Oleh: Eko Mardiono
Peristiwa Kasus
Ada seorang teman
Penghulu yang meminta pendapat ke saya. Permasalahannya:
“Ada laki-laki yang menghamili seorang gadis yang sekarang usia kehamilannya 7 bulan. Laki-laki tersebut bermaksud akan menikahinya pada tanggal 10 Mei 2025 yang akan datang ini, tetapi laki-laki tersebut seorang duda yang baru saja cerai talak tanggal 16 April bulan ini. Mana yang harus dipilih: apakah menegakkan Surat Edaran (SE) Dirjen Bimas Islam tentang Ketentuan Nikah bagi Duda Talak Raj’i ataukah mempertimbangkan kemaslahatan nikah bagi gadis yang hamil?”
Terhadap
permasalahan ini, saya memberikan pendapat bahwa, “Laki-laki tersebut tidak
dinikahkan dengan gadis yang dihamilinya sampai selesai masa idah istrinya sebagaimana
ketentuan SE Dirjen Bimas Islam Nomor: P-005/DJ.III/Hk.00.7/10/2021, walaupun
Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia membolehkan wanita hamil dinikahi oleh
laki-laki yang menghamilinya.”
Hal itu karena SE Dirjen Bimas Islam tentang Pernikahan dalam Masa Idah Istri mensyaratkan, laki-laki bekas suami dapat melakukan pernikahan dengan perempuan lain apabila telah selesai masa idah istrinya.
Pasal 153 ayat (1) KHI memang menetapkan, “Seorang
wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan lelaki yang menghamilinya”.
Baca: SE Bimas Islam Nomor: P-005/DJ.III/Hk.00.7/10/2021
Baca: Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Jika demikian, mengapa permohonan laki-laki bekas suami tersebut tidak diterima untuk menikahi wanita yang dihamilinya?
Di sinilah terjadi dilema penerapan hukum. Satu sisi KHI membolehkan wanita hamil di luar nikah dinikahi oleh lelaki yang menghamilinya. Di lain sisi, SE Dirjen Bimas Islam tidak membolehkan laki-laki bekas suami menikahi perempuan lain sebelum selesai masa idah istrinya.
Padahal dalam kasus seperti ini yang anak dalam kandungan sudah berusia 7 bulan, maka bisa jadi nanti anak yang berada dalam kandungan tersebut sudah lahir sebelum kedua orang tuanya melangsungkan pernikahan.
Solusi Proporsional
Oleh karena itu, perlu dicari solusi yang tepat dan sesuai dengan ketentuan Syariat. Berikut ini solusi yang saya sampaikan.
Bahwa dalam khazanah Ilmu Fiqh terdapat Kaidah Fiqhiyyah:
اِذَا تَعَارَضَ الْمَانِعُ وَالْمُقْتَضِى قُدِمَ الْمَانِعُ
“Apabila saling bertentangan antara ketentuan hukum yang mencegah dengan hukum yang mengharuskan pada waktu yang sama, maka didahulukan hukum yang mencegah”[1]
Dalam kasus ini, satu sisi KHI membolehkan seorang wanita hamil di luar nikah dinikahkan dengan lelaki yang menghamilinya, di lain sisi SE Dirjen Bimas Islam mencegah laki-laki bekas suami menikah dengan perempuan lain sebelum selesai masa idah istrinya.
Berdasarkan Kaidah Fiqhiyyah di atas, maka didahulukanlah ketentuan hukum yang mencegah. Laki-laki bekas suami tersebut dicegah, tidak diperbolehkan menikahi perempuan lain sebelum selesai masa idah istrinya.
Namun persoalannya, bukankah dibolehkannya kawin hamil bertujuan untuk kemaslahatan perempuan dan anak yang dilahirkan?
Betul, memang dibolehkannya kawin hamil bertujuan untuk menjaga dan melindungi hak-hak perempuan dan anak yang dilahirkan.
Tujuan Syarat Selesai Masa Idah Istri
Perlu diingat bahwa pencegahan laki-laki bekas suami melangsungkan pernikahan dengan perempuan lain sebelum selesai masa idah istrinya mempunyai beberapa tujuan. Di antaranya:
Pertama: Kedua suami istri supaya memanfaatkan kesempatan untuk dapat berpikir ulang guna membangun kembali rumah tangga yang terpisah sebab perceraian. Apabila laki-laki bekas suami telah menikah dengan perempuan lain, maka kesempatan itu menjadi hilang.
Kedua: Apabila laki-laki bekas suami menikahi perempuan lain sebelum selesai masa idah istri, sedangkan ia masih memiliki kesempatan merujuk bekas istrinya, maka hal tersebut dapat berpotensi terjadinya poligami terselubung.
Dengan demikian, penerapan syarat suami dapat menikahi perempuan lain setelah masa idah istrinya selesai memiliki banyak maslahat, yaitu:
Satu: Suami istri mempunyai waktu cukup untuk saling merefleksi, berpikir, dan mempertimbangkan untuk membangun kembali perkawinan di antara keduanya.
Dua: Mengantisipasi penyelundupan hukum, terjadinya poligami terselubung. Penyelundupan hukum dilakukan dengan cara, laki-laki bekas suami tersebut melakukan rujuk siri dengan bekas istrinya secara agama setelah menikahi perempuan lain.
Tiga: Menjaga marwah (kehormatan) masing-masing pihak, baik marwah suami atau marwah istri. Bekas suami sama-sama juga menunggu selesainya masa idah istri, sebagaimana bekas istri yang harus menunggu selesainya masa idah istri itu.
Empat: Sebagai bentuk adab saling menghargai dan berkeadilan dalam pembagian beban hukum dan beban psikis di antara kedua suami istri.
Lima: Sebagai langkah solutif untuk meminimalkan terjadinya perceraian dengan tetap terbukanya masa idah secara penuh untuk dapat rujuk kembali, sehingga akhirnya bisa jadi tidak terjadi percaraian karena rujuk pada masa idah.
Sebenarnya dicegahnya laki-laki bekas suami menikahi perempuan lain sebelum selesai masa idah istrinya adalah bertujuan untuk mencegah terjadinya berbagai kemadharatan.[2]
Dalam kasus ini pun terjadi tarik-menarik antara upaya untuk meraih kemaslahatan dengan dibolehkannya kawin hamil dan upaya mencegah terjadinya kemadharatan dengan dicegahnya laki-laki bekas suami menikahi perempuan lain sebelum selesai masa idah istri.
Dilema Penerapan Hukum
Dalam kasus dilematis seperti ini, maka berlakulah Kaidah Fiqhiyyah:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menolak kemafsadatan didahulukan daripada meraih kemaslahatan”
دَفْعُ الضَّرَرِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ النَّفْعِ[3]
“Menolak kemadharatan lebih utama daripada meraih manfaat.”
Dengan dasar Kaidah Fiqhiyyah di atas, maka tercegahlah terjadinya poligami terselubung yang dapat mengakibatkan kemadharatan, dan tercegah pula hilangnya kesempatan untuk berpikir ulang guna membangun kembali rumah tangga yang terpisah sebab perceraian.
Kalau demikian solusinya, bagaimana dengan kemaslahatan bagi wanita yang hamil di luar nikah dan kemaslahatan bagi anak yang berada dalam kandungan? Apakah hak-haknya tetap terpenuhi dan terlindungi?
Bagi wanita yang hamil di luar nikah tentu masih ada kesempatan dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya, yaitu setelah selesai masa idah istri. Hanya tinggal menunggu waktu.
Pemenuhan Hak Anak
Anak yang ada dalam kandungan juga tetap dapat memperoleh hak-haknya dari ayah biologisnya dan ibunya, serta mendapatkan perlindungan hukum berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, yaitu:
Pertama: Anak dapat memperoleh hak-hak keperdataan dari ayah biologisnya sebagaimana diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010.
Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi ini, Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan bermakna, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan dengan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain.”
Baca: Keputusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tentang Status Anak di Luar Nikah.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini menghilangkan beban hukum dan psikis bagi anak yang dilahirkan. Sebenarnya kedua orang tuanya lah yang berbuat kesalahan yang semestinya harus menanggung akibat hukumnya, bukan anak yang dilahirkan.[4]
Kedua: Anak memperoleh pengasuhan (hadhanah) dari ayah biologisnya dan ibunya serta secara formal dapat ditetapkan sebagai anak angkat.
Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan hidup sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.[5]
Peraturan yang berlaku di Indonesia menetapkan bahwa pengangkatan anak harus tetap melindungi hak-hak anak yang bersangkutan. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi anak itu sendiri. Pengangkatan anak juga tidak boleh memutus hubungan darah dengan orang tua kandungnya.
Seorang anak sebelum diangkat oleh sepasang suami istri harus terlebih dahulu mempunyai akta kelahiran dari orang tua kandungnya. Setelah diangkat, baru kemudian akta kelahirannya diberi Catatan Pinggir, bahwa anak yang bersangkutan telah diangkat oleh sepasang suami istri.
Orang tua angkatnya pun wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal-usulnya dan orang tua kandungnya dengan mempertimbangkan kesiapan anak yang bersangkutan.[6]
Ketiga: Memperoleh Wasiat Wajibah dari ayah biologisnya atau ayah angkatnya.
Di pasal 209 ayat (2) disebutkan, “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat, maka diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.”
Yang dimaksud wasiat wajibah bagi anak angkat di sini adalah apabila ayah angkatnya tidak berwasiat kepada anak angkatnya untuk menerima bagian harta peninggalannya, maka harus dianggap dan dihukumi bahwa orang tua angkatnya berwasiat kepada anak angkatnya.[7]
Kesimpulan
Demikian analisis hukum, bahwa laki-laki bekas suami tidak dapat menikahi gadis yang dihamilinya sebelum selesai masa idah istrinya. Ketentuan hukum SE Dirjen Bimas Islam Nomor: P-005/DJ.III/Hk.00.7/10/2021 diberlakukan untuk mencegah terjadinya beberapa kemadharatan.
Wanita yang hamil di luar nikah akan dapat terpenuhi kehendaknya untuk dinikahi oleh laki-laki calon suaminya setelah selesai masa idah istri calon suaminya yang duda itu.
Anak yang dalam kandungan juga dapat terpenuhi hak-haknya, yaitu anak yang bersangkutan dapat mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya. Anak yang bersangkutan dapat ditetapkan sebagai anak angkat oleh kedua orang tuanya yang akan mendapatkan hak pengasuhan (hadhanah) dan akan mendapatkan harta warisan orang tuanya melalui wasiat wajibah.
Dalam kasus seperti ini berlaku Kaidah Fiqhiyyah: “Menolak kemafsadatan didahulukan daripada meraih kemaslahatan.” Demikian, Waalahu A’lamu bish- Shawab.
[1] Prof. H.A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm. 175.
[2] Vian Juanda, “Kontekstualisasi Iddah Suami pada Talak Roj’i Perspektif Maslahah Mursalah” dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Selfietera.id, 2023), hlm. 20-22.
[3] Izzuddin bin Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, (t.t.: Dar al-Jail, 1980), Juz I, hlm. 81.
[4] Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015) hlm. 200.
[5] Pasal 171 (h) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
[6] Pasal 39 dan 40 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
[7] Drs. H.M. Anshary MK, S.H., M.H. Hukum Kewarisan Islam dalam Teori dan Praktik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), hlm. 93.