Penentuan Nasab Seorang Anak: Antara Anak Kandung dan Anak Angkat Pasca Terbit PMA No. 20 Tahun 2019

Oleh: Eko Mardiono

A.  Pendahuluan

Di kalangan masyarakat, banyak terjadi pencatatan data kependudukan yang tidak sesuai dengan realitas yang sebenarnya.

Hal ini menjadi persoalan ketika pihak yang bersangkutan akan mencatatkan peristiwa hukumnya. Misalnya, mereka akan mencatatkan peristiwa perkawinan, baik di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan ataupun di Kantor Catatan Sipil Kabupaten/Kota.

Salah satu ketidaksesuaian data kependudukan tersebut adalah tentang pencatatan nasab seorang anak. Banyak terjadi, anak orang lain atau anak lahir di luar perkawinan dicatatkan sebagai anak kandung.

Masalah penasaban seorang anak ini jika diklasifikasi ada dua macam. Pertama, anak orang lain yang dicatatkan sebagai anak kandung. Kedua, anak angkat yang sah menurut hukum, tetapi selalu dirahasiakan, sehingga anak yang bersangkutan tidak mengetahuinya.

Akibatnya, semua urusan keperdataannya dilakukan atas dasar data-data formal tersebut, termasuk dalam persoalan pencatatan pelaksanaan akad nikah.

Selama ini, Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau penghulu berbeda-beda dalam menyikapinya. Paling tidak ada tiga model kebijakan yang ditempuh oleh PPN atau penghulu, yaitu:

Pertama: PPN atau penghulu sama sekali tidak mempertimbangkan data-data kependudukan yang telah ada. Pernikahan dilaksanakan dan dicatat atas dasar realita yang sebenarnya.

Dalam hal ini, PPN atau penghulu hanya meminta agar data-data di formulir-formulir nikah/rujuk dibetulkan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.

Data-data yang ada di syarat nikah Model N1, N2, N4, N5, dan N6 serta Model R1 yang dibuat oleh Pemerintah Desa/Kelurahan supaya dibetulkan.

Solusi semacam ini jelas masih menyisakan persoalan, yaitu timbulnya ketidakcocokan antardata kependudukan bagi anak yang bersangkutan. Kelak di kemudian hari, hal itu dapat menimbulkan persoalan.

Kedua: PPN atau penghulu mempertimbangkan sekaligus mencatat suatu peristiwa nikah berdasarkan data-data kependudukan yang ada.

Semuanya dicatat sesuai dengan data formal tersebut, termasuk data tentang wali nikah yang berhak. Hanya saja, akad nikahnya dilaksanakan berdasarkan realita yang sebenarnya.

Kebijakan ini mengakibatkan timbulnya perbedaan antara akta dan realita. Solusi seperti ini pun juga menyisakan persoalan, bahwa pencatatan nikahnya secara yuridis dapat dibatalkan.

Ketiga: PPN atau penghulu memang “menasabkan” anak sesuai dengan data formal kependudukan yang telah ada. Namun, dalam menetapkan wali nikahnya, PPN menentukan sekaligus mencatatnya berdasarkan data riil yang sebenarnya.

Kebijakan ini bisa mengakibatkan bahwa orangtua sebagai “ayah nasab” berbeda dengan orangtua sebagai “ayah wali nikah”. Solusi ini juga mempunyai implikasi hukum yang cukup serius.

Jika kebetulan wali nikahnya adalah wali hakim, maka juga timbul pertanyaan bukankah secara yuridis formal calon pengantin perempuan tersebut mempunyai “ayah kandung” yang memenuhi syarat sebagai wali nikah (Islam, baligh, dan berakal) sebagaimana tertulis dalam data-data kependudukannya tapi dinikahkan dengan wali hakim?

Kalaupun seandainya wali nikahnya adalah wali nasab, hal itu juga menimbulkan pertanyaan, bukankah dengan demikian anak perempuan tersebut mempunyai dua “ayah kandung”?

Satu “ayah kandung” sebagaimana tertulis dalam data “binti”-nya, dan satu “ayah kandung” lagi sebagaimana tertera dalam data “wali nikah”-nya.

Oleh karena itu, sangatlah urgen dan mendesak untuk mencari dan merumuskan kembali solusi yang komprehensif terhadap persoalan tersebut.

Pertanyaannya sekarang adalah: “Bagaimana solusinya agar data-data kependudukan yang telah ada dapat selaras dengan ketentuan hukum Islam dalam pencatatan perkawinan?

Solusi yang akan dirumuskan ini tentunya harus mampu mengakomodasi dinamika masyarakat karena suatu ketentuan hukum akan berlaku efektif bila ia sesuai dengan dinamika, nilai-nilai, dan falsafah yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

Padahal praktik mengangkat anak di kalangan masyarakat Indonesia adalah sesuatu yang sudah biasa terjadi, bahkan telah membudaya di muka bumi, baik sebelum atau sesudah Islam.

 

B. Pengertian dan Klasifikasi Anak

Sebelum merumuskan solusi yang komprehensif, perlulah kiranya terlebih dahulu mengemukakan tentang pengertian anak, klasifikasi anak menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia, praktik dan anggapan masyarakat, serta pandangan hukum Islam.

Menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia, anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

KUH Perdata juga menyatakan, bahwa anak sah (wettig kind) ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya.

Memang, kepastian seorang anak sebagai anak ayahnya tentunya sangatlah sulit dipastikan secara mutlak.

Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan di Indonesia menetapkan tenggang maksimal masa kehamilan, yaitu 300 hari (10 bulan) dan tenggang minimal, yakni 180 hari (6 bulan).

Jika ada seorang anak dilahirkan sebelum lewat 180 hari (6 bulan) usia perkawinan kedua orangtuanya, maka ayahnya berhak mengingkari keabsahan anak tersebut, kecuali jika ia sudah mengetahui bahwa istrinya hamil sebelum pernikahan dilangsungkan atau jika ia hadir pada saat pembuatan akta kelahiran dan ikut menandatanganinya.

Adapun anak yang dilahirkan 300 hari setelah perceraian kedua orangtuanya, maka ia dihukumi sebagai anak tidak sah.

Sebaliknya, menurut tafsir a contrario (mafhum mukhalafah), anak yang dilahirkan sebelum 300 hari setelah perceraian kedua orangtuanya, maka ia dihukumi sebagai anak sah suami yang dulu (duda).

Sementara itu, dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia terdapat beberapa macam anak, yaitu: (1) anak kandung, (2) anak pengakuan/pengesahan, (3) anak angkat, dan (4) anak asuh (hadhanah).

Perihal anak kandung telah dijelaskan di depan. Adapun mengenai anak pengakuan/pengesahan anak dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut.

Anak yang lahir di luar perkawinan (natuurlijk kind) dapat diakui sebagai anak oleh ayah dan ibunya.

Pengakuan anak (erkening) tersebut dapat ditindaklanjuti dengan pengesahan anak (wettiging) tatkala kedua orangtuanya melangsungkan dan mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil.

Apabila saat itu belum juga dilakukan, maka pengesahannya dapat dilaksanakan dengan melengkapi “surat-surat pengesahan” (brieven van wettiging).

Pengesahannya harus dilakukan di muka Pegawai Pencatatan Sipil dalam bentuk akta kelahiran anak, akta perkawinan orangtuanya, akta tersendiri, atau dalam bentuk akta notaris.

Hanya saja, pengesahan anak ini hanya dapat dilakukan oleh kedua orangtuanya yang sebelumnya telah melakukan perkawinan secara sah menurut hukum agama.

Pengakuan tersebut tidak diperbolehkan terhadap anak-anak yang dilahirkan akibat zina (overspel) atau yang dilahirkan dari hubungan antara dua orang yang dilarang kawin.

Sedangkan anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orangtua angkatnya berdasarkan penetapan pengadilan.

Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengangkatan anak tersebut tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orangtua kandungnya.

Orangtua angkatnya pun wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal-usulnya dan orangtua kandungnya.

Pemberitahuan asal-usulnya dan orangtua kandungnya tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan anak yang bersangkutan.

Yaitu, kesiapan secara psikologis dan psikososial. Kesiapan tersebut biasanya dicapai tatkala anak sudah mendekati usia 18 (delapan belas) tahun.

Adapun anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberi bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orangtuanya atau salah satu orangtuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.

Nah, berdasarkan deskripsi tentang pengertian dan klasifikasi anak sebagaimana dipaparkan di atas, maka tampak jelas bahwa “anak sah” menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia ada beberapa kategori.

Semua kategori itu pun diakui oleh negara dengan akta otentik yang dikeluarkan oleh instansi atau lembaga yang berwenang.

Yaitu berupa akte kelahiran anak beserta catatan-catatan otentik sesuai dengan perkembangan status anak itu sendiri.

Oleh karena itu, Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau penghulu tidak dapat begitu saja menafikan data-data tersebut. Walaupun, secara lahiriah data-data itu kemungkinan berbeda dengan ketentuan hukum Islam. 

Contohnya adalah tentang pengakuan/pengesahan anak di luar nikah sebagai anak sah dan anak angkat yang tidak dijelaskan kepada pihak yang bersangkutan.

Lantas, bagaimana solusinya?

Apakah dengan demikian solusinya akan mengorbankan ketentuan syariat Islam, kemudian “memenangkan” hukum perdata Indonesia?

Menurut hemat saya, Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau penghulu tidak dapat menafikan begitu saja data-data otentik yang ada.

Hal itu karena, data-data itu dibuat “berdasarkan” hukum formil dan materiil yang berlaku di Indonesia.

Apalagi, praktik pengakuan, pengesahan, dan pengangkatan anak sudah begitu melembaga di kalangan masyarakat Indonesia, sebagaimana terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh B. Ter Haar Bzn.

Dengan demikian, solusi yang dapat ditempuh PPN atau penghulu adalah mensinkronkan semua data kependudukan yang dibuat oleh instansi terkait dengan data-data nikah tanpa harus mengorbankan salah satunya dan juga tanpa adanya rekayasa.

C. Sinkronisasi Data Kependudukan dengan Data Nikah/Rujuk

PPN atau penghulu memang tidak dapat begitu saja menafikan data-data tentang keabsahan seorang anak yang telah dituangkan ke dalam suatu akta otentik (akte kelahiran).

Menurut hemat saya, yang dapat dilakukan PPN adalah mempertegasnya, apakah ia anak kandung, anak pengakuan/pengesahan, ataukah anak angkat.

Selama ini kutipan-kutipan akta otentik, termasuk akta kelahiran, tidak secara eksplisit mencantumkan riwayat dan asal-usul anak yang bersangkutan. Hanya ditegaskan bahwa seorang anak harus mendapatkan akta kelahirannya yang bernasabkan kepada ayah dan ibu kandungnya atau hanya ibu kandungnya jika lahir di luar nikah.

Apabila seorang anak diangkat oleh seseorag, maka pengangkatan anak itu tidak boleh memutuskan hubungan darah/nasab dengan orangtua kandungnya. Setiap anak pun berhak untuk mengetahui orang tua kandungnya.

Kemudian untuk merealisasi solusi yang komprehensif ini, maka blanko data-data yang ada di formulir-formulir nikah/rujuk diganti dengan pilihan istilah.

Pencantuman istilah-istilah tersebut bertujuan untuk mengakomodasi ketiga kategori anak, yakni anak kandung, anak pengakuan atau anak pengesahan.

Atau dibuatkan kolom tersendiri apakah ia anak kandung, anak pengesahan, anak pengakuan ataukah anak angkat.

Memang, solusi yang ditawarkan ini dapat membawa dampak psikologis dan psikososial bagi anak yang bersangkutan, terutama bagi yang bukan anak kandung.

Walaupun demikian, pembukaan tabir ini harus tetap dilakukan. Ia tidak boleh dirahasiakan. Islam dengan tegas melarang merahasiakannya. Undang-undang Perlindungan Anak pun juga demikian.

Pasal 40 ayat (1) dan (2) Undang-undang Perlindungan Anak ini menegaskan bahwa orangtua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal-usulnya dan memberitahukan orangtua kandungnya dengan mempertimbangkan kesiapan anak yang bersangkutan.

Kesiapan itu meliputi kesiapan psikologis dan psikososial, yang biasanya dicapai oleh anak ketika ia sudah mendekati usia 18 (delapan belas) tahun. 

Pasal 93 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menegaskan bahwa setiap penduduk yang dengan sengaja memalsukan surat dan/atau dokumen kepada Instansi Pelaksana dalam melaporkan  peristiwa kependudukan dan peristiwa penting dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Salah satu peritiwa penting yang dimaksud oleh UU Administrasi Kependudukan di sini adalah kelahiran seorang anak. Oleh karenanya, pihak-pihak yang memalsukan surat dan/atau dokumen dalam pembuatan Akte Kelahiran terancam sanksi pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 93 UU Administrasi Kependudukan di atas.

Ajaran Islam pun secara gamblang melarang menghilangkan dan/atau merahasiakan asal-usul seorang anak. Allah SWT menegaskan:

وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءكُمْ أَبْنَاءكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ﴿٤﴾

Artinya: “dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri); yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja; dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (Q.S. al-Ahzab (33): 4)

Selanjutnya Allah SWT menyatakan:

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً ﴿٥﴾

Artinya: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu; dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) adalah apa yang disengaja oleh hatimu; dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. al-Ahzab (33): 5)

Rasulullah saw pun bersabda:

لَيْسَ مِن رَجُلٍ ادَّعَى اِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ وَهُوَ يَعْلَمُ اِلَّا كَفَرَ (رواه البخاري)

Artinya: “Tidak seorangpun yang menasabkan kepada bukan ayah yang sebenarnya padahal ia mengetahui melainkan ia telah kufur.” (HR Bukhari dari Abi Dzar).

Beliau juga bersabda:

مَنْ ادَّعَي اِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيْهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ (رواه البخارى)

Artinya: “Barangsiapa yang menasabkan kepada bukan ayahnya padahal ia mengetahui bahwa ia bukan ayah kandungnya, maka surga haram baginya.” (HR Bukhari dari Sa’ad bin Abi Waqash)

Oleh karena itu, tiada alasan untuk tidak membuka tabir tentang asal-usul seorang anak dan mencatatkannya secara formal.

Hanya saja, sekali lagi, PPN atau penghulu tidak bisa begitu saja menolak akta otentik-akta otentik tentang anak yang telah ada.

Sebetulnya Hukum Islam di Indonesia sudah memberikan solusi yang sangat cantik. Yaitu, dengan ditawarkannya hadhanah (pengasuhan anak) yang dikombinasikan dengan wasiat wajibah.

Satu sisi, seorang anak bisa tetap terjaga kejelasan nasabnya secara mutlak. Di lain sisi, ia juga bisa mendapatkan hak-hak keperdataannya.

Anak pun bisa “mewarisi” harta kekayaan orangtua hadhanah-nya, yakni melalui wasiat wajibah, begitu juga sebaliknya.

Memang, hak kewarisannya maksimal hanya sepertiga (1/3) dari harta peninggalan, karena ia “mewarisinya” melalui institusi wasiat.

Solusi hukum Islam di Indonesia ini sejatinya merupakan hasil pemaduan kreatif (sintesis) antara norma tekstual yang melarang adopsi anak dengan kenyataan empiris masyarakat.

Dengan demikian, sebenarnya tidak ada persoalan serius dengan banyak terjadinya praktik masyarakat Indonesia yang menempuh pengakuan/pengesahan anak ataupun pengangkatan anak, selama terjelaskan tentang asal-usul anak yang bersangkutan.

Memang, selama ini riwayat asal-usul seorang anak tidak dicantumkan dalam kutipan akta kelahirannya. Walaupun demikian, riwayat asal-usul anak itu telah tercatat dalam register akta kelahirannya.

Oleh karena itu, sejatinya tidak ada persoalan jika PPN atau penghulu mempertegas tentang asal-usul seorang anak dalam berbagai formulir nikah/rujuk yang dikelolanya.

 

D. Kesimpulan

Setelah melakukan identifikasi dan analisis persoalan dalam kasus ini, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat beberapa kategori anak, yaitu: (1) anak kandung, (2) anak pengakuan/pengesahan, (3) anak angkat, dan (4) anak asuh.

2. Dalam lembar dokumen pernikahan di KUA Kecamatan Prambanan perlu ditambah pilihan tulisan berupa anak kandung, anak angkat dan lain-lain  untuk dipilih salah satunya

Peraturan perundang-undangan di Indonesia dan Syariat Islam secara tegas melarang menghilangkan  nasab (hubungan darah) seorang anak dengan orang tua kandungnya dengan ancaman hukuman yang sangat berat, baik hukuman di dunia maupun di akherat kelak. (Wallahu a'lam).

 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Anwar, Syamsul. 2002. “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam” dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab Jogja: Menggagas Paradisma Ushul Fiqh Kontemporer. Yogyakarta: Ar-ruzz Press.

Bzn, B. Ter Haar. 1976. Beginselen en Stelsel van het Adat Recht. terj. K. Ng. Soebekti Poesponoto. Jakarta: Pradnya Paramita.

Harahap, M. Yahya. 1993. “Materi Kompilasi Hukum Islam” dalam Moh. Mahfud MD (ed.), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: UII Press.

Muljatno. 1992. KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/62/M.PAN/6/2005 tentang Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya.

Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali.
Subekti. 1989. Pokok-pokok Hukum Perdata, cet. ke-22. Jakarta: PT Intermasa.

Usman, Sabian. 2009. Dasar-dasar Sosiologi Hukum: Makna Dialog antara Hukum dan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Undang-undang Perlindungan Anak: UU RI No. 23 Th 2002. cet. ke-2. Jakarta: Sinar Grafika. 2005.

Zuhdi, H. Masjfuk. 1991. Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam. edisi ke-2, cet. 2. Jakarta: CV Haji Masagung.

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan memberikan komentar di kolom ini. Atas masukan dan kritik konstruktifnya, saya ucapkan banyak terimakasih

PASANGAN HIDUP

Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). (QS. an-Nur: 26)

Maka, jadilah yang baik, kamu pun mendapatkan yang baik.

PENGHULU

Kedudukan Penghulu
Penghulu berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional di bidang kepenghuluan pada Kementerian Agama.
Tugas Penghulu
Penghulu bertugas melaksanakan kegiatan pelayanan dan bimbingan nikah atau rujuk, pengembangan kepenghuluan, dan bimbingan masyarakat Islam.

SUKSES PENGHULU

Raih Angka Kredit Penghulu: Putuskan apa yang diinginkan, tulis rencana kegiatan, laksanakan secara berkesinambungan, maka engkau pun jadi penghulu harapan.

Categories

Followers

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *