Islam Membenci Perceraian

Oleh: Eko Mardiono

A. Pendahuluan

Islam membenci perceraian. Dalam hal perceraian, Islam mengambil posisi tengah-tengah, antara melarang dan membolehkan tanpa batas.

Larangan perceraian memang sangat ideal tetapi sulit diterapkan. Sebab, pengendalian diri secara mutlak merupakan hal yang mustahil. 

Menurut ideologi Islam, kaidah hukum yang bersifat melarang hanya diterapkan sejauh manusia bisa mencapainya.[1] 

Sebaliknya, kebebasan tanpa batas tidak masuk akal dan hanya menimbulkan kemelut, bahaya, dan kerusakan. Hal semacam itu tidak mungkin dibiarkan.[2]

Posisi tengah-tengah Islam ini dapat dipahami dengan melihat kedudukan perkawinan dalam Islam. Perkawinan dalam Islam bukanlah merupakan perbuatan perdata (civil act), juga bukan perjanjian suci (sacramental vow), tetapi sintesis keduanya.

Oleh karena itu, perceraian dibolehkan tetapi bukan tanpa batas seperti dalam kontrak bebas. Sebaliknya, juga bukan tidak terputuskan seperti sebuah perjanjian suci.[3]

B. Perceraian dalam Fiqh Islam

Islam membenci terjadinya perceraian. Hal ini terlihat dengan adanya sabda nabi Muhammad SAW :

أَبْغَضُ الْحَلَالِ اِلَى اللهِ الطَّلاَقُ [4]

dan sabdanya :

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِى غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ [5]

Islam mengizinkan perceraian karena tidak ada jalan lain untuk keluar dari lingkaran ketegangan yang terus menerus terjadi dalam rumahtangga.

Lagi pula, setelah dipertimbangkan bahwa bercerai itulah yang lebih baik bagi mereka daripada terus hidup membara kalbu dalam satu rumahtangga.[6] 

Perceraian itu dibolehkan justru untuk menjawab kebutuhan dasar manusia itu sendiri,[7] yaitu demi kemaslahatan salah satu dari suami isteri, keduanya, atau keduanya bersama anak-anaknya.[8]

Kalaupun dalam kitab-kitab fikih ada kesan mudah terjadinya talak, misalnya pernyataan talak yang diucapkan sambil mabuk, gurau, atau omong kosong yang kemudian dipertimbangkan beberapa ulama sebagai hal yang absah,[9] dan misalnya keputusan khalifah Umar yang menetapkan bahwa pernyataan talak tiga sekaligus dihukumi jatuh talak tiga yang berarti tidak bisa dirujuk (kembali).[10]

Semua itu dimaksudkan untuk mendisiplinkan setiap lelaki yang akan mentalak isterinya. Jelaslah bahwa dalam fikih pun, perceraian tidak dikehendaki kejadiannya.

C. Perceraian dalam Hukum Perkawinan Indonesia

Hukum perkawinan Islam di Indonesia menetapkan asas “mempersukar terjadinya perceraian”.

Asas “mempersukar terjadinya perceraian” ini terlihat dengan adanya beberapa ketentuan di bawah ini.

Pertama: Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak;

Kedua: Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri;

Ketiga: Tata aturan perceraian di depan sidang pengdilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri.[11]

Demi asas ini, cerai talak yang asalnya dalam fikih sifat perkaranya mirip volunter ditingkatkan menjadi gugat contentiosa dengan ketentuan: suami sebagai pemohon yang berkedudukan sebagai "penggugat" dan isteri sebagai termohon yang berposisi sebagai "tergugat" dan proses pemeriksaannya berdasar atas asas audi et alteram partem.[12]

Dengan asas ini, kedua suami istri dapat mengemukakan pandangan dan tanggapan masing-masing secara berimbang. Hakim Pengadilan Agama lah yang akan memutuskan yang terbaik bagi kedua suami dan istri.

D. Lembaga Penasihatan Perkawinan

Islam membenci perceraian. Suami dan istri harus selalu secara bersama-sama berupaya untuk menjaga keutuhan dan keharmonisan rumah tangga.

Apabila terjadi perselisihan rumah tangga, selesaikanlah secara baik. Bila diperlukan mintalah nasihat ke orang lain yang dianggap mampu atau ke lembaga/badan penasihatan perkawinan yang ada.

Jadikanlah lembaga/badan penasihatan perkawinan sebagai mitra dalam mewujudkan keluarga yang sakinah berdasarkan mawaddah dan rahmah.

Catatan Kaki:

[1] Sebagai misal, al-Baqarah (2) ayat 233 dan 286.

[2] Dr. Hammudah 'Abd al-'Ati, Keluarga Muslim, alih bahasa Anshari Thayib, cet. 1 (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1984), hlm. 286.

[3] Ibid., hlm. 286-287.

[4] Al-Imam al-Hafiz al-Musannif Abu Dawud Sulaiman Ibni al-Asy'as as-Sijistani al-Azdi, Sunan Abi Dawud, "Kitab an-Nikah", "Bab fi Karahah at-Talaq", edisi Muhammad Muhyi ad-Din 'Abd al-Hamid, (ttp., Dar al-Fikr, t.t.), juz II: 255, hadis nomor 2178. Ini adalah hadis Ibnu Umar.

[5] al-Hafiz Abu 'Abdillah Muhammad Ibni Yazid al-Qazwini Ibni Majah, Sunan Ibni Majah, "10. Kitab at-Talaq", "21. Bab Karahah al-Khul'I li al-Mar'ah", edisi Muhammad Fuad 'Abd al-Baqi (ttp., 'Isa al-Babi al-Halabi wa Syarikah, t.t.), juz I: 662, hadis nomor 2055. Ini adalah hadis Sauban.

[6] Dr. Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 249.

[7] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, cet. 5 (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 426.

[8] Al-Ustad asy-Syaikh 'Ali Ahmad al-Jarjawi, Hikmah at-Tasyri' wa falsafatuh (ttp. Dar al-Fikr, t.t.), juz II : 57.

[9] Dr. Ahmad al-Gundur, at-Talaq., hlm. 89 dan 97.

[10] al-Imam al-Qadi Abu Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibni Muhammad Ibni Ahmad Ibni Rusyd al-Qurtubi al-Andalusi, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, t.t.), juz II : 46.

[11] Pasal 39 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.


[12] M. Yahya Harahap, S.H. "Materi Kompilasi Hukum Islam" dalam Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U. dkk. (ed), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 1993), hlm. 91-92.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan memberikan komentar di kolom ini. Atas masukan dan kritik konstruktifnya, saya ucapkan banyak terimakasih

PASANGAN HIDUP

Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). (QS. an-Nur: 26)

Maka, jadilah yang baik, kamu pun mendapatkan yang baik.

PENGHULU

Kedudukan Penghulu
Penghulu berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional di bidang kepenghuluan pada Kementerian Agama.
Tugas Penghulu
Penghulu bertugas melaksanakan kegiatan pelayanan dan bimbingan nikah atau rujuk, pengembangan kepenghuluan, dan bimbingan masyarakat Islam.

SUKSES PENGHULU

Raih Angka Kredit Penghulu: Putuskan apa yang diinginkan, tulis rencana kegiatan, laksanakan secara berkesinambungan, maka engkau pun jadi penghulu harapan.

Categories

Followers

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *