Oleh: Eko Mardiono
A. Pendahuluan
Di kalangan masyarakat,
banyak terjadi pencatatan data kependudukan yang tidak sesuai dengan realitas
yang sebenarnya.
Hal ini menjadi
persoalan ketika pihak yang bersangkutan akan mencatatkan peristiwa hukumnya.
Misalnya, mereka akan mencatatkan peristiwa perkawinan, baik di Kantor Urusan
Agama (KUA) Kecamatan ataupun di Kantor Catatan Sipil Kabupaten/Kota.
Salah satu
ketidaksesuaian data kependudukan tersebut adalah tentang pencatatan nasab
seorang anak. Banyak terjadi, anak orang lain atau anak lahir di luar
perkawinan dicatatkan sebagai anak kandung.
Masalah penasaban
seorang anak ini jika diklasifikasi ada dua macam. Pertama, anak
orang lain yang dicatatkan sebagai anak kandung.
Kedua, anak angkat yang sah menurut hukum, tetapi
selalu dirahasiakan, sehingga anak yang bersangkutan tidak mengetahuinya.
Akibatnya, semua urusan
keperdataannya dilakukan atas dasar data-data formal tersebut, termasuk dalam
persoalan pencatatan pelaksanaan akad nikah.
Selama ini, Pegawai
Pencatat Nikah (PPN) berbeda-beda dalam menyikapinya. Paling tidak ada tiga
model kebijakan yang ditempuh oleh PPN, yaitu:
Pertama: PPN sama sekali tidak mempertimbangkan
data-data kependudukan yang telah ada. Pernikahan dilaksanakan dan dicatat atas
dasar realita yang sebenarnya.
Dalam hal ini, PPN hanya
meminta agar data-data di formulir-formulir nikah/rujuk dibetulkan sesuai
dengan kenyataan yang sebenarnya.
Data-data yang ada di
Model N1, N2, N3, N4, N5, N6, dan N7 serta Model R1 yang dibuat oleh Pemerintah
Desa/Kelurahan supaya dibetulkan.
Solusi semacam ini jelas
masih menyisakan persoalan, yaitu timbulnya ketidakcocokan antardata
kependudukan bagi anak yang bersangkutan. Kelak di kemudian hari, hal itu pasti
menimbulkan persoalan.
Kedua: PPN mempertimbangkan sekaligus mencatat suatu
peristiwa nikah berdasarkan data-data kependudukan yang ada.
Semuanya dicatat sesuai
dengan data formal tersebut, termasuk data tentang wali nikah yang berhak.
Hanya saja, akad nikahnya dilaksanakan berdasarkan realita yang sebenarnya.
Kebijakan ini
mengakibatkan timbulnya perbedaan antara akta dan realita. Solusi seperti ini
pun juga menyisakan persoalan, bahwa pencatatan nikahnya secara yuridis dapat
dibatalkan.
Ketiga: PPN memang “menasabkan” anak
sesuai dengan data formal kependudukan yang telah ada. Namun, dalam menetapkan
wali nikahnya, PPN menentukan sekaligus mencatatnya berdasarkan data riil yang
sebenarnya.
Kebijakan ini bisa
mengakibatkan bahwa orangtua sebagai “ayah nasab” berbeda dengan orangtua
sebagai “ayah wali nikah”. Solusi ini juga mempunyai implikasi hukum yang cukup
serius.
Jika kebetulan wali
nikahnya adalah wali hakim, maka timbul pertanyaan bukankah secara yuridis
formal calon pengantin perempuan tersebut mempunyai “ayah kandung” yang
memenuhi syarat sebagai wali nikah (Islam, baligh, dan berakal) sebagaimana
tertulis dalam data-data kependudukannya?
Kalaupun seandainya wali
nikahnya adalah wali nasab, hal itu juga menimbulkan pertanyaan, bukankah
dengan demikian anak perempuan tersebut mempunyai dua “ayah kandung”?
Satu “ayah kandung”
sebagaimana tertulis dalam data “binti”-nya, dan satu “ayah kandung” lagi
sebagaimana tertera dalam data “wali nikah”-nya.
Oleh karena itu,
sangatlah urgen dan mendesak untuk mencari dan merumuskan kembali solusi yang
komprehensif terhadap persoalan tersebut.
Pertanyaannya sekarang
adalah: “Bagaimana solusinya agar data-data kependudukan yang telah ada dapat
selaras dengan ketentuan hukum Islam dalam pencatatan perkawinan?
Solusi yang akan
dirumuskan ini tentunya harus mampu mengakomodasi dinamika masyarakat karena
suatu ketentuan hukum akan berlaku efektif bila ia sesuai dengan dinamika,
nilai-nilai, dan falsafah yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Padahal praktik
mengangkat anak di kalangan masyarakat Indonesia adalah sesuatu yang sudah
biasa terjadi, bahkan telah membudaya di muka bumi, baik sebelum atau sesudah
Islam.
B. Pengertian dan
Klasifikasi Anak
Sebelum merumuskan
solusi yang komprehensif, perlulah kiranya terlebih dahulu mengemukakan tentang
pengertian anak, klasifikasi anak menurut peraturan perundang-undangan di
Indonesia, praktik dan anggapan masyarakat, serta pandangan hukum Islam.
Menurut peraturan
perundang-undangan di Indonesia, anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
KUH Perdata juga
menyatakan, bahwa anak sah (wettig kind) ialah anak yang dianggap lahir
dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya.
Memang, kepastian
seorang anak sebagai anak ayahnya tentunya sangatlah sulit dipastikan secara
mutlak.
Oleh karena itu,
peraturan perundang-undangan di Indonesia menetapkan tenggang maksimal masa
kehamilan, yaitu 300 hari (10 bulan) dan tenggang minimal, yakni 180 hari (6
bulan).
Jika ada seorang anak
dilahirkan sebelum lewat 180 hari (6 bulan) usia perkawinan kedua orangtuanya,
maka ayahnya berhak mengingkari keabsahan anak tersebut, kecuali jika ia sudah
mengetahui bahwa istrinya hamil sebelum pernikahan dilangsungkan atau jika ia
hadir pada saat pembuatan akta kelahiran dan ikut menandatanganinya.
Adapun anak yang
dilahirkan 300 hari setelah perceraian kedua orangtuanya, maka ia dihukumi
sebagai anak tidak sah.
Sebaliknya,
menurut tafsir a contrario (mafhum mukhalafah), anak yang
dilahirkan sebelum 300 hari setelah perceraian kedua orangtuanya, maka ia
dihukumi sebagai anak sah suami yang dulu (duda).
Sementara itu, dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia terdapat beberapa macam
anak, yaitu: (1) anak kandung, (2) anak pengakuan/pengesahan, (3) anak angkat,
dan (4) anak asuh (hadhanah).
Perihal anak kandung
telah dijelaskan di depan. Adapun mengenai anak pengakuan/pengesahan anak dapat
dikemukakan hal-hal sebagai berikut.
Anak yang lahir di luar
perkawinan (natuurlijk kind) dapat diakui sebagai anak oleh ayah dan
ibunya.
Pengakuan anak (erkening)
tersebut dapat ditindaklanjuti dengan pengesahan anak (wettiging)
tatkala kedua orangtuanya melangsungkan dan mencatatkan perkawinannya di Kantor
Catatan Sipil.
Apabila saat itu belum
juga dilakukan, maka pengesahannya dapat dilaksanakan dengan melengkapi
“surat-surat pengesahan” (brieven van wettiging).
Pengesahannya harus
dilakukan di muka Pegawai Pencatatan Sipil dalam bentuk akta kelahiran anak,
akta perkawinan orangtuanya, akta tersendiri, atau dalam bentuk akta notaris.
Hanya saja, pengesahan
anak ini hanya dapat dilakukan oleh kedua orangtuanya yang sebelumnya telah
melakukan perkawinan secara sah menurut hukum agama.
Pengakuan tersebut tidak
diperbolehkan terhadap anak-anak yang dilahirkan akibat zina (overspel)
atau yang dilahirkan dari hubungan antara dua orang yang dilarang kawin.
Sedangkan anak angkat
adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orangtua,
wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orangtua
angkatnya berdasarkan penetapan pengadilan.
Pengangkatan anak hanya
dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan
berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pengangkatan anak
tersebut tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan
orangtua kandungnya.
Orangtua angkatnya pun
wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal-usulnya dan orangtua
kandungnya.
Pemberitahuan
asal-usulnya dan orangtua kandungnya tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan
kesiapan anak yang bersangkutan.
Yaitu, kesiapan secara
psikologis dan psikososial. Kesiapan tersebut biasanya dicapai tatkala anak
sudah mendekati usia 18 (delapan belas) tahun.
Adapun anak asuh adalah
anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberi bimbingan,
pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orangtuanya atau
salah satu orangtuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar,
baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.
Nah, berdasarkan
deskripsi tentang pengertian dan klasifikasi anak sebagaimana dipaparkan di
atas, maka tampak jelas bahwa “anak sah” menurut peraturan perundang-undangan
di Indonesia ada beberapa kategori.
Semua kategori itu pun
diakui oleh negara dengan akta otentik yang dikeluarkan oleh instansi atau
lembaga yang berwenang.
Yaitu berupa akte
kelahiran anak beserta catatan-catatan otentik sesuai dengan perkembangan
status anak itu sendiri.
Oleh karena itu, Pegawai
Pencatat Nikah (PPN) tidak dapat begitu saja menafikan data-data tersebut.
Walaupun, secara lahiriah data-data itu kemungkinan berbeda dengan ketentuan
hukum Islam.
Contohnya adalah tentang
pengakuan/pengesahan anak di luar nikah sebagai anak sah dan anak angkat yang
tidak dijelaskan kepada pihak yang bersangkutan.
Lantas, bagaimana
solusinya?
Apakah dengan demikian
solusinya akan mengorbankan ketentuan syariat Islam, kemudian “memenangkan”
hukum perdata Indonesia?
Menurut hemat saya,
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) tidak dapat menafikan begitu saja data-data
otentik yang ada.
Hal itu karena,
data-data itu dibuat “berdasarkan” hukum formil dan materiil yang berlaku di
Indonesia.
Apalagi, praktik
pengakuan, pengesahan, dan pengangkatan anak sudah begitu melembaga di kalangan
masyarakat Indonesia, sebagaimana terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh B. Ter Haar Bzn.
Dengan demikian, solusi
yang dapat ditempuh PPN adalah mensinkronkan semua data kependudukan yang
dibuat oleh instansi terkait dengan data-data nikah tanpa harus mengorbankan
salah satunya dan juga tanpa adanya rekayasa.
C. Sinkronisasi Data
Kependudukan dengan Data Nikah/Rujuk
PPN memang tidak dapat
begitu saja menafikan data-data tentang keabsahan seorang anak yang telah
dituangkan ke dalam suatu akta otentik (akte kelahiran).
Menurut hemat saya, yang
dapat dilakukan PPN hanyalah mempertegasnya, apakah ia anak kandung, anak
pengakuan/pengesahan, ataukah anak angkat.
Selama ini
kutipan-kutipan akta otentik, termasuk akta kelahiran, tidak secara eksplisit
mencantumkan riwayat dan asal-usul anak yang bersangkutan.
Apakah dengan demikian,
lantas PPN harus mengusulkan agar akta-akta otentik yang dikeluarkan Kantor
Catatan Sipil atau Lembaga Peradilan diubah formatnya?
Saya tidak mengusulkan
demikian. Usulan semacam itu terlalu jauh dan di luar kewenangan dan kendali
kita.
Saya berpendapat, kita
perlu mengusulkan ke Kementerian Agama agar memformat ulang formulir-formulir
nikah/rujuk.
Inilah yang menjadi
wewenang dan kompetensi kita, terutama bagi yang berpredikat Penghulu Ahli
Madya.
Yang pertama kali
diformat ulang adalah formulir nikah/rujuk Model N2 (Surat Keterangan tentang
Asal-Usul) dan Model N4 (Surat Keterangan tentang Orangtua).
Baru kemudian
formulir-formulir nikah/rujuk lainnya. Selama ini, format Model N2 dan N4
secara substantif sebenarnya tidaklah berbeda.
Hanya susunannya yang
dibalik. Keduanya sama-sama menerangkan tentang anak kandung dan orangtua
kandung.
Sebetulnya Model N2 dan
N4 ini dapat dijadikan sebagai kunci problem solving dalam masalah ini.
Model N2 digunakan untuk
melacak dan menerangkan tentang asal-usul anak yang bersangkutan, bahwa siapa
sebenarnya ayah-ibu kandungnya.
Data-data yang tertulis
di dalam Model N2 itulah yang nantinya dijadikan sebagai dasar dalam penentuan
wali nikah yang berhak.
Sedangkan Model N4
dipakai untuk menerangkan tentang orang tua seorang anak (calon pengantin).
Orang tua yang ditulis
dalam Model N4 ini pun dapat meliputi orang tua kandung, orang tua
pengakuan/pengesahan, atau orang tua angkat, sebagaimana klasifikasi anak/orang
tua yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
Jika orang tua kandung,
maka mereka pun berhak untuk menjadi wali nikah. Sebaliknya, bila bukan orang
tua kandung, maka mereka tidak berhak untuk menjadi wali nikah.
Solusi ini jelas akan
mampu mengakomodasi semua kepentingan. Satu sisi, data-data tentang orang tua
dapat sesuai dengan data-data kependudukan lainnya. Ia terakomodasi dalam Model
N4.
Di lain sisi, tuntutan
Syariah tentang penasaban seorang anak juga bisa terpenuhi tanpa harus ada
rekayasa. Hal itu pun terakomodasi dalam Model N2.
Kemudian untuk
merealisasi solusi komprehensif ini, istilah “bin” atau “binti” dalam semua
data tentang anak yang ada di formulir-formulir nikah/rujuk harus diganti
dengan istilah “anak kandung/pengesahan/angkat”, dengan pilihan coret yang
tidak sesuai.
Pencantuman
istilah-istilah tersebut bertujuan untuk mengakomodasi ketiga kategori anak,
yakni anak kandung, anak pengakuan/pengesahan, atau anak angkat. Tinggal
mencoret mana yang tidak sesuai.
Atau dibuatkan kolom
tersendiri apakah ia anak kandung, anak pengesahan, anak pengakuan ataukah anak
angkat.
Memang, solusi yang
ditawarkan ini dapat membawa dampak psikologis dan psikososial bagi anak yang
bersangkutan, terutama bagi yang bukan anak kandung.
Walaupun demikian,
pembukaan tabir ini harus tetap dilakukan. Ia tidak boleh dirahasiakan. Islam
dengan tegas melarang merahasiakannya. Undang-undang Perlindungan Anak pun juga
demikian.
Pasal 40 ayat (1) dan
(2) Undang-undang Perlindungan Anak ini menegaskan bahwa orangtua angkat wajib
memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal-usulnya dan memberitahukan orangtua
kandungnya dengan mempertimbangkan kesiapan anak yang bersangkutan.
Kesiapan itu meliputi
kesiapan psikologis dan psikososial, yang biasanya dicapai oleh anak ketika ia
sudah mendekati usia 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 93 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menegaskan bahwa setiap penduduk yang dengan sengaja memalsukan surat dan/atau dokumen kepada Instansi Pelaksana dalam melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Salah satu peritiwa penting yang dimaksud oleh UU Administrasi Kependudukan di sini adalah kelahiran seorang anak. Oleh karenanya, pihak-pihak yang memalsukan surat dan/atau dokumen dalam pembuatan Akte Kelahiran terancam sanksi pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 93 UU Administrasi Kependudukan di atas.
Ajaran Islam pun secara
gamblang melarang menghilangkan dan/atau merahasiakan asal-usul seorang anak. Allah SWT menegaskan:
وَمَا جَعَلَ
أَدْعِيَاءكُمْ أَبْنَاءكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ
يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ﴿٤﴾
Artinya:
“dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri);
yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja; dan Allah mengatakan yang
sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (Q.S. al-Ahzab (33): 4)
Selanjutnya
Allah SWT menyatakan:
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ
هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ
فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ
وَلَكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً ﴿٥﴾
Artinya:
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak
mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama
dan maula-maulamu; dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf
padanya, tetapi (yang ada dosanya) adalah apa yang disengaja oleh hatimu; dan
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. al-Ahzab (33): 5)
Rasulullah
saw pun bersabda:
لَيْسَ مِن رَجُلٍ
ادَّعَى اِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ وَهُوَ يَعْلَمُ اِلَّا كَفَرَ (رواه البخاري)
Artinya:
“Tidak seorangpun yang menasabkan kepada bukan ayah yang sebenarnya padahal ia
mengetahui melainkan ia telah kufur.” (HR Bukhari dari Abi Dzar).
Beliau
juga bersabda:
مَنْ ادَّعَي اِلَى
غَيْرِ أَبِيْهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيْهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ
حَرَامٌ (رواه البخارى)
Artinya:
“Barangsiapa yang menasabkan kepada bukan ayahnya padahal ia mengetahui bahwa
ia bukan ayah kandungnya, maka surga haram baginya.” (HR Bukhari dari Sa’ad bin
Abi Waqash)
Oleh
karena itu, tiada alasan untuk tidak membuka tabir tentang asal-usul seorang
anak dan mencatatkannya secara formal.
Hanya
saja, sekali lagi, PPN tidak bisa begitu saja menolak akta otentik-akta otentik
tentang anak yang telah ada.
Akta
otentik-akta otentik tersebut dilindungi oleh Undang-undang. Yang dapat
dilakukan oleh PPN adalah menyingkronkannya semua data-data yang ada dengan
cara menformat ulang formulir-formulir nikah/rujuk sebagaimana telah dipaparkan
di depan.
Sebetulnya
Hukum Islam di Indonesia sudah memberikan solusi yang sangat cantik. Yaitu,
dengan ditawarkannya institusi hadhanah (pengasuhan anak) yang dikombinasikan
dengan lembaga wasiat wajibah.
Satu
sisi, seorang anak bisa tetap terjaga kejelasan nasabnya secara mutlak. Di lain
sisi, ia juga bisa mendapatkan hak-hak keperdataannya.
Anak
pun bisa “mewarisi” harta kekayaan orangtua hadhanah-nya, yakni melalui wasiat
wajibah, begitu juga sebaliknya.
Memang,
hak kewarisannya maksimal hanya sepertiga (1/3) dari harta peninggalan, karena
ia “mewarisinya” melalui institusi wasiat.
Solusi
hukum Islam di Indonesia ini sejatinya merupakan hasil pemaduan kreatif
(sintesis) antara norma tekstual yang melarang adopsi anak dengan kenyataan
empiris masyarakat.
Dengan
demikian, sebenarnya tidak ada persoalan serius dengan banyak terjadinya
praktik masyarakat Indonesia yang menempuh pengakuan/pengesahan anak ataupun
pengangkatan anak, selama terjelaskan tentang asal-usul anak yang bersangkutan.
Memang,
selama ini riwayat asal-usul seorang anak tidak dicantumkan dalam kutipan akta
kelahirannya. Walaupun demikian, riwayat asal-usul anak itu telah tercatat
dalam register akta kelahirannya.
Oleh
karena itu, sejatinya tidak ada persoalan jika PPN mempertegas tentang
asal-usul seorang anak dalam berbagai formulir nikah/rujuk yang dikelolanya.
D.
Kesimpulan
Setelah
melakukan identifikasi dan analisis persoalan dalam kasus ini, maka dapat
dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat beberapa kategori
anak, yaitu: (1) anak kandung, (2) anak pengakuan/pengesahan, (3) anak angkat,
dan (4) anak asuh.
2.
Untuk menyingkronkan semua kategori anak tersebut dengan data-data nikah/rujuk,
maka formulir-formulir nikah/rujuk yang ada selama ini harus diformat ulang.
3.
Model N2 diformat ulang bahwa formulir itu hanya khusus digunakan untuk
menerangkan tentang asal-usul seorang anak.
Formulir
ini secara spesifik hanya digunakan untuk anak dan orangtua kandung. Sedangkan,
formulir Model N4 dipakai untuk menerangkan tentang orangtua. Model N4 ini pun
bisa meliputi orangtua kandung, orangtua hasil pengakuan/pengesahan anak, dan
orangtua angkat.
4.
Istilah “bin” dan “binti” yang ada di semua formulir nikah/rujuk diganti dengan
istilah “anak kandung/pengakuan/pengesahan/angkat” dengan pilihan coret yang
tidak sesuai.
5.
Penentuan wali nikah bagi calon pengantin perempuan didasarkan pada data Model
N2 (Surat Keterangan tentang Asal-usul), bukan pada data Model N4 (Surat
Keterangan tentang Orangtua).
Peraturan perundang-undangan di Indonesia dan Syariat Islam secara tegas melarang menghilangkan nasab (hubungan darah) seorang anak dengan orang tua kandungnya dengan ancaman hukuman yang sangat berat, baik hukuman di dunia maupun di akherat kelak. (Wallahu a'lam).
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Anwar, Syamsul. 2002. “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam” dalam
Ainurrofiq (ed.), Mazhab Jogja: Menggagas Paradisma Ushul Fiqh Kontemporer.
Yogyakarta: Ar-ruzz Press.
Bzn, B. Ter Haar. 1976. Beginselen en Stelsel van het Adat Recht. terj. K. Ng.
Soebekti Poesponoto. Jakarta: Pradnya Paramita.
Harahap, M. Yahya. 1993. “Materi Kompilasi Hukum Islam” dalam Moh. Mahfud MD
(ed.), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia.
Yogyakarta: UII Press.
Muljatno. 1992. KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/62/M.PAN/6/2005
tentang Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya.
Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali.
Subekti. 1989. Pokok-pokok Hukum Perdata, cet. ke-22. Jakarta: PT Intermasa.
Usman, Sabian. 2009. Dasar-dasar Sosiologi Hukum: Makna Dialog antara Hukum dan
Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Undang-undang Perlindungan Anak: UU RI No. 23 Th 2002. cet. ke-2. Jakarta:
Sinar Grafika. 2005.
Zuhdi,
H. Masjfuk. 1991. Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam. edisi ke-2, cet.
2. Jakarta: CV Haji Masagung.