ROKOK HARAM:
Sebuah Fatwa Hukum Kontekstual dan Gradual?
Oleh: Eko Mardiono
Sebuah Fatwa Hukum Kontekstual dan Gradual?
Oleh: Eko Mardiono
Begitu beragam reaksi publik terhadap fatwa-fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan beberapa waktu yang lalu. Ada yang pro, tetapi tidak sedikit yang kontra.
Sebagaimana
diketahui, MUI telah mengeluarkan beberapa fatwa yang kontroversial. Salah
satunya berupa fatwa, bahwa rokok adalah haram bagi ibu-ibu hamil, anak-anak,
remaja, di tempat umum, dan bagi pengurus MUI sendiri.
Bagi publik yang
tidak setuju, fatwa MUI tersebut dianggap tidak peka lingkungan. Ia bisa
berdampak negatif terhadap usaha perkebunan tembakau, dunia kerja, dan sosial
kemasyarakatan.
Menurutnya,
pendapatan mereka bisa berkurang. Omzet penjualan produksi perusahaan rokok
bisa merosot. Pada akhirnya, PHK dan pengangguran tak terhindarkan. Masyarakat
pun menjadi resah.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana tingkat kepekaan para ulama yang tergabung dalam MUI tersebut? Tidak tahukah mereka bahwa bangsa ini sedang menghadapi kemiskinan yang sangat serius?
Bukankah mereka
sendiri mengatakan bahwa kefakiran adalah dekat dengan kekafiran? Sebenarnya
mereka tahu kondisi kehidupan umatnya, tetapi mengapa mengeluarkan fatwa
seperti itu?
Persoalan-persoalan
inilah yang akan diurai oleh tulisan ini.
MUI memang menghadapi keadaan yang sangat dilematis. Satu sisi, MUI menyadari bahwa rokok dengan berbagai jaringannya menjadi salah satu motor penggerak ekonomi bangsa.
Namun di lain
sisi, rokok juga bisa membawa pengaruh negatif terhadap pemberdayaan ekonomi
itu sendiri dan para konsumen beserta orang-orang sekitarnya.
Pemerintah pun
telah memberikan peringatan bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, serangan
jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin.
Para anak-anak dan
remaja yang masih duduk di bangku sekolah tidak sedikit yang kecanduan rokok.
Padahal, mereka belum mampu mencari uang.
Orang-orang miskin
pun banyak yang tidak bisa melepaskan diri dari candu rokok, lantas bagaimana
dampak terhadap ekonomi keluarganya?
Bagaimana pula
dengan hak asasi orang-orang yang berada di sekitar orang yang merokok?
Bukankah menurut penelitian, dampak negatif bagi perokok pasif lebih berbahaya
daripada perokok itu sendiri?
Menghadapi dilema tersebut, selama ini mayoritas ulama menghukumi rokok dengan makruh secara mutlak. Artinya, bila merokok, tidak berdosa, tetapi jika meninggalkannya, akan mendapatkan pahala.
Ternyata,
penetapan hukum makruh tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap perubahan
perilaku umat. Kebanyakan orang akan tetap merokok karena menganggap bahwa hal
itu memang tidak berdosa.
Dengan perkataan
lain, penetapan hukum makruh memang berhasil mempertahankan eksistensi produksi
rokok dengan berbagai jaringan ekonominya.
Tetapi di sisi
lain, ia tidak kuasa mengendalikan dampak negatif dari penggunaan tembakau,
baik dari aspek ekonomi itu sendiri, kesehatan, maupun lingkungan sekitar
konsumennya.
Dalam dataran ini, MUI mencoba untuk memberikan solusi alternatif. Sebuah problem solving yang diyakininya sebagai win-win solution.
Langkah strategis
MUI ini tampaknya mengikuti tahapan-tahapan yang ditempuh Alquran ketika akan
mengharamkan khamr (minuman keras) dan maisir (perjudian) yang
sudah mencandu di kalangan bangsa Arab saat itu. Alquran mengambil langkah
secara kontekstual dan gradual.
Pertama-tama, Alquran menegaskan bahwa kurma dan anggur dapat menghasilkan dua hal yang berbeda, yaitu minuman yang memabukkan dan rizki yang baik (Q.S. an-Nahl: 67).
Pada tahap
berikutnya, Alquran menerangkan bahwa dalam khamr dan maisir selain terdapat
kerusakan (mafsadat), juga terdapat kebaikan (manfaat), hanya saja,
kerusakannya lebih besar daripada kebaikannya (Q.S. al-Baqarah: 219).
Sampai dua ayat
Alquran ini turun, umat Islam saat itu masih banyak yang minum khamr karena
memang mereka menganggap di dalamnya juga terdapat banyak manfaat.
Langkah
selanjutnya yang diambil oleh Alquran adalah melokalisasi tempat dan waktu
minum khamr. Umat Islam dilarang atau haram melakukannya tatkala akan melaksanakan
salat (Q.S. an-Nisa’: 43).
Saat itu, umat
Islam pun mentaatinya, tetapi begitu selesai salat dan kembali ke rumahnya,
mereka kembali minum khamr. Baru kemudian, pada akhirnya Alquran secara mutlak
menetapkan bahwa hukum khamr dan judi adalah haram (Q.S. al-Maidah: 90).
Dalam perspektif tersebut, MUI telah berupaya menetapkan fatwa sesuai dengan konteksnya. Diharapkannya semua kepentingan dapat terakomodasi.
Rokok ditetapkan
haram dengan beberapa spesifikasi, yaitu dalam rangka melindungi pihak-pihak
tertentu yang sangat rentan menjadi korban. Rokok tetap dihukumi makruh, yaitu
bagi pihak-pihak dan di tempat-tempat tertentu adalah dalam rangka menetapkan
hukum secara gradual.
Dengan demikian,
eksistensi sosial-ekonomi produksi rokok dapat berlangsung sesuai dengan
konteksnya, tanpa harus mengorbankan pihak-pihak lain.
Fatwa MUI tentang rokok ini akan menemukan korelasinya tatkala dikaitkan dengan RUU tentang Penanganan Dampak Produk Tembakau Bagi Kesehatan, yang saat ini sudah berhasil masuk dalam Program Legislasi Nasional DPR RI.
Ada hal-hal
krusial yang tercantum dalam RUU ini. Di antaranya, pertama, cukai rokok
akan dinaikkan sangat tinggi, sehingga anak sekolah dan orang miskin tidak
mampu membelinya.
Selama ini, rokok
dari AS di Indonesia hanya dijual US$ 93 sen dan Pemerintah hanya memungut
cukai Rp. 4.000,-. Padahal, di Singapura rokok itu dijual US$ 7,5.
Seandainya
disamakan dengan Singapura, maka Pemerintah akan bisa menerima cukai rokok
tidak hanya Rp. 50 triliun, tetapi 10 kali lipatnya.
Kedua,
sponsorship olahraga dan kepemudaan, pemberian beasiswa, dan iklan-iklan di
media massa oleh perusahaan-perusahaan rokok akan dibatasi secara proporsional.
Dana alternatifnya akan diambilkan dari hasil cukai rokok yang sudah sangat
tinggi tersebut.
Ketiga,
dalam RUU ini juga dicantumkan bahwa demi kepentingan umum merokok di tempat
publik akan dilarang.
Terakhir keempat,
RUU ini disusun atas asumsi bahwa berapa pun harganya, rokok akan tetap dibeli
para pecandunya.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus