Seputar Puasa Ramadhan Bagi Wanita

Oleh: Hanifatun Na'imi, SH. 

A.  Wanita Yang Wajib Berpuasa

Wanita yang wajib berpuasa adalah wanita muslimah yang sudah baligh dan berakal ditandai dengan menstruasi (haidh) dan tidak dalam keadaan haidh atau nifas pada bulan Ramadhan.

B.  Wanita Haidh atau Nifas

Wanita yang sedang haidh atau nifas diharamkan melakukan puasa. Jika ia tetap berpuasa, maka ia berdosa.

Apabila terjadi seorang wanita yang sedang berpuasa lalu keluar darah haidhnya, baik di pagi, siang ataupun sore walaupun sesaat menjelang terbenamnya matahari, maka ia wajib membatalkan puasanya, dan wajib mengqadhanya (mengganti puasa di hari lain) setelah ia bersuci.

Begitu juga sebaliknya, jika ada seorang wanita yang suci setelah haidh sebelum fajar walaupun sekejap, maka ia wajib berpuasa pada hari itu walaupun mandi junubnya baru dilakukan setelah fajar.

C.  Wanita Tua Yang Tidak Mampu Berpuasa

Seorang wanita lanjut usia yang tidak mampu lagi berpuasa dan jika berpuasa akan membahayakan dirinya, maka ia tidak boleh berpuasa karena Allah SWT Berfirman:

وَلَا تُلقُواْ بِأَيدِيْكُم إِلَى ٱلتَّهلُكَةِ ١٩٥

Artinya: ”… Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu dalam kebinasaan …” (QS. Al Baqarah: 195)

Oleh karena orang yang lanjut usia tidak bisa diharapkan untuk bisa mengqadha, maka baginya hanya wajib membayar fidyah (tidak wajib mengqadha), dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin.

Hal itu berdasarkan firman Allah SWT:

وَعَلَى ٱلَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُۥ فِديَة طَعَامُ مِسكِيْن ١٨٤

Artinya: “Dan bagi orang yang tidak mampu berpuasa maka ia harus membayar fidyah dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin” (QS. Al Baqarah: 184)

D.  Wanita Hamil dan Menyusui

Perihal wanita hamil dan menyusui ada beberapa pendapat ulama terkait dengan ketetentuan ibadah puasa Ramadan. Apakah cukup membayar fidyah ataukah tetap harus mengqadha puasa di hari lain.

Pertama: Pendapat ulama yang menyatakan bahwa wanita yang sedang hamil atau menyusui dapat tetap berpuasa di bulan Ramadhan selama ia mampu melakukannya.

Jika wanita hamil dan menyusui tersebut tidak sanggup berpuasa karena kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan, maka ia boleh berbuka sebagaimana wanita yang sedang sakit, dan wajib mengqadhanya jika kondisi tersebut sudah stabil kembali.

Pendapat ini didasarkan pada firman Allah:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا أَو عَلَىٰ سَفَر فَعِدَّة مِّن أَيَّامٍ أُخَرَ ١٨٤

Artinya: “Maka barang siapa di antara kamu yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 184)

Kedua: Pendapat ulama yang menyatakan bahwa apabila wanita hamil dan menyusui mampu untuk berpuasa, tapi khawatir puasanya akan membahayakan bagi kandungan atau anak yang disusuinya, maka ia boleh berbuka dengan berkewajiban untuk mengqadha di hari lain dan membayar fidyah dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin.

Ketiga: Pendapat ulama yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui hanya diwajibkan membayar fidyah, tanpa qadha sebagaimana menurut Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.

Pendapat ini didasarkan pada perkataan Ibnu Abbas saat memberikan penjelasan surat al-Baqarah ayat 184.

وَعَلَى ٱلَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُۥ فِديَة طَعَامُ مِسكِيْن ١٨٤

Artinya:  “Dan wajib bagi orang yang tidak mampu menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah …”.

Ibnu Abbas berkata : “Ayat ini adalah rukhshah (keringanan) bagi orang yang lanjut usia lelaki dan perempuan, wanita hamil dan menyusui jika khawatir terhadap anak-anaknya, maka keduanya boleh berbuka dan memberi makan (fidyah)” (HR. Abu Daud)

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ (وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ) قَالَ: كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيْرِ وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيْرَةِ وَهُمَا يُطِيْقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا ويُطْعِمَا مَكَانَ كُلَّ يَوِمٍ مِسْكِيْناً، وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَاخَافَتَا قَالَ أَبُوْدَاوُدَ يَعْنِي عَلَى أَوَلاَدِهمِاَ أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا (رواه أبو داود)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas (dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa, jika mereka tidak berpuasa, maka membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin). Ibnu Abas berkata: hal demikian itu merupakan keringanan bagi lanjut usia, baik laki-laki maupun perempuan, mereka berdua adalah orang-oang yang berat menjalankan puasa. Maka mereka boleh berbuka dan sebagai gantinya memberi makan kepada orang miskin setiap harinya. Hal ini berlaku pula bagi wanita hamil dan menyusui jika mereka takut. Penjelasan Abu Dawud, yakni takut akan anak-anak mereka, dibolehkan berbuka dan sebagai gantinya mereka memberi makan. (HR Abu Dawud).

Hadis tersebut menegaskan bahwa perempuan hamil dan menyusui dibebaskan dari menunaikan ibadah puasa.

Untuk menggantinya, aṡar dari sahabat Ibnu Abbas menegaskan bahwa ibu hamil dan menyusui cukup membayar fidyah, sebagaimana perkataan beliau kepada jariyah (pembantu)nya yang sedang hamil:

أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّتِي لا تُطِيْقُهُ فَعَلَيْكِ الْفِدَاءُ، ولاَ قَضَاءَ عَلَيْكِ.

Artinya: Engkau termasuk orang yang mampu dengan memaksa diri, oleh karena itu engkau hanya wajib membayar fidyah tidak wajib mengkadha. (HR. al-Bazzari dan dishahihkan oleh ad-Daruquthni).

E.  Waktu Mengqadha Puasa bagi Seorang Wanita

Wanita yang memiliki hutang puasa (harus mengqadha) karena sakit atau bepergian, maka waktu mengqadhanya dimulai sejak satu hari setelah Idul fitri dan tidak diakhirkan sampai datangnya bulan Ramadhan berikutnya.

Barang siapa mengakhirkan qadha puasa sampai datangnya Ramadhan berikutnya tanpa udzur syar’i, maka di samping mengqadha ia harus membayar fidyah dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin, sebagai hukuman atas kelalaiannya. (Lihat: Al mughni 4/400, fatwa Ibnu Baz, Fatwa Ibnu Utsaimin)

Para ulama telah sepakat bahwa qadha puasa Ramadhan itu tidak diharuskan untuk dilakukan secara terus menerus dan berurutan, karena tidak ada dalil yang menjelaskan akan hal itu.

Kecuali waktu yang tersisa di bulan Sya’ban itu hanya cukup untuk qadha puasa maka tidak ada cara lain kecuali terus menerus dan berurutan. (Al Fiqhu Al Islami Wa Adillatuhu 2/680)

F.  Mengkonsumsi Tablet Anti Haidh pada Bulan Ramadhan

Hendaknya seorang wanita tidak mengkonsumsi tablet anti haidh. Membiarkan darah haidh itu keluar sebagaimana mestinya.

Hal itu karena dibalik keluarnya darah haidh ada hikmah yang sesuai dengan tabiat kewanitaan. Jika hal ini dihalang-halangi, bisa berdampak negatif pada kesehatan wanita tersebut. Rasulullah SAW bersabda:

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارًا (رواه ابن ماجة في الأحكام)

Artinya: “Tidak boleh melakukan perbuatan yang membahayakan dirinya,  dan juga tidak boleh melakukan perbuatan yang membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah).

Namun, apabila ada wanita yang melakukan hal seperti ini, maka hukumnya sebagai berikut:

Apabila darah haidhnya benar-benar telah berhenti, maka puasanya sah dan tidak diwajibkan untuk mengqadha.                

Tetapi apabila ia ragu apakah darah tersebut benar-benar berhenti atau tidak, maka hukumnya seperti wanita haidh, ia tidak boleh melakukan puasa dan harus mengqadha di hari lain.

G. Mencicipi Makanan

Kehidupan seorang wanita tidak bisa dipisahkan dengan dapur, baik ia sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai juru masak di sebuah rumah makan, restoran atau hotel.

Karena kelezatan masakan yang ia olah adalah menjadi tanggung jawabnya, maka ia akan selalu berusaha mengetahui rasa masakan yang diolahnya, dan itu mengharuskan ia untuk mencicipi masakannya.

Jika itu dilakukan, bagaimana hukumnya? Batalkah puasanya? Para ulama memfatwakan bahwa tidak mengapa wanita mencicipi masakannya, asal sekadarnya saja, dan tidak sampai ke tenggorokannya.

Hal ini diqiyaskan kepada berkumur kumur ketika berwudhu saat berpuasa.

H.  Wanita Shalat Tarawih Di Masjid

Seorang wanita diperbolehkan untuk datang ke masjid, baik untuk shalat tarawih, berdzikir maupun mendengarkan pengajian, jika kehadirannya tidak menyebabkan terjadinya fitnah baginya atau bagi orang lain.

Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:

لَا تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ (رواه البخاري)

Artinya: “Janganlah kalian melarang wanita-wanita untuk mendatangi masjid-masjid Allah” (HR. Bukhari)

Demikian pembahasan seputar puasa Ramadhan bagi wanita. Semoga bermanfaat bagi semuanya. Waallahu a’lam bish-shawab.

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan memberikan komentar di kolom ini. Atas masukan dan kritik konstruktifnya, saya ucapkan banyak terimakasih

PASANGAN HIDUP

Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). (QS. an-Nur: 26)

Maka, jadilah yang baik, kamu pun mendapatkan yang baik.

PENGHULU

Kedudukan Penghulu
Penghulu berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional di bidang kepenghuluan pada Kementerian Agama.
Tugas Penghulu
Penghulu bertugas melaksanakan kegiatan pelayanan dan bimbingan nikah atau rujuk, pengembangan kepenghuluan, dan bimbingan masyarakat Islam.

SUKSES PENGHULU

Raih Angka Kredit Penghulu: Putuskan apa yang diinginkan, tulis rencana kegiatan, laksanakan secara berkesinambungan, maka engkau pun jadi penghulu harapan.

Categories

Followers

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *