Penghulu KUA Versus Wali Adhal

Pendahuluan

Ada kejadian perkawinan yang problematik. Ada seorang wali nikah yang menolak menikahkan anak perempuannya dengan berbagai alasan yang dianggapnya benar. Anak perempuannya pun kemudian mengajukan sidang ke Pengadilan Agama mohon diizinkan melangsungkan pernikahan dengan wali hakim sebab wali nikah ayah kandungnya menolak menikahkan (wali adhal).

Pengadilan Agama setelah melaksanakan sidang, akhirnya mengabulkan dan  menetapkan bahwa anak perempuan tersebut dapat melangsungkan pernikahan dengan wali hakim.

Anak perempuan itu pun kemudian datang ke Kantor Urusan Agama Kecamatan (KUA) setempat dengan membawa lembar Penetapan Pengadilan Agama untuk memberitahukan bahwa ia diizinkan Pengadilan Agama untuk melangsungkan perkawinan dengan wali hakim.

Sementara itu, wali nikah ayah kandungnya yang adhal (menolak) tersebut juga datang ke KUA Kecamatan. Ia menyampaikan bahwa ia tetap tidak membolehkan anak perempuannya melangsungkan  pernikahan. Ia pun menyerahkan Surat Pencegahan Perkawinan kepada Penghulu KUA Kecamatan.

Wali nikah itu juga menegaskan bahwa ia tidak dapat menerima hasil Penetapan Pengadilan Agama yang mengabulkan permohonan anak perempuannya itu karena ia tidak pernah hadir dalam persidangan di Pengadilan Agama itu.

Wali nikah yang adhal tersebut juga memberitahukan, bahwa ia mengajukan perlawanan hukum ke Pengadilan Agama yang mengabulkan permohonan anak perempuannya itu.

Sekarang pertanyaannya, bagaimana seharusnya sikap dan keputusan Penghulu KUA Kecamatan dalam menghadapi rencana pernikahan yang wali nikah ayah kandungnya adhal tersebut?

Akankah Penghulu akan tetap melangsungkan pernikahan dengan wali hakim karena sudah ada Penetapan Pengadilan Agama yang mengabulkan permohonan pernikahan dengan wali hakim?

Dapatkah wali nikah yang adhal itu melawan hukum atas Penetapan Pengadilan Agama dengan alasan bahwa dia tidak pernah hadir dalam persidangan?


Wali Hakim Sebab Wali Nasab Adhal

Banyak penghulu yang berpendapat bahwa Penghulu dapat langsung melaksanakan pernikahan dengan wali hakim karena sudah ada Penetapan Pengadilan Agama yang mengabulkan permohonan pernikahan dengan wali hakim sebab wali nasabnya adhal.

Para penghulu ini beragumentasi, produk hukum Pengadilan Agama yang berupa Penetapan mempunyai kekuatan hukum seketika yang kuat dan mengikat.

Dalam hal ini saya mempunyai pendapat yang agak berbeda. Menurut saya, dalam permasalahan ini Penghulu harus tetap terlebih dahulu memastikan otensitas Penetapan Pengadilan Agama itu. Kemudian juga memastikan sikap dan langkah hukum yang ditempuh oleh wali nikah yang menolak tersebut.

Apabila Penetapan Pengadilan Agamanya setelah diperiksa ternayata otentik dan valid, maka langkah penghulu selanjutnya adalah memeriksa sikap hukum wali nikah yang menolak itu.

Apabila ternyata wali nikah yang adhal itu tetap bersikukuh menolak, maka penghulu pun harus memastikan apakah sikap wali nasab itu hanya sebatas ucapan lesan ataukah sudah diwujudkan dalam langkah-langkah hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam khazanah ilmu hukum, produk hukum Pengadilan Agama dalam permohonan pernikahan wali hakim sebab wali nasabnya adhal memang berupa penetapan, bukan putusan. Penetapannya pun langsung berkekuatan hukum tetap (inkracht). Persidangannya bersifat voluntair (permohonan), bukan contentiosa (gugatan). Artinya kekuatan hukumnya kuat dan mengikat seketika.

Namun perlu diingat, dalam pernikahan yang wali nasabnya menolak ini masih tetap terbuka upaya perlawanan hukum yang dapat ditempuh oleh wali nasab yang bersangkutan.

Dalam ilmu hukum, Penetapan yang disebut al-itsbat (Arab) atau beschiking (Belanda) memang merupakan produk hukum Peradilan Agama dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya, yang diistilahkan jurisdictio voluntaria.

Dikatakan bukan peradilan yang sesungguhnya karena hanya ada satu pihak, yaitu pemohon yang memohon untuk ditetapkan tentang sesuatu. Pemohonnya pun tidak berpekara dengan pihak lawan. Diktum penetapannya juga tidak berbunyi “menghukum”, melainkan hanya bersifat “menyatakan” (declaratoire) atau “menciptakan” (constitutoire). Memang demikianlah karakteristik produk hukum peradilan yang berupa Penetapan.

Di sinilah ada beberapa penghulu yang kadang kala tidak tepat dalam mengambil keputusan atas peristiwa pernikahan yang wali nikahnya menolak setelah ada penetapan Pengadilan Agama yang mengabulkan permohonan pernikahan dengan wali hakim sebab wali nasabnya adhal.

Penghulu ini pun akan tetap melangsungkan pernikahannya walupun ada pencegahan perkawinan dari pihak wali nasab ayah kandungnya. Penghulu ini mendasarkan pada Penetapan Pengadilan Agama yang telah mengabulkan permohonan pernikahan dengan wali hakim sebab wali nasabnya adhal.

Bagi sebagian penghulu ini, Penetapan Pengadilan Agama tersebut adalah sangat kuat dan mengikat seketika karena ia merupakan penetapan, bukan putusan.


Perlawanan Hukum Wali Nikah Adhal

Menurut hemat saya, dalam hal ini Penghulu harus memeriksa terlebih dahulu, ada atau tidak upaya perlawanan hukum yang dilakukan oleh wali nikah yang adhal itu?

Apabila ternyata ada, maka Penghulu harus meminta kepada wali nasab yang adhal itu bukti resmi pendaftaran upaya perlawanan hukum yang diajukannya ke Pengadilan Agama.

Bukti pendaftaran tersebut sangat berguna bagi penghulu sebagai dasar untuk menyatakan bahwa Penetapan Pengadilan Agama tentang pernikahan wali hakim tersebut belum berkekuatan hukum tetap (inkracht) karena masih ada upaya perlawanan hukum yang sedang ditempuh oleh wali nikah yang adhal.

Sekarang pertanyaannya, dapatkah wali nikah yang adhal melakukan upaya perlawanan hukum terhadap Penetapan Pengadilan Agama yang sudah berkekuatan hukum tetap (Inkracht)?

Terhadap Penetapan Pengadilan Agama yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) sejatinya dapat diajukan upaya perlawanan hukum. Yaitu kasasi ke Mahkamah Agung yang pendaftarannya melalui Pengadilan Agama yang memutuskan tingkat pertama. Jadi, pengajuan upaya perlawanan hukumnya memang tidak ke Pengadilan Tinggi Agama (PTA), tetapi langsung ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Agama Tingkat Pertama.


Putusan Verstek dan Perlawanan Verzet

Dapatkah wali nikah adhal mengajukan perlawanan hukum dengan alasan ia tidak pernah hadir dalam persidangan? Sebagaimana dipaparkan di depan, wali nikah yang adhal tersebut menyampaikan ke Penghulu KUA Kecamatan setempat, bahwa ia tidak pernah hadir dalam persidangan di Pengadilan Agama itu.

Dalam ilmu hukum memang dikenal adanya putusan yang diputuskan tanpa kehadiran pihak “lawan”. Putusan tanpa kehadiran pihak “lawan” itu disebut putusan verstek. Pihak “lawan” yang tidak hadir di persidangan itu tetap mempunyai hak untuk mengajukan upaya perlawanan hukum, yang dikenal dengan istilah verzet.

Dengan demikian, terhadap Penetapan pernikahan dengan wali hakim ini yang wali nasab ayah kandungnya tidak hadir dalam persidangan, maka wali nasab yang bersangkutan kiranya dapat mengajukan perlawanan hukum berupa verzet.

Verzet adalah perlawanan hukum terhadap putusan yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Agama) yang diputus secara verstek dalam waktu tertentu yang diajukan ke Pengadilan Agama yang memutus verstek tersebut.


Keputusan Penghulu

Dengan demikian, apabila ternyata wali nikah yang adhal itu secara resmi telah mengajukan upaya perlawanan hukum berupa kasasi ke MA atau verzet ke Pengadilan Agama, maka Penetapan Pengadilan Agama tentang Pernikahan dengan wali hakim sebab wali nasabnya adhal tersebut menjadi tidak lagi berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Oleh karena itu, setelah menerima bukti pendaftaran upaya perlawanan hukumnya, Penghulu KUA Kecamatan menolak untuk melangsungkan pernikahan dengan wali hakim tersebut sebab perkaranya masih dalam proses upaya perlawanan hukum di lembaga peradilan.

Namun, apabila ternyata wali nikah yang adhal itu dalam mengajukan Surat Pencegahan Perkawinan secara tertulis ke KUA Kecamatan tidak melampirkan Tanda Bukti Pendaftaran Perlawanan Hukum Kasasi atau Verzet dari Pengadilan Agama, maka permohonan pencegahan perkawinannya ditolak dan pernikahannya dapat dilaksanakan.

Selain itu, pencegahan perkawinan dalam kasus ini harus ditolak oleh Penghulu karena pencegahan perkawinan seharusnya diajukan ke Pengadilan Agama, bukan ke KUA Kecamatan.

Pasal 17 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan, pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum tempat perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan.


Kesimpulan

Berdasarkan deskripsi di atas dapat disimpulkan bahwa seorang Penghulu dapat melangsungkan perkawinan seorang perempuan dengan dengan wali hakim setelah ada Penetapan Pengadilan Agama yang mengabulkan permohonan pernikahan dengan wali hakim sebab wali nasabnya adhal, dengan syarat tidak ada upaya perlawanan hukum oleh wali nikah yang adhal itu.

Namun, apabila ternyata ada upaya perlawanan hukum oleh wali nasab yang adhal, baik berupa kasasi, verzet, maupun pencegahan perkawinan ke Pengadilan Agama, maka Penghulu tidak dapat melangsungkan pernikahan itu sampai proses perlawanan hukum tersebut selesai atau sampai pencegahan perkawinannya dicabut oleh yang mengajukan.

Demikian, semoga bermanfaat dan dapat memberikan solusi atas berbagai persoalan pernikahan di kalangan Penghulu KUA Kecamatan. Waalahu a’lam bish shawab.

 Penulis,

Eko Mardiono, S.Ag., MSI.

Penghulu Ahli Madya

KUA Kec. Pakem Kab. Sleman


Referensi:

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

K. Wantjik Saleh, SH., Hukum Acara Perdata RBG / HIR (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983).

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Teknis dan Administrasi Peradilan Agama Buku II, edisi revisi 2010 (Jakarta: tnp, 2010).

Drs. H. Roihan A. Rasyid, SH., Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991).

Prof. Subekti, SH., Pokok Pokok Hukum Perdata, cet. XXII (Jakarta: Intermasa, 1989).

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan memberikan komentar di kolom ini. Atas masukan dan kritik konstruktifnya, saya ucapkan banyak terimakasih

PASANGAN HIDUP

Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). (QS. an-Nur: 26)

Maka, jadilah yang baik, kamu pun mendapatkan yang baik.

PENGHULU

Kedudukan Penghulu
Penghulu berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional di bidang kepenghuluan pada Kementerian Agama.
Tugas Penghulu
Penghulu bertugas melaksanakan kegiatan pelayanan dan bimbingan nikah atau rujuk, pengembangan kepenghuluan, dan bimbingan masyarakat Islam.

SUKSES PENGHULU

Raih Angka Kredit Penghulu: Putuskan apa yang diinginkan, tulis rencana kegiatan, laksanakan secara berkesinambungan, maka engkau pun jadi penghulu harapan.

Categories

Followers

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *