Oleh: Eko Mardiono
Pasca mengeluarkan
beberapa fatwa kontroversial, Majlis Ulama Indonesia (MUI) diprotes berbagai
kalangan. Mulai dari tidak menghiraukan seruan fatwanya, mencela cara
berpikirnya, sampai menuntut pembubaran lembaganya. Terutama terkait dengan fatwa MUI tentang Rokok Haram yang dapat mengancam keberlangsungan kehidupan sosial ekonomi.
Dalam dalam ini, apakah Islam
mengenal lembaga pemegang otoritas? Kalau ya, apa hak, wewenang, dan
batasannya?
Semua agama, sebagaimana semua kelompok sosial dan politik, memang memiliki proses atau metode untuk menciptakan dan menentukan otoritas. Otoritas bisa bersifat formal atau informal. Secara mendasar, otoritas menentukan apa yang bisa dijadikan sandaran dan apa yang seyogyanya diikuti.
Dalam konteks
Islam, pemegang otoritas mengkomunikasikan kepada para penganutnya, apa yang
dapat disepakati, apa yang dapat diterima, dan apa yang mengikat, serta apa
yang secara formal dipandang sebagai bagian dari agama mereka.
Akan tetapi, di zaman modern ini, umat Islam telah didera krisis otoritas yang telah memburuk hingga mencapai titik chaos yang akut. Di dunia Islam, ada banyak kelompok yang seolah-oleh berbicara atas nama Tuhan, namun tidak banyak yang mau mendengarkannya.
Di era modern ini
pun, terdapat banyak klaim kontradiktif yang dibuat atas nama Tuhan, tetapi
tatkala dikembalikan kepada syariat Islam, ternyata klaim tersebut sangat
tergantung kepada pemegang otoritas itu sendiri.
Berdasarkan studi historis-empiris, ternyata agama sarat dengan berbagai “kepentingan” yang menempel dalam ajaran dan batang tubuh ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri.
Campur aduk dan berkaitnya “agama” dengan berbagai “kepentingan” sosial kemasyarakatan merupakan salah satu persoalan keagamaan kontemporer yang paling rumit untuk dipecahkan.
Oleh karenanya,
sangat sulit menjumpai sebuah agama tanpa terkait dengan “kepentingan”
kelembagaan, kekuasaan, dan interest-interest tertentu betapapun tingginya
nilai sosial yang dikandung oleh kepentingan tersebut.
Apakah MUI termasuk di dalamnya? Yang jelas, salah satu tujuan kelahiran MUI adalah untuk menjebatani antara aspirasi umat Islam di satu sisi dan kepentingan pemerintah di lain sisi.
Selain itu, sebuah
fatwa ---sesuai dengan namanya--- baru dikeluarkan apabila ada permintaan
penetapan hukum suatu masalah dari pihak-pihak tertentu. Dari sini terlihat,
bahwa semua fatwa MUI pasti berkaitan dengan kepentingan tertentu.
Hanya saja
persoalannya, kuasakah MUI menjaga netralitas dan objektifitas dalam memberikan
fatwa? Di samping itu, mampukah MUI merujukkan sebuah gagasan tentang perubahan
dengan sifat agama sebagai pembawa kebenaran abadi dan perenial?
Secara prinsip dan ideal, untuk memahami agama secara tepat, seseorang harus juga memanfaatkan sejumlah besar pengetahuan dari luar wilayah khas agama itu sendiri.
Teori-teori kosmologis, antropologis, dan linguistik selalu membatasi dan mengikat pemahaman tentang agama dan harapan-harapan terhadapnya.
Sebelum upaya apa
pun untuk memahami agama, suatu kerangka epistemologis, linguistik, kosmologis,
dan antropologis sudah ada. Setiap pemahaman dicapai dalam konstelasi seperti itu,
dan ditakdirkan untuk menjadi padu atau koheren di dalam kerangka seperti itu
pula.
Kerangka ini bisa
meluas, juga bisa menyempit. Makin luas kerangka, makin luas pula horizon bagi
pemahaman agama. Sebaliknya, makin dibatasi atau disempitkan kerangkanya, maka
akan sempit pula suatu pemahaman atas teks-teks agama.
Dalam upaya pemahaman terhadap teks-teks keagamaan ini dapat diaplikasikan pendekatan hermeneutika. Pendekatan ini dinilai tepat karena ia mempertimbangkan kepentingan tiga komponen utama, yaitu pengarang (author), pembaca (reader), dan teks (text).
Hermeneutika ialah
penafsiran suatu teks, yang merupakan proses transformasi pemikiran dari yang
kurang jelas atau ambigu menuju ke yang lebih jelas atau konkret.
Penafsiran atau pemahaman teks secara hermeneutis merupakan produk interaksi yang hidup dan dinamis antara ketiga elemen pelaku itu.
Penafsiran atau pemahaman teks secara hermeneutis merupakan produk interaksi yang hidup dan dinamis antara ketiga elemen pelaku itu.
Dengan demikian,
ada proses penyeimbangan antara berbagai muatan kepentingan yang dibawa oleh
masing-masing pihak dan terjadi proses negosiasi (negotiating process)
yang terus menerus, tak kenal henti antarketiga pihak terkait.
Ada tiga perangkat kerangka analisis epistemologis yang dapat diaplikasikan dalam pemahaman agama ini, yaitu Epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani. Hanya saja, model kerjanya harus dengan memanfaatkan gerak putar hermeneutis, yang pola hubungan ketiganya bersifat sirkular.
Yaitu, menjadikan
teks sebagai sumber ilmu nalar bayani; menjadikan pengalaman langsung
(direct experience) sebagai sumber nalar irfani; dan menjadikan
realitas (al-waqi’) sebagai sumber nalar burhani.
Validitas nalar
bayani akan dikembalikan kepada kedekatan dan keserupaan teks atau nash
dengan realitas. Validitas nalar irfani lebih diacukan pada kematangan social
skill (empati, simpati, verstehen).
Validitas
burhani ditekankan pada korespondensi (al-mutabaqah baina al-‘aql wa
nizam al-tabi’ah), yakni kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh
akal manusia dengan hukum-hukum alam).
Apabila MUI
mengaplikasikan prinsip, metode, dan perangkat kerangka analisis epistemologis
tersebut, tidak mustahil lembaga keagamaan itu akan mendapatkan respon positif
dari publik.
Hal ini karena MUI
akan memberikan fatwa-fatwa yang problem solving dalam realita
kehidupan. Karena dengan demikian, MUI akan berhasil memadukan antara kebaqaan
dan kefanaan.
Memang harus
diakui, MUI boleh memiliki pendapat dan keyakinan, tetapi ia tak boleh
mempunyai hak veto. Di dalam masyarakat ini tidak ada yang sakral.
Meskipun agama itu
sendiri sakral, tetapi penafsirannya tidak sakral. Sebab itu, hasil penafsiran
agama tersebut dapat dikritik, dimodifikasi, diverifikasi, dan didefinisikan
kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan memberikan komentar di kolom ini. Atas masukan dan kritik konstruktifnya, saya ucapkan banyak terimakasih