Kelahiran
Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11 Tahun 2007 tanggal 21 Juli 2007 tentang
Pencatatan Nikah cukup mengundang perhatian banyak pihak, terutama di kalangan
pelaksana undang-undang perkawinan.
Hal ini
dikarenakan diantaranya, pertama PMA 11/2007 ini membatalkan Keputusan
Menteri Agama (KMA) Nomor 477 Tahun 2004 tentang perihal yang sama.
Padahal
sebenarnya lahirnya KMA 477/2004 merupakan upaya realisasi dari sebuah gagasan
besar yang berwawasan jauh ke depan.
KMA 477/2004 ini mengemban amanat untuk mewujudkan sebuah konsep yang sudah sangat lama direncanakan guna mencapai cita-cita yang begitu luhur dan strategis, yaitu terberdayanya KUA dalam berbagai aspek tugas pokok dan fungsinya, supaya KUA ke depan tidak hanya berkutat dalam lingkup tugas nikah, talak, cerai, dan rujuk (NTCR).
Akan tetapi, tampaknya para pembuat kebijakan dalam merumuskan PMA 11/2007 ini mempunyai pertimbangan dan planning lain yang dianggap lebih cerdas dan progressif demi kebaikan dan kemajuan KUA itu sendiri sebagai lini terdepan Departemen Agama.
Kedua, PMA 11/2007 menetapkan beberapa ketentuan hukum perkawinan yang spesifik. Dalam perspektif ilmu hukum Islam (fiqh), dapat dikatakan bahwa beberapa ketentuan hukum perkawinan dalam PMA 11/2007 cukup fenomenal sekaligus kontroversial.
Di
antaranya adalah penetapan ketentuan tentang persyaratan wali nasab dalam
pelaksanaan akad nikah.
PMA ini menetapkan, syarat wali nasab adalah : (a) laki-laki, (b) beragama Islam, (c) baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun, (d) berakal, (e) merdeka, dan (f) dapat berlaku adil.[1] Persyaratan ini berbeda dengan yang ditetapkan oleh Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Kompilasi
Hukum Islam hanya mensyaratkan wali nikah harus muslim, aqil, dan baligh.[2] Sehingga, dalam PMA tersebut ada
penambahan syarat wali nikah, yaitu (1) berumur sekurang-kurangnya 19 tahun,
(2) merdeka, dan (3) dapat berlaku adil.[3]
Tulisan ini disusun untuk mencoba mengkritisinya dalam perspektif hukum Islam di Indonesia dengan menggunakan pendekatan filosofis dan yuridis.
Analisisnya
akan dibatasi hanya pada penetapan syarat wali nikah yang berupa: baligh,
berumur sekurang-kurangnya 19 tahun dan dapat berlaku adil supaya bisa lebih
fokus dan konprehensif.
Adapun
persyaratan wali nikah lainnya akan disinggung secara global. Kemudian, sebagai
pisau bedah analisisnya, kajian ini akan mengimplementasikan teori ijtihad
intiqa’i dan ijtihad insya’i, serta teori handlichting
(pendewasaan).
Ijtihad
Intiqa’i ialah ijtihad yang dilakukan dengan cara
menyeleksi pendapat ulama terdahulu yang dipandang lebih cocok dan lebih kuat.
Ijtihad
Insya’i adalah mengambil konklusi hukum baru dalam
suatu permasalahan, yang permasalahan tersebut belum pernah dikemukakan oleh
ulama terdahulu, baik masalah itu baru atau lama.
Sedangkan
gabungan antara ijtihad intiqa’i dan ijtihad insya’i ialah
menyeleksi pendapat-pendapat ulama terdahulu yang dipandang lebih cocok dan
lebih kuat, kemudian dalam pendapat tersebut ditambahkan unsur-unsur ijtihad
baru.[4]
Handlichting (pendewasaan) ialah suatu pernyataan tentang seseorang yang belum mencapai usia dewasa penuh atau hanya untuk beberapa hal saja, ia dipersamakan dengan seorang yang sudah dewasa.[5]
Handlichting
(pendewasaan) ini bisa berasal dari permohonan secara personal kepada presiden
dan bisa sudah berupa ketetapan peraturan perundang-undangan.
B. Persyaratan Wali Nikah
Sebagaimana telah dikemukakan di depan, penetapan PMA 11/2007 tentang persyaratan wali nikah yang harus sudah baligh dan sekurang-kurangnya berumur 19 tahun adalah berbeda dengan ketentuan yang ada dalam KHI dan fiqh-fiqh pada umunya.
B. Persyaratan Wali Nikah
Sebagaimana telah dikemukakan di depan, penetapan PMA 11/2007 tentang persyaratan wali nikah yang harus sudah baligh dan sekurang-kurangnya berumur 19 tahun adalah berbeda dengan ketentuan yang ada dalam KHI dan fiqh-fiqh pada umunya.
Dalam
khazanah ilmu fiqh, penentuan baligh didasarkan kepada kejadian ihtilam
(mimpi basah) bagi laki-laki dan menstruasi bagi perempuan. Hal ini
didasarkan kepada hadis Nabi SAW:
Yang
menarik untuk dikritisi adalah, apa sebenarnya standar atau ukuran PMA 11/2007
dalam menetapkan bahwa balighnya seorang laki-laki terjadi pada minimal usia 19
tahun?
Padahal,
menurut penelitian para pakar hukum Islam ---misalnya Al-Auza’i, imam Ahmad,
Asy-syafi’i, Abu Yusuf, dan Muhammad--- baligh (kematangan fisik) seorang
laki-laki terjadi paling cepat pada usia 9 tahun dan paling lambat usia 15
tahun.[7] Atau, apakah mungkin yang dimaksud usia
minimal wali nikah oleh PMA 11/2007 di sini adalah bukan usia minimal baligh,
tetapi usia minimal mencapai derajat rusyd?
Baligh dan rusyd adalah dua hal yang berbeda. Baligh dalam bahasa Indonesia biasa diterjemahkan dengan kematangan fisik, sedangkan rusyd biasa diterjemahkan dengan kematangan mental atau kematangan akal pikiran.
Baligh
ditandai dengan ihtilam (mimpi basah) bagi laki-laki dan menstruasi bagi
perempuan. Sedangkan, rusyd ialah keadaan seseorang yang mampu memahami
hakekat sesuatu yang diperlukan dan yang tidak, sesuatu yang mungkin dan yang
tidak, dan sesuatu yang dianggap penting dan yang dianggap membahayakan.[8]
Alquran memberikan petunjuk dalam menguji kematangan mental (rusyd) seseorang. Allah SWT berfirman Q.S. an-Nisa’ ayat 6.
Ayat ini
menjelaskan tentang ketentuan menguji kematangan mental (rusyd) bagi
anak yatim dan orang yang belum dewasa, baik bagi yang tidak normal karena
ketidaksempurnaan daya pikirnya maupun yang semata-mata karena belum mencapai
tingkat kedewasaan.[9]
Memang, sebagaimana pendapat Ahmad Azhar Basyir, M.A., akan lebih tepat apabila penentuan kedewasaan itu tidak hanya dibatasi dengan kriteria baligh, tetapi juga mengikutsertakan faktor rusyd (kematangan pertimbangan akal/mental).
Untuk
menentukan waktu seseorang dipandang matang atau rusyd, menurut Basyir,
dapat diadakan penelitian terhadap orang-orang antara umur 15 dan 25 tahun.
Kemudian diambil angka rata-rata, kapan seseorang itu dipandang telah rusyd.
Mungkin,
akan ditemukan angka umur 19, 20, atau 21 tahun, yang kemudian dijadikan stándar
baku untuk menentukan batas kedewasaan (rusyd) tersebut.[10]
Tampaknya, inilah yang dijadikan metode dan parameter para perumus PMA 11/2007 dalam menetapkan syarat batas minimal umur wali nikah, yaitu batasan umur rusyd (kematangan mental), bukan batasan baligh (kematangan fisik).
Sebab
sebagaimana telah dikemukakan, bahwa berdasarkan penelitian para pakar hukum
Islam, baligh paling lambat terjadi pada usia 15 tahun.
Apalagi
pada era sekarang karena pengaruh media massa, baik elektronik ataupun cetak,
dan pengaruh hormon makanan, bisa jadi seseorang akan lebih cepat lagi dalam
mencapai usia baligh.
Dalam hal ini tampak bahwa pensyaratan minimal usia wali nikah di sini bertujuan demi kebaikan dan kemaslahatan semua pihak, karena dengan demikian wali nikah yang sudah rusyd akan bisa memutuskan segala sesuatu berdasarkan pertimbangan rasio, bukan emosi.
Penetapan
hukum ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah:
تصرح الامام على الرعية
منوط بالمصلحة [11]
Artinya
: “Peraturan
Pemerintah adalah berintikan terjaminnya kemaslahatan rakyatnya.”
Sementara
itu di sisi lain, dalam literatur fiqh dikenal adanya satu mazhab yang
mensyaratkan wali nikah harus sudah rusyd, tidak cukup sudah baligh.
Mazhab tersebut adalah Hanabilah atau mazhab Hanbali.[12]
Dengan
demikian, terlihat bahwa bentuk ijtihad yang digunakan dalam PMA 11/2007 adalah
penggabungan antara ijtihad intiqa’i dan ijtihad insya’i.
Dikatakan
menggunakan ijtihad intiqa’i karena menyeleksi pendapat-pendapat ulama
terdahulu. Yaitu, dengan lebih memilih pendapat ulama mazhab Hanbali.
Dikatakan
menggunakan ijtihad insya’i karena ia menambahkan unsur-unsur ijtihad
baru ke dalam pendapat mazhab Hanbali tersebut, yakni batasan definitif usia rusyd,
yang berupa syarat umur wali nikah sekurang-kurangnya 19 tahun.
Pembatasan
usia semacam ini belum pernah ditemukan ketentuan hukumnya dalam literatur fiqh
klasik.
Demikianlah
hasil ijtihad kontemporer PMA 11/2007. Ia merupakan perkembangan progressif
dalam pembangunan hukum Islam di Indonesia.
Hanya saja, persoalannya sekarang adalah bagaimana posisi dan implementasi ketetapan PMA 11/2007 tersebut dalam hukum positif di Indonesia?
Hal ini
perlu dicermati karena PMA 11/2007 merupakan salah satu bentuk peraturan
perundang-undangan. PMA ini diundangkan dalam Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 5 di Jakarta pada tanggal 25 Juni 2007.
Selain
itu, juga karena ia harus berlandaskan dan bersesuaian dengan hukum positif
yang berlaku di Indonesia sebagai lex generalis-nya.[13]
Ternyata
menurut hukum positif, batas kedewasaan seseorang adalah 21 tahun[14]. Sehingga secara a contario atau mafhum
mukhalafah, seseorang yang belum berusia 21 tahun dianggap belum dewasa.
Ia belum
cakap bertindak hukum.[15] Dalam perspektif ini, jelas ketetapan
PMA 11/2007 tentang batasan minimal umur wali nikah sekurang-kurangnya 19 tahun
tidak dapat diterapkan karena pada usia itu seseorang dianggap tidak cakap
berbuat hukum, apalagi perbuatan hukum itu diperuntukkan bagi orang lain, yaitu
calon isteri yang berada di bawah kewaliannya.
Jika
tetap dipaksakan, tentunya perbuatan hukum wali nikah itu bisa dikategorikan
dapat dibatalkan.[16] Oleh karena itu, perlu dicarikan solusi
hukum lainnya.
Sebenarnya, dalam hukum positif di Indonesia dikenal adanya lembaga handlichting (pendewasaan).
Pendewasaan
ialah suatu pernyataan tentang seseorang yang belum mencapai usia dewasa penuh
atau hanya untuk beberapa hal saja, ia dipersamakan dengan seorang yang sudah
dewasa.[17]
Pendewasaan
ini diberikan kepada seseorang karena ada kepentingan tertentu yang membutuhkan
kecakapan berbuat hukum.
Sehingga
walaupun belum berusia genap 21 tahun, ia dapat diberi “dispensasi”
berstatus dewasa sehingga cakap berbuat hukum. Permohonan pendewasaan ini
diajukan kepada presiden.[18]
Pendewasaan sebagaimana diuraikan di atas merupakan pendewasaan atas inisiatif personal.
Sebenarnya,
ada lembaga handlichting (pendewasaan) yang telah ditetapkan oleh
Undang-undang. Sehingga, walaupun tidak mengajukan permohonan pendewasaan
kepada presiden secara personal, tetapi orang yang termasuk kategori itu sudah
secara otomatis dianggap dewasa dan cakap berbuat hukum.
Yaitu,
pendewasaan yang ditetapkan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Pasal 50
ayat 1 Undang-undang ini menetapkan, anak yang belum mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di
bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
Menurut Prof. Subekti, S.H., tafsir a contario dari pasal 50 Undang-undang Perkawinan tersebut adalah jika anak yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua itu sudah mencapai umur 18 tahun, maka anak tersebut sudah dianggap dewasa, yang otomatis sudah cakap berbuat hukum.
Pakar
hukum ini selanjutnya menyatakan, dengan ditetapkannya oleh Undang-undang
Perkawinan bahwa 18 tahun sebagai usia kedewasaan, maka lembaga pendewasaan (handlichting)
sudah kehilangan artinya.[19]
Ketentuan kedewasaan Undang-undang Perkawinan lah yang berlaku, baik dalam bidang perkawinan maupun dalam hal perbuatan hukum pada umumnya.
Yaitu,
seorang anak yang tidak berada di bawah kekuasaan orangtua apabila telah
berusia 18 tahun sudah cakap berbuat hukum.
Dengan demikian, berdasarkan analisis yuridis ini dapat disimpulkan bahwa ketetapan PMA 11/2007 tentang batasan minimal umur wali nikah 19 tahun berbeda dengan Undang-undang Perkawinan.
Menurut
Undang-undang Perkawinan ini, batas minimal usia kedewasaan adalah 18 tahun. Oleh karena
itu, jika ada anak laki-laki yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua
sudah berumur 18 tahun, anak tersebut sudah memenuhi syarat menjadi wali nikah.
PMA
11/2007 tidak mungkin akan men-takhshish Undang-undang Perkawinan,
apalagi membatalkannya. Oleh karena itu, dengan menggunakan teori Prof.
Subekti, S.H., ketentuan batas minimal umur wali nikah oleh PMA 11/2007
kehilangan artinya.
Bagaimana jika ada calon wali nikah berusia 18 tahun yang disebabkan ayah kandungnya telah meninggal dunia tetapi ia masih dalam kekuasaan salah satu orang tuanya, yaitu ibu kandungnya?
Dalam
kasus seperti ini, memang ia sudah memenuhi syarat rusyd tetapi belum
dianggap dewasa oleh hukum positif.
Ketika
seorang anak masih berada dalam kekuasaan kedua atau salah satu orang tuanya,
usia kedewasaannya adalah 21 tahun. Handlichting (pendewasaan) oleh
Undang-undang Perkawinan tidak berlaku baginya.
Oleh
karena itu, apabila anak laki-laki tersebut akan menjadi wali nikah, ia harus
terlebih dahulu mendapatkan izin dari ibu kandungnya. Tentunya, pemberian izin
ini harus berbentuk surat izin tertulis.
Syarat wali nikah kedua dalam PMA 11/2007 yang akan dikritisi dalam tulisan ini adalah syarat “dapat berlaku adil”.
Penambahan
persyaratan ini dalam penerapannya bisa menimbulkan persoalan serius. Apalagi,
PMA 11/2007 tidak menjelaskan kriteria “dapat berlaku adil” tersebut.
Hal ini
bisa mengakibatkan beragamnya pemahaman di kalangan pelaksana Undang-undang
Perkawinan dan semua pihak yang berkepentingan.
Bisa
jadi, bagi satu pihak seorang wali nikah dianggap adil, tetapi bagi lain pihak
ia dinilai sebaliknya. Jelas, hal itu akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Padahal, para perintis dan pelaksana KHI berjuang dengan sekuat tenaga untuk menghilangkan semua itu.
KHI
disusun diantaranya adalah dalam rangka (1) menyamakan persepsi penerapan hukum,
(2) mempercepat proses taqribi bainal umah, dan (3) menyingkirkan paham private
affair.
Dengan
adanya Kompilasi, diharapkan ia dapat menjadi sebagai jembatan penyeberang ke
arah memperkecil pertentangan dan perbantahan khilafiyah.
Pada
akhirnya, penerapan hukum menjadi seragam dan kepastian hukum menjadi
kenyataan.[20] Akan tetapi, tampaknya misi utama KHI
ini dimentahkan kembali oleh PMA 11/2007.
Sebetulnya KHI hanya mengadopsi persyaratan wali nikah yang telah disepakati para ulama. Ada 3 syarat yang disepakati oleh mereka, yaitu Islam, baligh, dan berakal.[21]
Bahkan
secara tegas, Sayyid Sabiq menyatakan bahwa wali nikah tidak disyaratkan adil.
Seseorang yang durhaka (fasiq) tidak kehilangan hak menjadi wali nikah,
kecuali kalau kedurhakaannya melampaui batas-batas kewajaran yang berat.[22]
Kalau demikian, apa sebenarnya pertimbangan PMA 11/2007 mensyaratkan wali nikah harus “dapat berlaku adil”? Padahal kalau dikritisi, penambahan syarat ini sama sekali tidak ada pengaruhnya (وجوده كعدمه).[23]
Hal ini
terlihat di antaranya dari bentuk kata yang dipakai, yaitu menggunakan bentuk
kata kerja (fi’il), “dapat berlaku adil”, tidak menggunakan bentuk kata
benda atau pelaku (isim fa’il), “adil”.
Menurut M. Quraish Shihab, perbedaan antara kata yang berbentuk kata benda atau pelaku (isim fa’il) dan yang berbentuk kata kerja (fi’il) adalah kalau berbentuk kata yang pertama perbuatan itu sudah menjadi karakter dan kepribadiannya atau perbuatan itu berulangkali dikerjakan, sedangkan jika berbentuk kata yang kedua perbuatan itu hanya sesekali dikerjakan.[24]
Di dunia
ini tidak ada seorang pun yang sesekali tidak pernah berlaku adil. Orang fasiq
pun pasti pernah berlaku adil walaupun hanya sekali tempo.
Paling
tidak dapat berlaku adil pada saat mengijabkan anak perempuan yang berada di
bawah perwaliannya. Oleh karenanya, ia tetap memenuhi syarat wali nikah yang
berupa “dapat berlaku adil”.
Inilah makna filosofis dari penggunaan kata berbentuk fi’il. Penggunaan kata berbentuk fi’il ini tentunya bukan ketidaksengajaan. PMA 11/2007 adalah produk peraturan hukum.
Pasti
sudah dicermati redaksi kalimatnya, kata demi kata. Apalagi penggunaan istilah
adil (العادل) sudah lazim dalam literatur fiqh, tetapi
justru ia tidak dipakai dalam PMA tersebut.
C. Kesimpulan
C. Kesimpulan
Pembatasan minimal
usia wali nikah dengan derajat rusyd adalah sebuah upaya ijtihad
kontemporer dengan menggabungkan Ijtihad Intiqa’i dan Ijtihad Insya’i.
Persyaratan wali nikah sekurang-kurangnya berumur
19 tahun dalam PMA 11/2007 berbeda dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1975
tentang Perkawinan.
Menurut
Undang-undang Perkawinan, usia kedewasaan seorang anak yang tidak berada di
bawah kekuasaan orantuanya adalah 18 tahun, sehingga pada usia itu seseorang
sudah memenuhi syarat untuk menjadi wali nikah.
Penambahan
persyaratan wali nikah berupa “dapat berlaku adil” justru dapat menimbulkan
ketidakseragaman pemahaman dan penerapan serta ketidakpastian hukum, karena
tidak ada kriteria baku tentang hal itu yang dapat diterima oleh semua pihak.
Saran dan Usul
Umur minimal
seorang wali nikah dalam sebuah PMA akan lebih tepat apabila ditetapkan
sekurang-kurangnya berusia 18 (delapan belas) tahun supaya tidak berbeda dengan
Undang-undang Perkawinan.
Kalaupun akan
menaikkannya menjadi 19 tahun, maka terlebih dahulu harus meninjau ulang
ketentuan Undang-undang Perkawinan.
Dalam PMA Nomor 11 Tahun 2007 ada pencantuman
syarat wali nikah yang dapat berkonotasi kurang positif. Misalnya, adanya syarat merdeka. Hal itu dapat berkonotasi kepada praktik perbudakan, mengesankan kembali lagi ke peraturan
zaman beberapa abad yang lampau, dan terlalu classic fiqh oriented.
Padahal sebenarnya walaupun syarat merdeka itu tidak dicantumkan dalam PMA, tetapi syarat merdeka itu sudah otomatis harus diterapkan karena sudah menjadi ketentuan dalam hukum positif sebagai lex generalis PMA 11/2007. Wallahu a'lam bish-shawab.
[1] Pasal 18 ayat 2 PMA Nomor 11 Tahun 2007.
[2] Pasal 20 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
[3] Adapun masalah syarat wali nikah harus laki-laki, pada dasarnya dalam PMA ini tidak ada penambahan karena yang disyaratkan dalam KHI wali harus muslim, aqil, dan baligh adalah seorang laki-laki. Cermati kembali Pasal 20 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia!
[4] Drs. Abdul Halim, M.Hum., “Ijtihad Kontemporer : Kajian Terhadap Beberapa Aspek Hukum Keluarga Islam di Indonesia”, dalam Dr. Ainurrofiq, M.A. (ed.al), Mazhab Yogya : Menggagas Paradigma Ushul Kontemporer (Djogyakarta : Ar-Ruzz Press, 2002), hlm. 233.
[5] Prof. Subekti, S.H., Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta : Intermasa, 1989), hlm. 55.
[6] Al-Imam al-Hafiz al-Musannif al-Muttaqin Abi Dawud Sulaiman Ibni al-Asy'asas-Sijistani al-Azdi, edisi Muhammad Muhyi ad-Din 'Abd al-Hamid, Sunan Abi Dawud (ttp.: Dar al-Fikr li at-Taba'ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi', t.t.), juz IV : 141.
[7] Mansur bin Yunus bin Idris al-Buhuti, Sharh al-Muntaha al-Iradat (al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktaba as-Salafiya, t.t.), Vol. II, hlm. 289.
[8] Drs. H. Dadan Muttaqien, S,H., M.Hum. , Cakap Hukum Bidang Perkawinan dan Perjanjian (Yogyakarta : Insania Cita Press, 2006), hlm.24.
[9] Drs. H. Dadan Muttaqien, S,H., M.Hum. , Cakap., hlm. 25.
[10] Ahmad Azhar Basyir, M.A., Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta : UII Press, 2004), hlm. 31.
[11] As-Sayuti, al-Asybah wa an-Nazair, (Indonesia : Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.), hlm. 22.
[12] ‘Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al- ‘ala al-Mazahib al-‘Arba’ah (Misr : al-Maktabah at-Tijariyyat al-Kubra, 1969), hlm. IV : 28.
[13] Masalah lex generalis, lihat Drs. H. Roihan A. Rasyid, S.H., Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta : Rajawali Press, 1991), hlm.21.
[14] Lihat : (1) pasal 330 KUH Perdata (BW), (2) Stb. 1924-556, (3) Stb. 1924-557, dan (4) Stb. 193-554.
[15] Drs. H. Dadan Muttaqien, S,H., M.Hum. , Cakap., hlm. 52.
[16] Pasal 71 (e) KHI menyatakan, suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila : perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau oleh wali yang tidak berhak.
[17] Prof. Subekti, S.H., Pokok-pokok,. hlm. 55.
[18] Ibid.
[19] Ibid., hlm. 56.
[20] M. Yahya Harahap, “Materi Kompilasi Hukum Islam”, dalam Dr. Moh. Mahfud MD., S.H., S.U., (ed.al), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta : UII Press, 1993), hlm. 63 - 65.
[21] Muhammad Asy-Syarbini al-Khatib, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Alfaz al-Minhaj (Misr : Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuhu, 1958), hlm. 14.
[22] Sayyid Sabiq, as-Sunnah (Beirut : Dar al-Fikr, 1426-1427 H/2006 M.), hlm. 517.
[23] Berdasarkan hasil pembinaan penghulu oleh Kepala Seksi Urusan Agama Islam Kantor Departemen Agama Kabupaten Sleman pada Kamis, 21 September 2006, dapat berlaku adil bagi wali nikah di sini dipahami beragama Islam.
Dengan demikian, penulis menyimpulkan, persyaratan dapat berlaku adil tidak diperlukan karena syarat ini sama dengan syarat Islam yang sudah menjadi salah satu syarat wali nikah.
[24] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Vo. 1, hlm. 98.
Salam kenal Bang, saya sangat tertarik dg blog Abang . . . .
BalasHapusTerima kasih mas Masy'ari Anwar. Semoga kita bisa saling tukar informasi dan opini.
BalasHapustulisan yg harus dibaca
BalasHapusTerimakasih Eyang Surur atas kunjungan dan apresiasinya. Semoga bermanfaat bagi kita semuan.
BalasHapusTerima kasih sangat mencerahkan
BalasHapus