NILAI WAKTU
ANAK
Biasanya, Zaki memang sudah lelap ketika ayahnya pulang, dan baru bangun ketika ayahnya itu akan berangkat ke kantor pagi hari.
“Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Ayah bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp 200.000,-. Dan setiap bulan rata-rata dihitung 25 hari kerja, Jadi, gaji Ayah dalam satu bulan berapa, hayo?”
Zaki berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televisi.
“Kalau satu hari ayah dibayar Rp 200.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam ayah digaji Rp 20.000,- dong,” katanya.
“Tapi, Ayah…” Kesabaran Ahmad habis. “Ayah bilang, tidur!” hardiknya mengejutkan Zaki.
Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Ahmad berkata, “Maafkan Ayah, Nak. Ayah sayang sama Zaki. Buat apa sih minta uang malam-malam begini? Kalau mau beli mainan, besok kan bisa. Jangankan Rp 5.000 ,- lebih dari itu pun ayah kasih.”
“Iya, iya, tapi buat apa?” tanya Ahmad lembut.
Ahmad pun terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat
Seperti biasa
Ahmad, seorang ayah setelah seharian bekerja, ia pulang ke
rumah. Tiba di rumahnya sudah agak malam.
Tidak seperti
biasanya, Zaki, putra pertamanya yang baru duduk di kelas dua SD yang
membukakan pintu. Zaki
tampaknya sudah menunggu cukup lama. “Kok, belum tidur?” sapa Ahmad sambil
mencium anaknya.
Biasanya, Zaki memang sudah lelap ketika ayahnya pulang, dan baru bangun ketika ayahnya itu akan berangkat ke kantor pagi hari.
Sambil
membuntuti sang ayah menuju ruang keluarga, Zaki menjawab, “Aku nunggu Ayah
pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Ayah?”
“Lho, tumben,
kok nanya gaji Ayah? Mau minta uang lagi, ya?” “Ah, enggak.
Pengen tahu aja.”
“Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Ayah bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp 200.000,-. Dan setiap bulan rata-rata dihitung 25 hari kerja, Jadi, gaji Ayah dalam satu bulan berapa, hayo?”
Zaki berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televisi.
Ketika Ahmad
beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Zaki berlari mengikutinya.
“Kalau satu hari ayah dibayar Rp 200.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam ayah digaji Rp 20.000,- dong,” katanya.
“Wah, pinter
kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, lalu bobok,” perintah Ahmad. Tetapi Zaki tak
beranjak.
Sambil
menyaksikan ayahnya berganti pakaian, Zaki kembali bertanya, “Ayah, aku boleh
pinjam uang Rp 5.000,- nggak?”
“Sudah, nggak
usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini? Ayah capek, dan
mau mandi dulu. Tidurlah.”
“Tapi, Ayah…” Kesabaran Ahmad habis. “Ayah bilang, tidur!” hardiknya mengejutkan Zaki.
Anak kecil itu
pun berbalik menuju kamarnya. Usai mandi, Ahmad menyesali hardikannya,
Ia pun menengok
Zaki di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Zaki didapatinya
sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp 5.000,- di tangannya.
Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Ahmad berkata, “Maafkan Ayah, Nak. Ayah sayang sama Zaki. Buat apa sih minta uang malam-malam begini? Kalau mau beli mainan, besok kan bisa. Jangankan Rp 5.000 ,- lebih dari itu pun ayah kasih.”
“Ayah, aku
nggak minta uang. Aku mau pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung
lagi dari uang jajan selama minggu ini.”
“Iya, iya, tapi buat apa?” tanya Ahmad lembut.
“Aku menunggu
Ayah dari jam 8. Aku mau ajak Ayah main ular tangga. Tiga puluh menit saja. Ibu
sering bilang kalau waktu Ayah itu sangat berharga. Jadi, aku mau beli waktu
ayah.”
“Aku buka
tabunganku, ada Rp 5.000,-. Tapi karena Ayah bilang satu jam Ayah dibayar Rp
20.000,-, maka waktu setengah jam harganya Rp 10.000,-. Duit tabunganku hanya
Rp. 5.000,-, jadi kurang Rp 5.000,- lagi. Makanya aku mau pinjam dari Ayah,”
kata Zaki polos.
Ahmad pun terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan memberikan komentar di kolom ini. Atas masukan dan kritik konstruktifnya, saya ucapkan banyak terimakasih