Pernikahan Dini

Oleh: Eko Mardiono

Berita tentang pernikahan dini yang dilakukan oleh Syekh Puji menyedot perhatian publik, mulai dari pemuka agama, pemerhati kesehatan reproduksi, ormas Islam sampai kepada praktisi hukum.

Yang menarik, mereka menganalisnya sesuai dengan perspektifnya masing-masing. Pemuka agama meninjaunya dari aspek ketentuan agama walaupun kemudian mengkaitkannya dengan issu-issu kekinian.

Pemerhati kesehatan reproduksi mempersoalkannya dari sisi kesiapan organ-organ reproduksinya. Baginya, seorang perempuan yang sudah menikah, maka ia akan melakukan aktifitas seksual.

Ia akan berhubungan suami isteri, mengandung, melahirkan, dan menyusui anak. Padahal, organ reproduksi anak di bawah umur 18 tahun belum berkembang secara sempurna. Kalaupun seandainya ia memakai alat kontrasepsi, keputusan itu pun akan berdampak negatif.

Ormas Islam yang bergerak di bidang kewanitaan pun tidak kalah antusiasnya dalam menanggapai kasus Syekh Puji ini.

Ada ormas Islam di Jawa Tengah yang sampai merekomendasikan agar pernikahan tersebut dibatalkan dan pelakunya diproses secara hukum.

Memang, reaksi yang diberikannya mengundang beberapa pertanyaan. Apakah memang Syekh Puji itu telah menikah secara resmi di Kantor Urusan Agama sehingga harus dibatalkan?

Lalu, bagaimana proses pernikahannya, apakah ia sudah mendapatkan dispensasi nikah dan izin poligami dari Pengadilan Agama? Atau memang, pernikahannya hanya nikah sirri? Rekomendasi ini pun mendapatkan tanggapan dari seorang praktisi hukum (KR, 31 Oktober 2008).

Memang, pernikahan seorang perempuan di bawah umur 19 tahun dimungkinkan oleh UU 1/1974 tentang Perkawinan. UU ini menetapkan bahwa usia minimal seorang calon isteri 16 tahun dan seorang calon suami 19 tahun.

Bahkan, UU ini mentoleransi pernikahan di bawah usia 16 tahun. Hanya saja, ia terlebih dahulu harus mendapatkan dispensasi dari Pengadilan Agama.

Padahal, sebagaimana dilansir banyak media massa bahwa Syekh Puji sudah mengajukan dispensasi ke Pengadilan Agama setempat.

Oleh karena itu, pada akhirnya semua keputusannya akan tergantung kepada pertimbangan dan hati nurani hakim.

Apakah ia akan hanya merujuk kepada pendapat fukaha (ahli hukum Islam) pada tempo dulu, ataukah ia juga akan mengkaitkannya dengan konteks kekinian, termasuk memperhatikan issu-issu tentang kesehatan reproduksi seorang perempuan, dampak psikis, dan sosio kulturalnya?

Jelas, dalam hal ini hakim mempunyai kebebasan. Apalagi, sampai sekarang belum ada ketentuan hukum spesifik tentang kriteria alasan dispensasi nikah.

Menjadi menarik tatkala permasalahan yang menghebohkan ini dikaitkan dengan issu, bahwa saat ini Lembaga Legislatif (DPR RI) sedang membahas RUU tentang Hukum Terapan Peradilan Agama.

Salah satu pasal yang sangat krusial adalah batasan minimal usia perkawinan. Banyak kalangan menginginkan agar usia minimal perkawinan yang selama ini ditetapkan oleh UU Perkawinan ditingkatkan, terutama untuk usia 16 tahun bagi calon isteri.

Paling tidak, ia diselaraskan dengan berbagai peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia.

Indonesia telah mempunyai UU 3/1997 tentang Pengadilan Anak dan UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Sebelumnya, pada tahun 1990 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak sebagaimana tertuang dalam Keppres 38/1990 tentang Pengesahan Peratifikasian Konvensi Hak Anak.

Oleh karena itu, sejak tahun 1990 Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan hak-hak anak.

Persoalannya sekarang adalah berapa usia minimum perkawinan yang ideal untuk ditetapkan dalam RUU tentang Hukum Terapan Peradilan Agama tersebut, baik dari sisi yuridis, psikis maupun sosiologis?

Apakah batasannya bersifat absolut? Apakah masih perlu diberi pengecualian dalam kasus-kasus tertentu? Memang idealnya, batasannya adalah usia tertentu yang mereka sudah matang dalam segala aspeknya.

Tentunya, usia minimum itu berkesesuaian dengan peraturan perundangan lainnya. Batasan minimumnya pun bersifat absolut.

Dalam buku Mengenali Hak Kita: Perempuan, Keluarga, Hukum, dan Adat di Dunia Islam yang diterbitkan atas kerjasama LKIS Perempuan Yogyakarta, SCN-CREST Jakarta, WEMC Internasional, dan WLUML London disebutkan bahwa UU mengenai kriteria usia minimun perkawinan di dunia Islam ada tiga klasifikasi.

Pertama, UU yang lebih menjamin hak-hak. Yaitu, UU yang menetapkan usia 18 tahun sebagai usia minimun perkawinan, baik untuk laki-laki maupun perempuan.

Kedua, UU yang dapat digunakan untuk melindungi hak-hak. Yakni, UU yang memperbolehkan pengecualian terhadap usia minimum tanpa batasan tetapi tetap mengharuskan izin orangtua untuk perkawinan di bawah usia 21 tahun.

Ketiga, UU yang diskriminatif. Ialah, UU yang menetapkan usia di bawah 15 tahun sebagai usia minimum untuk perempuan; atau menetapkan pubertas sebagai ukuran kapasitas untuk menikah; atau tidak menentukan usia minimum perkawinan.

Sekarang ini di Indonesia, mungkinkah ditetapkan batasan minimum usia perkawinan klasifikasi pertama, terutama untuk usia calon isteri?

Kalau melihat kondisi masyarakat Indonesia yang beraneka ragam, baik dari segi geografis, pendidikan, dan sosio kulturalnya, tampaknya hal itu belum memungkinkan.

Memang, bisa saja undang-undang difungsikan sebagai pembangun dan pengendali masyarakat. Masyarakat lah yang harus menyesuaikan diri dengan undang-undang.

Namun, yang perlu dipertimbangkan, bagaimana masyarakat yang karena sesuatu hal belum mampu menyesuaikan diri? Selain itu, sudah siapkah institusi sosialnya.

Menurut pengalaman di lapangan, tampaknya untuk sementara ini masih diperlukan sebuah UU yang memperbolehkan pengecualian terhadap usia minimum dengan mengharuskan adanya izin orangtua untuk perkawinan di bawah usia 21 tahun.

Pengecualian ini masih perlu ditoleransi karena dalam kasus-kasus tertentu hal itu justru untuk melindungi hak-hak para pihak yang dirugikan.

Adapun keputusan hukumnya diserahkan kepada hakim. Sudah barang tentu, keputusan hakimnya harus selektif, adil, proporsional, dan kontekstual.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan memberikan komentar di kolom ini. Atas masukan dan kritik konstruktifnya, saya ucapkan banyak terimakasih

PASANGAN HIDUP

Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). (QS. an-Nur: 26)

Maka, jadilah yang baik, kamu pun mendapatkan yang baik.

PENGHULU

Kedudukan Penghulu
Penghulu berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional di bidang kepenghuluan pada Kementerian Agama.
Tugas Penghulu
Penghulu bertugas melaksanakan kegiatan pelayanan dan bimbingan nikah atau rujuk, pengembangan kepenghuluan, dan bimbingan masyarakat Islam.

SUKSES PENGHULU

Raih Angka Kredit Penghulu: Putuskan apa yang diinginkan, tulis rencana kegiatan, laksanakan secara berkesinambungan, maka engkau pun jadi penghulu harapan.

Categories

Followers

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *