PMA 11/2007 merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. PMA ini diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 5 di Jakarta pada tanggal 25 Juni 2007.

Selain itu, juga karena ia harus berlandaskan dan bersesuaian dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia sebagai lex generalis-nya.[13]

Ternyata menurut hukum positif, batas kedewasaan seseorang adalah 21 tahun[14]. Sehingga secara a contario atau mafhum mukhalafah, seseorang yang belum berusia 21 tahun dianggap belum dewasa.

Ia belum cakap bertindak hukum.[15] Dalam perspektif ini, jelas ketetapan PMA 11/2007 tentang batasan minimal umur wali nikah sekurang-kurangnya 19 tahun tidak dapat diterapkan karena pada usia itu seseorang dianggap tidak cakap berbuat hukum, apalagi perbuatan hukum itu diperuntukkan bagi orang lain, yaitu calon isteri yang berada di bawah kewaliannya.

Jika tetap dipaksakan, tentunya perbuatan hukum wali nikah itu bisa dikategorikan dapat dibatalkan.[16] Oleh karena itu, perlu dicarikan solusi hukum lainnya.

Sebenarnya, dalam hukum positif di Indonesia dikenal adanya lembaga handlichting (pendewasaan).

Pendewasaan ialah suatu pernyataan tentang seseorang yang belum mencapai usia dewasa penuh atau hanya untuk beberapa hal saja, ia dipersamakan dengan seorang yang sudah dewasa.[17]

Pendewasaan ini diberikan kepada seseorang karena ada kepentingan tertentu yang membutuhkan kecakapan berbuat hukum.

Sehingga walaupun belum berusia genap 21 tahun, ia dapat diberi “dispensasi” berstatus dewasa sehingga cakap berbuat hukum. Permohonan pendewasaan ini diajukan kepada presiden.[18]

Pendewasaan sebagaimana diuraikan di atas merupakan pendewasaan atas inisiatif personal.

Sebenarnya, ada lembaga handlichting (pendewasaan) yang telah ditetapkan oleh Undang-undang. Sehingga, walaupun tidak mengajukan permohonan pendewasaan kepada presiden secara personal, tetapi orang yang termasuk kategori itu sudah secara otomatis dianggap dewasa dan cakap berbuat hukum.

Yaitu, pendewasaan yang ditetapkan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 50 ayat 1 Undang-undang ini menetapkan, anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.

Menurut Prof. Subekti, S.H., tafsir a contario dari pasal 50 Undang-undang Perkawinan tersebut adalah jika anak yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua itu sudah mencapai umur 18 tahun, maka anak tersebut sudah dianggap dewasa, yang otomatis sudah cakap berbuat hukum.

Pakar hukum ini selanjutnya menyatakan, dengan ditetapkannya oleh Undang-undang Perkawinan bahwa 18 tahun sebagai usia kedewasaan, maka lembaga pendewasaan (handlichting) sudah kehilangan artinya.[19] 

Ketentuan kedewasaan Undang-undang Perkawinan lah yang berlaku, baik dalam bidang perkawinan maupun dalam hal perbuatan hukum pada umumnya.

Yaitu, seorang anak yang tidak berada di bawah kekuasaan orangtua apabila telah berusia 18 tahun sudah cakap berbuat hukum.

Dengan demikian, berdasarkan analisis yuridis ini dapat disimpulkan bahwa ketetapan PMA 11/2007 tentang batasan minimal umur wali nikah 19 tahun berbeda dengan Undang-undang Perkawinan.

Menurut Undang-undang Perkawinan ini, batas minimal usia kedewasaan adalah 18 tahun. Oleh karena itu, jika ada anak laki-laki yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua sudah berumur 18 tahun, anak tersebut sudah memenuhi syarat menjadi wali nikah.

PMA 11/2007 tidak mungkin akan men-takhshish Undang-undang Perkawinan, apalagi membatalkannya. Oleh karena itu, dengan menggunakan teori Prof. Subekti, S.H., ketentuan batas minimal umur wali nikah oleh PMA 11/2007 kehilangan artinya.

Bagaimana jika ada calon wali nikah berusia 18 tahun yang disebabkan ayah kandungnya telah meninggal dunia tetapi ia masih dalam kekuasaan salah satu orang tuanya, yaitu ibu kandungnya?

Dalam kasus seperti ini, memang ia sudah memenuhi syarat rusyd tetapi belum dianggap dewasa oleh hukum positif.

Ketika seorang anak masih berada dalam kekuasaan kedua atau salah satu orang tuanya, usia kedewasaannya adalah 21 tahun. Handlichting (pendewasaan) oleh Undang-undang Perkawinan tidak berlaku baginya.

Oleh karena itu, apabila anak laki-laki tersebut akan menjadi wali nikah, ia harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari ibu kandungnya. Tentunya, pemberian izin ini harus berbentuk surat izin tertulis.

Syarat wali nikah kedua dalam PMA 11/2007 yang akan dikritisi dalam tulisan ini adalah syarat “dapat berlaku adil”.

Penambahan persyaratan ini dalam penerapannya bisa menimbulkan persoalan serius. Apalagi, PMA 11/2007 tidak menjelaskan kriteria “dapat berlaku adil” tersebut.

Hal ini bisa mengakibatkan beragamnya pemahaman di kalangan pelaksana Undang-undang Perkawinan dan semua pihak yang berkepentingan.

Bisa jadi, bagi satu pihak seorang wali nikah dianggap adil, tetapi bagi lain pihak ia dinilai sebaliknya. Jelas, hal itu akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Padahal, para perintis dan pelaksana KHI berjuang dengan sekuat tenaga untuk menghilangkan semua itu.

KHI disusun diantaranya adalah dalam rangka (1) menyamakan persepsi penerapan hukum, (2) mempercepat proses taqribi bainal umah, dan (3) menyingkirkan paham private affair.

Dengan adanya Kompilasi, diharapkan ia dapat menjadi sebagai jembatan penyeberang ke arah memperkecil pertentangan dan perbantahan khilafiyah.

Pada akhirnya, penerapan hukum menjadi seragam dan kepastian hukum menjadi kenyataan.[20] Akan tetapi, tampaknya misi utama KHI ini dimentahkan kembali oleh PMA 11/2007.

Sebetulnya KHI hanya mengadopsi persyaratan wali nikah yang telah disepakati para ulama. Ada 3 syarat yang disepakati oleh mereka, yaitu Islam, baligh, dan berakal.[21]

Bahkan secara tegas, Sayyid Sabiq menyatakan bahwa wali nikah tidak disyaratkan adil. Seseorang yang durhaka (fasiq) tidak kehilangan hak menjadi wali nikah, kecuali kalau kedurhakaannya melampaui batas-batas kewajaran yang berat.[22]

Kalau demikian, apa sebenarnya pertimbangan PMA 11/2007 mensyaratkan wali nikah harus “dapat berlaku adil”? Padahal kalau dikritisi, penambahan syarat ini sama sekali tidak ada pengaruhnya (وجوده كعدمه).[23]

Hal ini terlihat di antaranya dari bentuk kata yang dipakai, yaitu menggunakan bentuk kata kerja (fi’il), “dapat berlaku adil”, tidak menggunakan bentuk kata benda atau pelaku (isim fa’il), “adil”.

Menurut M. Quraish Shihab, perbedaan antara kata yang berbentuk kata benda atau pelaku (isim fa’il) dan yang berbentuk kata kerja (fi’il) adalah kalau berbentuk kata yang pertama perbuatan itu sudah menjadi karakter dan kepribadiannya atau perbuatan itu berulangkali dikerjakan, sedangkan jika berbentuk kata yang kedua perbuatan itu hanya sesekali dikerjakan.[24]

Di dunia ini tidak ada seorang pun yang sesekali tidak pernah berlaku adil. Orang fasiq pun pasti pernah berlaku adil walaupun hanya sekali tempo.

Paling tidak dapat berlaku adil pada saat mengijabkan anak perempuan yang berada di bawah perwaliannya. Oleh karenanya, ia tetap memenuhi syarat wali nikah yang berupa “dapat berlaku adil”.

Inilah makna filosofis dari penggunaan kata berbentuk fi’il. Penggunaan kata berbentuk fi’il ini tentunya bukan ketidaksengajaan. PMA 11/2007 adalah produk peraturan hukum.

Pasti sudah dicermati redaksi kalimatnya, kata demi kata. Apalagi penggunaan istilah adil (العادل) sudah lazim dalam literatur fiqh, tetapi justru ia tidak dipakai dalam PMA tersebut.

C. 
Kesimpulan
Pembatasan minimal usia wali nikah dengan derajat rusyd adalah sebuah upaya ijtihad kontemporer dengan menggabungkan Ijtihad Intiqa’i dan Ijtihad Insya’i.

Persyaratan wali nikah sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dalam PMA 11/2007 berbeda dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan.

Menurut Undang-undang Perkawinan, usia kedewasaan seorang anak yang tidak berada di bawah kekuasaan orantuanya adalah 18 tahun, sehingga pada usia itu seseorang sudah memenuhi syarat untuk menjadi wali nikah.

Penambahan persyaratan wali nikah berupa “dapat berlaku adil” justru dapat menimbulkan ketidakseragaman pemahaman dan penerapan serta ketidakpastian hukum, karena tidak ada kriteria baku tentang hal itu yang dapat diterima oleh semua pihak.

Saran dan Usul
Umur minimal seorang wali nikah dalam sebuah PMA akan lebih tepat apabila ditetapkan sekurang-kurangnya berusia 18 (delapan belas) tahun supaya tidak berbeda dengan Undang-undang Perkawinan.

Kalaupun akan menaikkannya menjadi 19 tahun, maka terlebih dahulu harus meninjau ulang ketentuan Undang-undang Perkawinan.

Dalam PMA Nomor 11 Tahun 2007 ada pencantuman syarat wali nikah yang dapat berkonotasi kurang positif. Misalnya, adanya syarat merdeka. Hal itu dapat berkonotasi kepada praktik perbudakan, mengesankan kembali lagi ke peraturan zaman beberapa abad yang lampau, dan terlalu classic fiqh oriented.

Padahal sebenarnya walaupun syarat merdeka itu tidak dicantumkan dalam PMA, tetapi syarat merdeka itu sudah otomatis harus diterapkan karena sudah menjadi ketentuan dalam hukum positif sebagai lex generalis PMA 11/2007. Wallahu a'lam bish-shawab.

Catatan:
[1] Pasal 18 ayat 2 PMA Nomor 11 Tahun 2007. 


[2] Pasal 20 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

[3] Adapun masalah syarat wali nikah harus laki-laki, pada dasarnya dalam PMA ini tidak ada penambahan karena yang disyaratkan dalam KHI wali harus muslim, aqil, dan baligh adalah seorang laki-laki. Cermati kembali Pasal 20 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia!


[4] Drs. Abdul Halim, M.Hum., “Ijtihad Kontemporer : Kajian Terhadap Beberapa Aspek Hukum Keluarga Islam di Indonesia”, dalam Dr. Ainurrofiq, M.A. (ed.al), Mazhab Yogya : Menggagas Paradigma Ushul Kontemporer (Djogyakarta : Ar-Ruzz Press, 2002), hlm. 233.


[5] Prof. Subekti, S.H., Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta : Intermasa, 1989), hlm. 55.


[6] Al-Imam al-Hafiz al-Musannif al-Muttaqin Abi Dawud Sulaiman Ibni al-Asy'asas-Sijistani al-Azdi, edisi Muhammad Muhyi ad-Din 'Abd al-Hamid, Sunan Abi Dawud (ttp.: Dar al-Fikr li at-Taba'ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi', t.t.), juz IV : 141.


[7] Mansur bin Yunus bin Idris al-Buhuti, Sharh al-Muntaha al-Iradat (al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktaba as-Salafiya, t.t.), Vol. II, hlm. 289.


[8] Drs. H. Dadan Muttaqien, S,H., M.Hum. , Cakap Hukum Bidang Perkawinan dan Perjanjian (Yogyakarta : Insania Cita Press, 2006), hlm.24.

[9] Drs. H. Dadan Muttaqien, S,H., M.Hum. , Cakap., hlm. 25.

[10] Ahmad Azhar Basyir, M.A., Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta : UII Press, 2004), hlm. 31.

[11] As-Sayuti, al-Asybah wa an-Nazair, (Indonesia : Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.), hlm. 22.

[12] ‘Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al- ‘ala al-Mazahib al-‘Arba’ah (Misr : al-Maktabah at-Tijariyyat al-Kubra, 1969), hlm. IV : 28.

[13] Masalah lex generalis, lihat Drs. H. Roihan A. Rasyid, S.H., Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta : Rajawali Press, 1991), hlm.21.

[14] Lihat : (1) pasal 330 KUH Perdata (BW), (2) Stb. 1924-556, (3) Stb. 1924-557, dan (4) Stb. 193-554.

[15] Drs. H. Dadan Muttaqien, S,H., M.Hum. , Cakap., hlm. 52.

[16] Pasal 71 (e) KHI menyatakan, suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila : perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau oleh wali yang tidak berhak.

[17] Prof. Subekti, S.H., Pokok-pokok,. hlm. 55.

[18] Ibid. 

[19] Ibid., hlm. 56.

[20] M. Yahya Harahap, “Materi Kompilasi Hukum Islam”, dalam Dr. Moh. Mahfud MD., S.H., S.U., (ed.al), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta : UII Press, 1993), hlm. 63 - 65.

[21] Muhammad Asy-Syarbini al-Khatib, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Alfaz al-Minhaj (Misr : Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuhu, 1958), hlm. 14.

[22] Sayyid Sabiq, as-Sunnah (Beirut : Dar al-Fikr, 1426-1427 H/2006 M.), hlm. 517.

[23] Berdasarkan hasil pembinaan penghulu oleh Kepala Seksi Urusan Agama Islam Kantor Departemen Agama Kabupaten Sleman pada Kamis, 21 September 2006, dapat berlaku adil bagi wali nikah di sini dipahami beragama Islam.

Dengan demikian, penulis menyimpulkan, persyaratan dapat berlaku adil tidak diperlukan karena syarat ini sama dengan syarat Islam yang sudah menjadi salah satu syarat wali nikah. 

[24] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Vo. 1, hlm. 98.
Share:

PMA Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah

Share:

Menghitung Tanggal Menjadi Janda

Oleh: Eko Mardiono

A. Pendahuluan

Di kalangan Pelaksana Undang-undang Perkawinan, baik Pegawai Pencatat Nikah, Penghulu, ataupun Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, terjadi perbedaan pendapat dalam menghitung tanggal menjadi janda seorang wanita yang bercerai dari suaminya.

Penghitungan tanggal menjadi janda ini sangat penting karena berkaitan erat dengan penghitungan masa iddah seorang janda.

 Ada penghulu yang menghitung masa iddah seorang janda mulai tanggal "Putusan" Pengadilan Agama. Ada Penghulu yang menghitung mulai tanggal "Penetapan" Pengadilan Agama. Ada pula yang menghitung mulai doterbitkannya "Akta cerai" oleh Pengadilan Agama.

Pertanyaannya sekarang: Mana yang benar?

B. Produk Hukum dalam Perkawinan

Hukum Perkawinan di Indonesia menganut asas “mempersukar terjadinya perceraian”.

Demi asas ini, cerai talak yang asalnya dalam fikih sifat perkaranya mirip volunter ditingkatkan menjadi gugat contentiosa dengan ketentuan: suami sebagai pemohon yang berkedudukan sebagai "penggugat" dan isteri sebagai termohon yang berposisi sebagai "tergugat" dan proses pemeriksaannya berdasar atas asas audi et alteram partem.[1]

Dalam upaya realisasi asas “mempersukar terjadinya perceraian”, Pengadilan Agama sampai mengeluarkan beberapa produk hukum yang tanggalnya dapat sama dan dapat pula beda, sehingga terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan dalam menghitung tanggal seorang istri menjadi janda.

Bagi cerai talak, Pengadilan Agama mengeluarkan tiga produk hukum, yaitu (1) putusan, (2) penetapan, dan (3) akta cerai. Sedangkan bagi cerai gugat, Pengadilan Agama mengeluarkan dua produk hukum, yaitu (1) putusan dan (2) akta cerai.

Putusan yang juga disebut vonnis (Belanda) atau al-qada’u (Arab), adalah produk Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu “penggugat” dan “tergugat”. 

Produk Pengadilan semacam ini biasa diistilahkan dengan “produk peradilan yang sesungguhnya” atau jurisdictio cententiosa.[2]

Sedangkan, penetapan yang disebut al-itsbat (Arab) atau beschiking (Belanda), yaitu produk Pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya, yang diistilahkan jurisdictio voluntaria.

Dikatakan bukan peradilan yang sesungguhnya karena di sana hanya ada pemohon, yang memohon untuk ditetapkan tentang sesuatu, sedangkan ia tidak berpekara dengan lawan.[3]

Akan tetapi, di lingkungan peradilan agama ada beberapa jenis perkara yang berupa penetapan tetapi ternyata bukan penetapan dalam bentuk voluntaria murni, sehingga penetapan di sini pemohon dan termohon berposisi sebagai “penggugat” dan “tergugat”.[4] 

Hal ini dikarenakan pemohon ketika menggunakan haknya bisa mendapat perlawanan dari termohon, misalnya permohonan pemohon (suami) agar dilaksanakan sidang untuk menyaksikan pengucapan ikrar talak suami kepada isterinya.

Dalam kasus permohonan talak oleh suami kepada istrinya seperti ini, Pengadilan Agama sebelum mengeluarkan penetapan permohonan, terlebih dahulu mengeluarkan putusan “gugatan”, sehingga dalam satu perkara permohonan talak ini bisa ada beberapa produk hukum peradilan.

Begitu juga pengajuan cerai gugat oleh seorang istri kepada suaminya juga ada beberapa produk hukum peradilan agama.

Selanjutnya, Pengadilan Agama setelah mengeluarkan produk hukum berupa “Penetapan (bagi cerai talak) dan “Putusan (bagi cerai gugat) yang kemudian keduanya telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka panitera Pengadilan Agama mengeluarkan produk hukum lainnya, yaitu berupa “Akta Cerai.

Adanya beberapa produk hukum dalam satu perkara perceraian ini menimbulkan problema yuridis, yaitu mulai kapan seorang seorang janda dihitung masa iddahnya? Apakah sejak tanggal dikeluarkannya Putusan, Penetapan, ataukah sejak dikeluarkannya Akta Cerai?

Pengkajian persoalan ini begitu urgen karena berkaitan erat dengan masa tunggu (iddah) seorang janda, yang pada gilirannya nanti menentukan keabsahan perkawinan yang dilaksanakan.

Oleh karena itu, sangat mendesak untuk kajian yuridisnya. Tulisan ini akan melakukan kajian yuridis penghitungan tanggal dimulainya masa iddah seorang janda.

C. Analisis Format Akta Cerai

Dalam menentukan tanggal menjadi janda guna menghitung dimulainya masa iddah, tulisan ini menjadikan Lampiran Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1997 Model A.III.3 (blangko Akta Cerai) sebagai bahan kajian dengan menggunakan tiga aspek pendekatan, yaitu (1) Gramatikal, (2) Format Akta, dan (3) Yuridis Formal.

1. Pendekatan Aspek Gramatikal
Yang dimaksud pendekatan aspek gramatikal di sini
adalah pengkajian permasalahan dengan cara menganalisis tatabahasa, jenis, dan susunan kalimat yang digunakan dalam akta cerai. 

Pendekatan gramatikal ini dilakukan untuk mengetahui mana gagasan pokok atau pesan utama kalimat tersebut dalam akta cerai.

Secara lengkap, redaksi kalimat yang dipakai dalam Model A.III.3 ini adalah sebagai berikut:

“Panitera Pengadilan Agama ……. menerangkan, bahwa pada hari ini …... tanggal ……. 20... M., bersamaan dengan tanggal ……...14.... H., berdasarkan …. nomor .… tanggal …… 20… M., yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terjadi perceraian antara : …..”.
Kalimat di atas menggunakan susunan kalimat majmuk bertingkat. Terdiri dari induk kalimat dan anak kalimat.

Induk kalimatnya adalah:

“Panitera Pengadilan Agama ........ menerangkan, bahwa pada hari ini ....... tanggal …20…. M., bersamaan dengan tanggal …….14 …. H., terjadi perceraian antara : …… “
Sedangkan anak kalimatnya adalah:

“berdasarkan …… nomor …… tanggal …. 20…. M., yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.”
Menurut kaidah tatabahasa Indonesia, yang menjadi pesan utama dalam kalimat majmuk bertingkat adalah pesan yang terkandung dalam induk kalimat, bukan dalam anak kalimat.

Pesan dalam anak kalimat hanyalah bagian yang berada di bawah pesan utama induk kalimat sebagai tambahan keterangan.[5]

Untuk ilustrasi pengkajian, apabila anak kalimat dalam akta cerai tersebut diletakkan di awal kalimat, maka kalimat majmuk bertingkat tersebut akan menjadi:

“Berdasarkan … nomor … tanggal ….20…. M., yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Panitera Pengadilan Agama ......... menerangkan, bahwa pada hari ini ........ tanggal …… 20…. M., bersamaan dengan tanggal ….. 14…. H., terjadi perceraian antara: ..…“
Dengan demikian, terlihat jelas bahwa tanggal terjadinya perceraian adalah tanggal yang tercantum dalam induk kalimat, bukan dalam anak kalimat.

Tanggal yang tercantum dalam induk kalimat adalah tanggal terjadinya perceraian sekaligus sebagai tanggal akta cerai. 

Sedangkan tanggal yang tercantum dalam anak kalimat adalah tanggal putusan atau penetapan yang digunakan sebagai dasar pernyataan telah terjadinya perceraian.

Jadi, tanggal terjadinya perceraian adalah sama dengan tanggal dikeluarkannya akta cerai. 

Dengan kata lain, kapan terjadinya perceraiannya? Jawabannya adalah saat dikeluarkan akta cerai. Yaitu, tanggal yang di atas dalam akta cerai itu.

2. Pendekatan Aspek Format Akta
Pengkajian dengan pendekatan aspek ini adalah penelaahan permasalahan dengan cara menganalisis bentuk dan format akta. 

Dengan pendekatan aspek ini, akan bisa diketahui kedudukan beberapa tanggal yang tercantum dalam berbagai bagian akta.

Sudah menjadi stándar yang baku bahwa jika diklasifikasikan, bahwa sebuah akta terdiri dari tiga bagian, yaitu: (1) Kepala Akta, (2) Tubuh Akta, dan (3) Kaki Akta.

Kepala Akta memuat: identitas nama dan alamat pemilik akta (kop), nomor dan tanggal akta. Sedangkan Tubuh Akta memuat: isi akta.

Sedangkan kaki akta memuat: tempat dan tanggal pembuatan akta, dan nama dan tanda tangan pembuat akta serta tembusan-tembusan. 

Khusus masalah tanggal pembuatan akta, tanggal akta dapat dimasukkan ke dalam kepala akta dan juga dapat dimasukkan ke dalam kaki akta. Yang jelas, tidak dimasukkan ke dalam tubuh akta.[6]

Kemudian apabila dicermati, bahwa dalam blangko akta cerai (Model A.III.3) ternyata pada Kepala Akta dan Kaki Akta tidak terdapat tanggal yang menujukkan tanggal pembuatan akta.

Tanggal pembuatan akta justru “dimasukkan” ke dalam tubuh akta. Hal ini terlihat dengan adanya kata-kata “ini” dalam tubuh akta, yaitu : “bahwa pada hari “ini” ..… tanggal ……”.

Format akta semacam ini menunjukkan bahwa secara formal akta cerai langsung dibuat pada saat itu juga, yaitu ketika sebuah perceraian terjadi.

Dengan demikian, dapat dikonklusikan bahwa tanggal pembuatan akta pasti selalu sama dengan tanggal isi akta, yaitu sama dengan tanggal terjadinya perceraian.

Dengan perkataan lain, tanggal terjadinya perceraian adalah sama dengan tanggal dikeluarkannya akta cerai.

Hal ini karena tanggal pembuatan akta cerai dimasukkan ke dalam tubuh akta, tidak ke dalam kepala akta atau kaki akta.

Tegasnya, tanggal menjadi jandanya seorang perempuan dari aspek pendekatan ini dihitung sejak tanggal dikeluarkannya akta cerai. Yaitu, tanggal yang di atas dalam akta cerai itu.

3. Pendekatan Aspek Yuridis Formal
Yang dimaksud pendekatan dengan aspek yuridis formal ini adalah analisis suatu masalah dengan cara merujukkan kembali kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang berfungsi sebagai lex spesialis atau
pun lex generalis.

Lex spesialis ialah segala peraturan perundang-undangan yang ditetapkan memang secara spesial (khusus) diperuntukkan bagi lembaga tertentu, dalam hal ini peradilan agama. 

Sedangkan, lex generalis adalah segala peraturan perundang-undangan yang ditetapkan untuk semua lembaga, semua peradilan di Indonesia, termasuk juga untuk Pengadilan Agama.[7]

Menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yakni sebagai lex spesialis, bahwa dalam perkara cerai talak, suatu perceraian dianggap terjadi terhitung sejak dikeluarkannya penetapan.

Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 71 ayat 2, bahwa hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi.[8] 

Penetapan ini dikeluarkan setelah putusan sebelumnya telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Yaitu, sebuah putusan yang menetapkan bahwa permohonan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak dikabulkan (pasal 70 ayat 1).[9]

Berhubung di satu sisi terjadinya talak dihitung sejak dikeluarkannya penetapan dan di sisi lain tanggal akta cerai dimasukkan ke dalam tubuh akta, maka tanggal pembuatan akta cerai selalu sama dengan tanggal penetapan.

Jadi, yang harus dijadikan standar tanggal terjadinya perceraian adalah tanggal pembuatan akta, yang selalu sama dengan tanggal penetapan.

Walaupun sama, tetapi senantiasa merujukkan kepada tanggal pembuatan akta cerai adalah penting. Sebab jika tidak demikian, maka bisa terjadi kesalahan dan ketidakkonsistenan ketika perceraiannya berupa cerai gugat.

Perihak ini perlu dicermati bahwa bagi cerai gugat, jika gugatan ini dimenangkan oleh pihak penggungat (isteri), maka dikeluarkanlah putusan yang menerangkan bahwa perkawinan antara penggugat dan tergugat putus.

Akan tetapi, perceraiannya tidak otomatis terjadi pada saat itu. Pasal 81 ayat 2 menegaskan, "Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap".[10]

Menurut R.Bg. dan H.I.R. (Hukum Acara Perdata) yang merupakan lex generalis bagi Pengadilan Agama, bahwa suatu putusan pengadilan baru memperoleh kekuatan hukum tetap setelah 14 (empat belas) hari sejak dibacakan putusan itu di muka sidang untuk umum, atau dalam kasus verstek (tanpa kehadiran tergugat/termohon) setelah 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan (R.Bg. : 152 : 1 dan H.I.R: 128).[11]

Dengan demikian, perceraian dianggap terjadi setelah 14 (empat belas) hari sejak tanggal dikeluarkan putusan, atau dalam kasus verstek setelah 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan.

Pada saat itulah baru terjadi perceraian dan baru pada saat itu panitera Pengadilan Agama mengeluarkan akta cerai.

Hal ini sebagaimana ditetapkan dalam pasal 81 ayat 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, “Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.”[12]

D. Kesimpulan
Tanggal menjadi janda seorang perempuan dihitung sejak dikeluarkannya akta cerai.
Yaitu, tanggal yang terletak di bagian atas dalam tubuh akta menurut format blanko akta cerai model A.III.3.

Tanggal pembuatan akta cerai akan selalu sama dengan tanggal penetapan (bagi cerai talak), dan selalu sama dengan 14 (empat belas) hari setelah tanggal dikeluarkannya putusan, atau 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan dalam kasus verstek (bagi cerai gugat).

Panitera Pengadilan Agama tidak mempunyai pilihan lain dalam memberikan tanggal akta cerai. Tanggal akta akan selalu sama dengan tanggal terjadinya perceraian.
Hal ini dikarenakan dalam akta cerai model A.III.3, tanggal pembuatan akta cerai tidak dimasukkan dalam kepala akta atau kaki akta, tetapi justru dimasukkan dalam tubuh akta, yaitu menjadi satu dengan tanggal isi akta.

Oleh karenanya, tanggal pengeluaran akta cerai selalu sama dengan tanggal terjadinya perceraian.

Masa iddah seorang janda pun dihitung mulai dari tanggal dikeluarkannya akta cerai. Yaitu, tanggal yang bagian atas dalam akta cerai itu.


Catatan Kaki:

[1] M. Yahya Harahap, S.H. "Materi Kompilasi Hukum Islam" dalam Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U. dkk. (ed), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 1993), hlm. 91-92.

[2] Drs. H. Roihan A. Rasyid, S.H., Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hlm. 195.

[3] Ibid., hlm. 205.

[4] Ibid., hlm. 207.

[5] Dr. Sabarti Akhadiyah, Dra. Maidar G. Arsjad, dan Dra. Sakura H. Ridwan, Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm. 120.

[6] Dengan sedikit variasi dan lebih rinci, unsur-unsur bagian akta atau surat ini sebagaimana yang dideskripsikan oleh Rasyid dalam menjelaskan isi dan bentuk putusan dan penetapan. Drs. H. Roihan A. Rasyid, Hukum., hlm. 196 dan 206.

[7] Drs. H. Roihan A. Rasyid, S.H. Hukum., hlm. 21

[8] Ibid., hlm.262.

[9] Ibid., hlm. 261.

[10] Ibid., hlm. 265

[11] K. Wantjik Saleh, S.H., Hukum Acara Perdata RBG/HIR (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 22.

[12] Drs. H. Roihan A. Rasyid, S.H. Hukum., 265.

Share:

PASANGAN HIDUP

Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). (QS. an-Nur: 26)

Maka, jadilah yang baik, kamu pun mendapatkan yang baik.

PENGHULU

Kedudukan Penghulu
Penghulu berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional di bidang kepenghuluan pada Kementerian Agama.
Tugas Penghulu
Penghulu bertugas melaksanakan kegiatan pelayanan dan bimbingan nikah atau rujuk, pengembangan kepenghuluan, dan bimbingan masyarakat Islam.

SUKSES PENGHULU

Raih Angka Kredit Penghulu: Putuskan apa yang diinginkan, tulis rencana kegiatan, laksanakan secara berkesinambungan, maka engkau pun jadi penghulu harapan.

Categories

Followers

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *