Semua orang pasti menginginkan dapat hidup kaya. Bahkan, mereka sangat mendambakan dapat memperoleh tambahan lagi kekayaan itu. Sebab dengan demikian, mereka akan lebih sempurna dalam beribadah.
Mereka
akan mampu mengeluarkan sedekah dan zakat, bahkan bisa beribadah haji ke tanah
suci. Termasuk juga, mereka akan mampu mengantarkan generasinya untuk
memperoleh pendidikan yang berkualitas.
Kebutuhan
hidup di dunianya pun menjadi tercukupi. Namun permasalahannya, maukah mereka
bersyukur atas kenikmatan yang telah diterimanya? Padahal sesungguhnya
bersyukur adalah pintu pembuka limpahan-limpahan nikmat berikutnya yang
didambakannya itu.
Mari
kita renungkan bersama, berapa banyak di antara kita yang Pegawai Negeri Sipil
ini bersyukur atas gaji bulanan yang kita terima? Tampaknya, kebanyakan dari
kita kurang begitu mensyukurinya.
Kenapa
hal ini bisa terjadi? Karena kita terlanjur menganggap, bahwa gaji bulanan itu
adalah hak kita dan telah secara rutin kita terima. Penerimaannya pun tidak
begitu terpengaruh oleh aktifitas dan prestasi kerja kita.
Setiap
bulannya, kita pasti menerimanya dalam jumlah yang sama dan nanti secara
berkala akan ada kenaikan. Tanpa disadari, kita pun menganggap gaji bulanan itu
tidak sebagai kenikmatan dari Tuhan.
Akibatnya,
kita pun tidak begitu mensyukurinya. Bersyukur adalah mengakuinya dengan
sepenuh hati, bahwa gaji itu adalah karunia dari Tuhan, kemudian mengucapkan
puji al-hamdulillah, akhirnya menggunakannya sesuai dengan tuntunan dan
ajaran-Nya.
Padahal
sebenarnya manfaat bersyukur itu adalah untuk diri kita sendiri. Tuhan, sang
Pemberi nikmat, sedikit pun tidak akan pernah berkepentingan.
Sebagaimana
firman-Nya, ”Barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk
(kebaikan) dirinya sendiri, dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya
Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia.” (Q.S. an-Naml (27): 40).
Justru,
apabila kita bersyukur, Allah akan menambahkan kenikmatan itu, seperti ternyata
dalam firman-Nya, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya akan Aku tambah
(nikmat itu) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti
azab-Ku sangatlah pedih.” (Q.S. Ibrahim (14): 7).
Celakanya,
kita ini juga mempunyai potensi bawaan diri yang negatif. Kita apabila diberi
kenikmatan, kita akan mudah berpaling dan menjauhkan diri dengan sombong.
Sebaliknya, bila ditimpa kesusahan, kita pun akan gampang berputus asa.
Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. al-Isra’ (17): 83. Selain itu, kita ini juga termasuk
hamba Allah yang kurang begitu yakin terhadap kebenaran janji-Nya, bahwa Dia
akan menambah nikmat-Nya bila kita mensyukurinya.
Konklusi
ini pun terlihat jelas dalam Q.S. Ibrahim (14): 7. Dalam ayat tersebut, Allah
SWT sampai berupaya menyakinkan kita, para hamba-Nya ini.
Dalam
ayat itu, Allah sampai menggunakan dua huruf ta’kid (penguat), seperti terbaca
dalam kata لأَزِيْدَنَّكُمْ (la’azidannakum).
Huruf ta’kid pertama berupa lam ta’kid dan huruf ta’kid kedua berujud nun
ta’kid.
Menurut
ulama tafsir, kalau Tuhan sampai menggunakan huruf ta’kid, apalagi sampai dua
kali untuk persoalan yang sama, maka hal itu menunjukkan bahwa umat manusia
masih meragukan atas kebenaran kandungan ayat yang disampaikan.
Oleh
karena itu, supaya kita bisa senantiasa bersyukur, maka langkah pertamanya
adalah kita harus yakin sampai ke lubuk hati yang paling dalam, bahwa segala
firman Allah adalah benar adanya. Tuhan sekali pun tidak akan pernah
menyelisihi janjinya (Q.S. Ali Imran (3): 9).
Langkah
kedua, kita harus senantiasa melakukannya walau bagaimanapun keadaan kita, baik
dalam keadaan lapang ataupun sempit. Ada sebuah pepatah yang sangat bagus untuk
kita cermati.
Pepatah
itu mengatakan, “Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin”. Betulkah
demikian? Bagaimana hal itu bisa terjadi dan apa rahasianya?
Ternyata
rahasianya hanya satu, yaitu syukur atau kufur. Orang-orang kaya sangat
menikmati kekayaannya.
Karena
terlalu nikmatnya itu, mereka tidak segan-segan mengeluarkan kekayaannya untuk
sedekah, zakat, dan amal jariyah. Secara tidak langsung, mereka pun banyak
menolong orang lain.
Memang,
harus kita akui, ada orang kaya yang kikir dan enggan bersedekah, bahkan selalu
merasa kekurangan.
Orang
seperti itu memang betul dia itu kaya, tetapi hatinya merasa miskin. Orang kaya
seperti itu, biasanya tidak akan bertahan lama.
Allah
akan segera mencabut kekayaannya, hingga akhirnya ia jatuh miskin sebagaimana
ia rasakan dalam hatinya.
Sementara
itu, kebanyakan orang-orang miskin lebih banyak keluh kesahnya daripada
bersyukurnya.
Secara
tidak langsung mereka pun telah “memiskinkan” dirinya melalui perasaaannya
sendiri. Sebagaimana orang kaya yang merasa miskin di atas, maka orang miskin
pun juga demikian.
Mustahil
orang miskin akan menjadi kaya apabila di hatinya tidak sedikit pun terdapat
rasa bersyukur atau merasa cukup di hadapan Allah. Dalam hal ini, memang tidak
dipungkiri bahwa ada orang miskin yang bersyukur.
Inilah
orang yang berkembang hidupnya, meningkat derajatnya, dan semakin berkualitas
jiwanya. Mengapa demikian? Sebab, rasa syukur dan rasa cukup tersebut akan
memberikan motivasi dan spirit hidup yang luar biasa.
Sehingga
pada akhirnya, rasa cukup dalam hati itu diwujudkan oleh Allah di alam nyata
ini. Dia pun akhirnya secara riil menjadi orang kaya.
Tepatlah
kiranya sebuah mutiara hikmah yang mengatakan, “Tidak seorang pun bisa
dikatakan kaya jika ia masih merasa kekurangan dan belum merasa kecukupan.
Sebaliknya,
tidak seorang pun bisa dikatakan fakir dan miskin apabila ia merasa kecukupan.
Nabi Muhammad SAW pun menegaskan,
"Orang kaya bukanlah karena banyak harta bendanya, tetapi orang kaya
adalah orang yang kaya jiwa." (HR Bukhari Muslim dari Abu Hurairah.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan memberikan komentar di kolom ini. Atas masukan dan kritik konstruktifnya, saya ucapkan banyak terimakasih