Status Istri Berzina dan Status Anaknya
STATUS ISTRI BERZINA DAN STATUS ANAKNYA[1]
Oleh: Eko Mardiono, S.Ag., MSI.[2]
PENDAHULUAN
Suami pun pergi meninggalkan rumah. Kepergian suami sampai saat ini sudah selama 2 (dua) tahun lebih. Selama 2 tahun lebih itu, satu kali pun suami tidak pernah pulang ke rumah menengok istri dan anak-anaknya.
Istri yang ditinggal suami sendirian di rumah menjalin hubungan gelap dengan seorang laki-laki sampai hamil. Orang lak-laki yang menghamili istri orang ini ingin bertanggung jawab dan ingin menikahi.
Istri ini pun mengajukan gugat cerai ke Pengadilan Agama setempat dengan alasan suami telah meninggalkan istri 2 (dua) tahun berturut-turut dan suami tidak memberi nafkah lebih dari 3 (tiga) bulan lamanya. Suami dianggap telah melanggar sighat taklik talak.
Setelah dilangsungkan sidang gugat cerai di Pengadilan Agama diputuslah perceraian bain sughra, cerai ba’da dukhul, dan dalam kondisi hamil. Peristiwa ini pun menimbulkan beberapa permasalahan hukum yang harus diberi jawaban.
RUMUSAN MASALAH
Pertama: Apa masa idah janda bersuami yang hamil dengan calon suaminya? Kedua: Bagaimana status anak dalam kandungan janda yang ditinggal suaminya tersebut? Ketiga: Apabila anak yang dalam kandungan itu perempuan, siapa wali nikahnya saat akan melangsungkan pernikahan?
KATEGORISASI ZINA
Dalam khazanah ilmu ada beberapa kategori perzinaan. Kategorisasi ini dilakukan untuk mengetahui status hukum akibat perzinaan itu beserta akibat hukumnya.
Paling tidak ada 3 (tiga) kategorisasi zina. Yaitu: (1) Zina Mukhson dan Zina Ghairu Mukhson; (2) Anak Zina dan Anak Lahir di Luar Nikah; (3) Zina Wanita Bersuami dan Zina Wanita Lajang.
Zina Muchson dan Zina Ghairu Mukhson
Dalam khazanah ilmu fiqh ada kategorisasi zina mukhson dan zina ghairu mukhson. Zina mukhson adalah perzinaan yang dilakukan oleh orang yang sudah baligh, berakal, merdeka, dan sudah pernah berhubungan seksual dengan pernikahan yang sah.
Sedangkan zina ghairu mukhson adalah perzinaan yang dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi syarat zina mukhson, yaitu perzinaan antara seorang laki-laki bujang dan gadis.
Kategorisasi zina mukhson dan zina ghairu mukhson ini dilakukan karena berbeda sanksi hukumannya. Apabila zina mukhson hukumnya berupa rajam, yaitu dilontar dengan batu sampai mati.
Sedangkan zina ghairu mukhson hukumannya berupa dera 100 (seratus) kali dan diasingkan ke luar negeri selama 1 (satu) tahun.[3]
Anak Zina dan Anak Lahir di Luar Kawin
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) di Indonesia membedakan antara anak zina dan anak lahir di luar kawin.
Anak zina menurut KUH Perdata adalah anak yang lahir dari hubungan yang salah satu atau kedua orang tuanya masih terikat dalam perkawinan yang sah dengan pihak lain. Sedangkan anak luar kawin adalah anak yang lahir dari orang tua yang keduanya tidak terikat perkawinan dengan pihak lain.
Pembedaan anak zina dan anak lahir di luar kawin dilakukan oleh KUH Perdata adalah karena keduanya mempunyai ketentuan dan konsekuensi hukum yang berbeda.
Misalnya anak zina, aduan atau laporan perbuatan zina itu ke pihak berwajib merupakan delik aduan oleh pasangannya. Anak zina tidak dapat diakui oleh kedua orang tuanya.
Sementara itu, kalau anak di luar kawin dapat diakui oleh orang tuanya, bahkan dapat disahkan oleh kedua orang tuanya. Menurut KUH Perdata, anak lahir di luar kawin dapat disahkan sebagai anak sah dengan syarat perkawinannya dilangsungkan menurut satu agama tertentu (Pasal 272 KUH Perdata)[4].
Sedangkan dalam Islam, anak hasil nikah siri yang dilangsungkan menurut hukum agama Islam dapat menjadi anak sah lewat isbat nikah.
Zina Wanita Bersuami dan Zina Wanita Lajang
Dalam khazanah ilmu agama Islam ada perbedaan hukum antara anak zina hasil perzinaan yang dilakukan wanita yang bersuami dan wanita yang tidak bersuami.
Anak hasil zina yang dilakukan oleh wanita yang tidak bersuami atau lajang, maka status anak yang dilahirkan adalah anak seorang ibu dan ibunya jika akan melangsungkan pernikahan tidak mempunyai masa iddah, tetapi tetap menjalani masa istibra’ (masa membersihkan isi kandungan).
Sedangkan anak hasil zina wanita yang bersuami, anak dalam kandungan tersebut adalah anak suaminya itu, bukan anak lelaki yang menzinai. Hal ini sebagaimana Hadits dari Abdullah bin ‘Amru yang berbunyi:
قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ فُلاَنًا ابْنِيْ عَاهَرْتُ بِأُمِّهِ فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ دِعْوَةَ فِي اْلإِسْلاَمِ ذَهَبَ أَمْرُ الْجَاهِلِيَّةِ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ. (رواه لأبو داود)
Artinya: “Umat telah Ijma’ (bersepakat) tentang hal itu dengan dasar hadis Nabi SAW dan Rasul SAW menetapkan setiap anak yang terlahir dari ibu, dan ada suaminya, dinasabkan kepada ayahnya (suami ibunya), kecuali ia menafikan anak tersebut dengan li’an.
Imam Ibnu Qudamah menyampaikan dalam Kitab al-Muhgni (9/123) sebagai berikut:
وأجمعوا على أنه اذا ولد على فراش رجل فادعاه آخر أنه لا يلحقه
Artinya: Para ulama bersepakat (Ijma’) atas anak yang lahir dari ibu dan ada suaminya, kemudian orang lain mengaku (menjadi ayahnya), maka tidak dinasabkan kepadanya.
وَاُولٰتُ الْاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّۗ
Artinya: Adapun perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya (QS ath-Thalaq: 4).
Peraturan perundangan di Indonesia menetapkan, apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan (Pasal 39 ayat (1.c) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).[6]
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia juga menetapkan, apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan (Pasal 153 ayat (2.c))[7]
Hukum dasar masa idah janda hamil adalah sampai melahirkan. Selama tidak ada hal lain yang mengecualikannya, maka hukum itulah yang berlaku. Hal ini sesuai dengan Kaidah Fiqh:
الَأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ مَا لَمْ يَكُنْ مَا يُغَيِّرُه [8]
Artinya: Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya.
Hal lain yang dapat mengubah atau
mempengaruhi hukum dasar ini misalnya janda tinggal mati yang dalam keadaan
hamil, apakah masa idahnya sampai melahirkan ataukah selama 4 bulan 10 hari. Di
kalangan ulama terjadi ikhtilaf.
Status Anak Zina Wanita Bersuami
Berdasarkan hadis dari Abdullah bin ‘Amru riwayat riwayat Abu Dawud dan Ijma’ Ulama yang juga dirujuk oleh Majelis Ulama Indonesia dalam fatwanya Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya, maka status anak hasil zina wanita bersuami ini adalah anak sah suami wanita bersuami yang berzina tersebut.
Nabi Muhammad SAW menegaskan:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ. (رواه لأبو داود)
“Anak adalah milik suami wanita (al-Firâsy) dan pezina mendapatkan kerugian.” (HR: Abu Daud)
Ijma’ Ulama:
كل ولد يولد على فراش لرجل لاحقا به على كل حال الا أنينفيه بلعان على حكم اللعان.
Artinya: Setiap anak yang terlahir dari ibu, dan ada suaminya, dinasabkan kepada ayahnya (suami ibunya), kecuali ia menafikan anak tersebut dengan li’an.
KUH Perdata memberikan batas waktu maksimal setelah perceraian bagi anak yang dilahirkan sebagai anak sah. Apabila lahirnya di bawah waktu maksimal itu maka anak tersebut sebagai anak sah.
Sebaliknya, lahirnya setelah batas waktu maksimal itu maka anak tersebut bukan sebagai anak sah. KUH Perdata menetapkan, Anak yang dilahirkan 300 (tiga ratus) hari setelah perkawinan dibubarkan adalah tidak sah (Pasal 255).[9]
Keabsahan anak zina ini pun memenuhi cakupan pengertian anak sah yang meliputi yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan,
anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah (pasal 42). Kompilasi Hukum Islam di Indonesia menegaskan,
anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan yang sah (Pasal 99a).[10]
KUH Perdata menerangkan, tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya (Pasal 250).[11]
Wali Nikah Anak Zina Wanita Bersuami
Berdasarkan uraian di atas, maka anak hasil zina seorang wanita bersuami adalah anak sah suami dari wanita bersuami yang berzina itu. Oleh karena anak zina tersebut sebagai anak sah, maka anak tersebut berhak mendapatkan hak-haknya sebagai anak sah.
Keabsahannya sebagai anak sah menjadikan keabsahannya sebagai anak bernasab pada ayah sahnya, yaitu suami dari ibunya yang melahirkan. Status hukum anak sah mengikuti status hukum ayah sahnya. Kaidah Fiqh menyatakan:
التَّابِعُ لَا يَفْرَدُ بِالْحُكْمِ[12]
Artinya: Pengikut itu tidak menyendiri di dalam hukum.
Dengan demikian, wali nikah anak hasil zina wanita bersuami adalah wali nasab, yaitu garis nasab suami dari wanita bersuami yang berzina itu.
Kriteria wali nasab ini masuk ke persyaratan wali nasab, yaitu laki-laki, Islam, baligh, dan berakal. Apabila satu wali nasab tidak memenuhi syarat, maka kewaliannya berpindah ke wali nasab berikutnya.
KESIMPULAN
Demikian, kajian hukum tentang status wanita bersuami berzina dan status anaknya. Semoga bermanfaat, Wallahu a’lam bish-shawab.
[1] Didiskusikan pada Pertemuan APRI Cabang Kabupaten Sleman pada Rabu, 30 Oktober 2024 di RM Iwak Kalen Jalan Mandungan Sidoagung, Godean,Sleman.
[2] Penghulu Ahli Madya Kantor Urusan Agama Prambanan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.
[3] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 20015), hlm 436. Baca juga: Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008), V: 48.
[4] Prof. R. Subekti, S.H. dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1992), hlm 57.
[5] Ijma’ Ulama ini juga dijadikan salah satu dasar hukum Majelis Ulama Indonesia dalam memberikan Fatwa Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya.
[6] Kementerian Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan (Jakarta: tnp, 2021), hlm 294.
[7] Kementerian Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: tnp, 2020), hlm 75.
[8] Prof. H.A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fiki: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah Praktis (Jakarta: Kencana Prenada Meddia Group, 2007), hlm. 49.
[9] Prof. R. Subekti, S.H. dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang…., hlm 54.
[10] Kompilasi Hukum Islam di Indonesia juga menetapkan, anak yang sah dapat dari hasil perbuatan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut (Pasal 99b).
[11] Prof. R. Subekti, S.H. dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang…., hlm 53.
[12] Ibid., hlm 93.
WALI NIKAH ANAK ANGKAT
ANALISIS KASUS WALI NIKAH ANAK ANGKAT ILEGAL[1]
Oleh: Eko Mardiono, S.Ag., MSI.[2]
A. LATARBELAKANG MASALAH
Di kalangan masyarakat, masih banyak terjadi pencatatan data kependudukan yang tidak sesuai dengan realitas yang sebenarnya.
Hal ini menjadi persoalan ketika pihak yang bersangkutan akan mencatatkan peristiwa hukumnya. Misalnya, mereka akan mencatatkan peristiwa perkawinan, baik di Kantor Urusan Agama maupun di Kantor Catatan Sipil Kabupaten/Kota.
Salah satu ketidaksesuaian data kependudukan tersebut adalah pencatatan nasab seorang anak. Banyak terjadi, anak orang lain atau anak lahir di luar perkawinan dicatatkan sebagai anak kandung sepasang suami istri.
Masalah penasaban seorang anak ini jika diklasifikasi ada dua macam persoalan. Pertama, anak orang lain yang dicatatkan sebagai anak kandung. Kedua, anak angkat yang sah menurut hukum, tetapi selalu dirahasiakan, sehingga anak yang bersangkutan tidak mengetahui ayah ibu kandungnya.
Akibatnya, semua urusan keperdataannya dilakukan atas dasar data-data formal tersebut, yaitu ayah ibu angkatnya, termasuk dalam persoalan pencatatan pelaksanaan akad nikah.[3]
Pelaksanaan akad nikah harus memenuhi syarat dan rukunnya. Salah satu rukun nikah adalah adanya wali nikah yang berhak, baik wali nikah nasab atau wali hakim. Wali nasab didasarkan pada garis laki-laki hubungan darah ayah kandungnya.
Penentuan wali nikah garis laki-laki ayah kandung ini menjadi persoalan ketika ada sepasang suami istri yang mengangkat anak secara ilegal yang menghilangkan nasab ayah kandungnya. Dalam akta kelahirannya dicatat sebagai anak kandung pasangan suami istri, padahal mereka bukanlah ayah ibu kandungnya.
B. RUMUSAN MASALAH
Dengan adanya kejadian pengangkatan anak secara ilegal, timbullah permasalahan bagi Penghulu dalam pelaksanaan akad nikah dan pencatatan pernikahannya, yaitu sebagai berikut:
- Bagaimana seharusnya penetapan Penghulu dalam menentukan wali nikah bagi anak perempuan yang diangkat secara ilegal?
- Bagaimana putusan Penghulu terhadap adanya perbedaan data antara data dalam akta kelahiran dan realitanya?
- Bagaimana Penghulu dalam mencatat nama binti, nama orang tua, dan wali nikah di akta nikah?
C. PENCATATAN DAN KEABSAHAN PERKAWINAN
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku.[4]
Berdasarkan ketentuan Undang-undang Perkawinan itu ada dua hal yang harus dipenuhi. Yaitu perkawinan harus sah menurut hukum agama dan harus dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku.
Sementara itu, hukum agama Islam menentukan bahwa suatu perkawinan harus dilaksanakan oleh wali nikah yang berhak. wali nasab adalah wali nikah menurut garis laki-laki dari ayah kandungnya.[5]
Di pihak lain, peraturan perundangan bidang perkawinan yang berlaku di Indonesia menentukan, data perkawinan didasarkan pada Kutipan Akta Kelahiran atau Surat Kenal Lahir calon mempelai.
Dalam hal tidak ada Akta Kelahiran atau Surat Kenal Lahir, maka dapat dipergunakan Surat Keterangan yang mengatakan umur dan asal usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa atau yang setingkat dengan itu.[6]
Jadi menurut peraturan perundangan di Indonesia, data orang tua atau wali nikah calon pengantin didasarkan pada akta kelahiran.
D. KETENTUAN ANAK ANGKAT
Ajaran Islam secara gamblang melarang merahasiakan asal-usul seorang anak. Allah SWT berfirman:
وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءكُمْ أَبْنَاءكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ﴿٤﴾
Artinya: “Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri); yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja; dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (Q.S. al-Ahzab (33): 4)
Selanjutnya Allah SWT menyatakan:
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً ﴿5﴾
Artinya: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu; dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) adalah apa yang disengaja oleh hatimu; dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. al-Ahzab (33): 5)
Rasulullah SAW pun bersabda:
ليس من رجل ادّعى الى غير أبيه وهو يعلم الّا كفر (رواه البخاري)
Artinya: “Tidak seorangpun yang menasabkan kepada bukan ayah yang sebenarnya padahal ia mengetahui melainkan ia telah kufur.” (HR Bukhari dari Abi Dzar).
Beliau juga bersabda:
من ادعي الى غير أبيه وهو يعلم أنه غير أبيه فالجنة عليه حرام (رواه البخارى)
Artinya: “Barangsiapa yang menasabkan kepada bukan ayahnya padahal ia mengetahui bahwa ia bukan ayah kandungnya, maka surga haram baginya.” (HR Bukhari dari Sa’ad bin Abi Waqash)
Menurut peraturan perundangan di Indonesia, Yang dimaksud dengan "pengangkatan anak" adalah perbuatan hukum untuk mengalihkan hak anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan..[7]
Menurut peraturan perundangan di Indonesia ini, pengangkatan anak disyaratkan, bahwa anak yang bersangkutan harus sudah memiliki akta kelahiran dari ayah dan/atau ibu kandungnya, yang apabila sudah diangkat berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan, maka akta kelahiran yang telah dimilikinya tersebut diberi catatan pinggir.[8]
Undang-undang Perlindungan Anak pun juga demikian. Pasal 40 ayat (1) dan (2) Undang-undang ini menegaskan bahwa orangtua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal-usulnya dan orangtua kandungnya dengan mempertimbangkan kesiapan anak yang bersangkutan.[9]
Kesiapan itu meliputi kesiapan psikologis dan psikososial, yang biasanya dicapai oleh anak ketika ia sudah mendekati usia 18 (delapan belas) tahun.[10]
E. WALI NIKAH ANAK ANGKAT ILEGAL
Hukum Islam dan peraturan perundangan di Indonesia secara jelas melarang pengangkatan anak yang menghilangkan hubungan darah dengan ayah dan/atau ibu kandungnya.
Namun, ada beberapa kejadian sepasang suami istri yang mengangkat anak dengan menghilangkan hubungan darah atau nasab dengan ayah dan/atau ibu kandungnya, sehingga tercatat dalam akta kelahirannya.
Anak yang diangkat secara ilegal tersebut bisa jadi dari pasangan suami istri yang menikah sah dan tercatat di Kantor Urusan Agama, dan bisa jadi pula dari pasangan lelaki perempuan yang tidak menikah sah dan tidak tercatat di instansi Pemerintah.
Selama ini, Penghulu berbeda-beda dalam menyikapi permasalahan tersebut. Paling tidak ada tiga model kebijakan yang dipilih oleh Penghulu, yaitu:[11]
1. Penghulu sama sekali tidak mempertimbangkan data-data kependudukan yang telah ada. Pernikahan dilaksanakan dan dicatat atas dasar realita yang sebenarnya.
Dalam hal ini, Penghulu hanya meminta agar data-data di formulir-formulir nikah/rujuk dibetulkan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Data-data yang ada di Model N1, N2, N4, N5, N6, dan N7 serta Model R1 yang dibuat oleh Pemerintah Desa/Kelurahan supaya dibetulkan.[12]
Solusi semacam ini masih menyisakan persoalan, yaitu timbulnya ketidakcocokan antardata kependudukan bagi anak yang bersangkutan. Kelak di kemudian hari, hal itu akan menimbulkan persoalan.
2. Penghulu mempertimbangkan sekaligus mencatat suatu peristiwa nikah/rujuk berdasarkan data-data kependudukan yang ada. Semuanya dicatat sesuai dengan data formal tersebut, termasuk data tentang wali nikah yang berhak.
Hanya saja, akad nikah/rujuknya dilaksanakan berdasarkan realita yang sebenarnya, yang dikenal dengan istilah wali nikah Syar’i.
Kebijakan ini pun mengakibatkan timbulnya perbedaan antara akta dan realita. Solusi seperti inipun juga menyisakan persoalan, bahwa pencatatan nikah/rujuknya secara yuridis dapat dibatalkan karena berbeda antara akta dan realita.[13]
3. Penghulu “menasabkan” anak sesuai dengan data formal kependudukan yang telah ada. Namun, dalam menetapkan wali nikahnya, PPN menentukan sekaligus mencatatnya berdasarkan data riil yang sebenarnya.
Kebijakan ini dapat mengakibatkan, orangtua sebagai “ayah nasab” berbeda dengan orangtua sebagai “ayah wali nikah”. Solusi ini juga mempunyai implikasi hukum yang cukup serius.
Jika kebetulan wali nikahnya adalah wali hakim, maka timbul pertanyaan bukankah secara yuridis formal calon pengantin perempuan tersebut mempunyai “ayah kandung” yang memenuhi syarat sebagai wali nikah (Islam, baligh, dan berakal) sebagaimana tertulis dalam data-data kependudukannya?
Kalaupun seandainya wali nikahnya adalah wali nasab, hal itu juga menimbulkan pertanyaan, bukankah dengan demikian anak perempuan tersebut mempunyai dua “ayah kandung”? Satu “ayah kandung” sebagaimana tertulis dalam data “binti”-nya, dan satu “ayah kandung” lagi sebagaimana tertera dalam data “wali nikah”-nya.
Persoalan ini perlu dicarikan solusi yang tepat dan diharapkan ada kesamaan solusi yang diambil oleh semua penghulu, sehingga ada keseragaman dan kepastian hukum. Berikut ini akan disampaikan beberapa solusi secara berjenjang.
Solusi pertama: Semua berkas persyaratan nikah dikembalikan dan diperintahkan untuk mengganti akta kelahiran yang sesuai dengan data yang sebenarnya. Solusi ini memang sesuai dengan peraturan perundangan,sehingga terjadi kesamaan semua data kependudukan.
Namun, sulit dilaksanakan karena penggantian data akta kelahiran di luar kewenangan Penghulu dan harus melalui sidang pengadilan. Sosio kultural masyarakat pun tidak menghendaki demikian. Justru data seperti itulah yang dikehendaki oleh mereka.
Solusi pertama ini menjadikan bahwa wali nikahnya adalah garis laki-laki ayah kandungnya sendiri karena akta kelahiran, KTP, dan Kartu Keluarga sudah diganti dengan data yang sebenarnya, sehingga semua datanya sama. Data Binti dan wali nikahnya pun dicatat yang sama.
Akad nikahnya pun dilaksanakan oleh wali nikah sesuai hasil pemeriksaan wali nikah. Namun, solusi pertama ini sulit dilaksanakan karena mengubah akta kelahiran yang harus melalui sidang pengadilan dan secara sosio kultural masyarakat tidak menghendaki demikian.
Solusi kedua: Semua data persyaratan pernikahan (Model N.1, N.2, N.4, N.5, dan N.6) dikembalikan ke Kelurahan/Desa untuk diganti dengan data yang sebenarnya, tanpa harus mengubah data dalam akta kelahiran.
Solusi kedua ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan data antara data Akta Nikah yang ada di Kantor Urusan Agama dan data Akta Kelahiran, KTP, dan Kartu Keluarga di Kelurahan/Desa.
Solusi kedua ini menerapkan Kaidah Fiqh:
اِذَا تَعَارَضَ الْمَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَارًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا[14]
Artinya: Apabila dua hal yang mafsadat bertentangan, maka perhatikanlah yang madharatnya lebih besar dengan melaksanakan yang madhararatnya lebih kecil.
Solusi kedua ini menjadikan wali nikahnya adalah garis laki-laki ayah kandungnya sendiri karena semua data dalam syarat pernikahannya sudah diganti sesuai dengan data yang sebenarnya.
Hanya saja, akan terjadi perbedaan data antara data dalam akta kelahiran, KTP, dan Kartu Keluarga dengan data dalam Akta Nikah di Kantor Urusan Agama. Akad nikahnya pun dilaksanakan oleh wali nikah sesuai hasil pemeriksaan wali nikah.
Adapun data binti dan wali nikahnya ditulis sama dan datanya pun sesuai dengan data yang sebenarnya. Hanya saja, tidak semua Kelurahan/Desa bersedia mengeluarkan data pernikahan yang tidak sama dengan akta kelahiran, KTP, dan Kartu Keluarga yang dimilikinya.
Solusi Ketiga: Data yang ada dalam akta kelahiran, KTP, dan Kartu Keluarga, serta syarat nikah ditulis apa adanya walaupun tidak sama dengan data sebenarnya. Binti, nama ayah dan nama ibunya dalam akta nikah ditulis seperti dalam akta kelahiran.
Adapun data wali nikahnya ditulis dengan data yang sebenarnya. Apabila anak angkat tersebut diangkat dari pasangan suami istri yang sah dan tercatat, maka ayah kandungnya yang sah itulah yang menjadi dan ditulis sebagai wali nikah.
Apabila anak angkat tersebut diangkat dari pasangan yang tidak sah dan tidak tercatat, maka wali nikahnya adalah wali hakim dan dicatat wali hakim. Akad nikahnya pun dilaksanakan sesuai dengan hasil pemeriksaan wali nikah itu.
Hasil pemeriksaan wali nikahnya ini pun dapat dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Wali Nikah sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan.[15]
Hanya saja persoalannya, sebab dan keterangan wali nikah bagi anak angkat yang seperti kasus ini tidak tercantum dalam aplikasi SIMKAH4 dan tidak ada kolom catatan yang cukup di lembar Akta Nikah.
Oleh karena itu, rekomendasi dari tulisan ini adalah dalam aplikasi Simkah4 supaya ada pilihan opsi sebab wali nikah lainnya yang dapat diisi secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan.
F. KESIMPULAN
Setelah dilakukan analisis sebagaimana dideskripsikan di atas, maka disimpulkan sebagai berikut.
Solusi yang proporsional dalam kasus wali nikah bagi anak angkat ilegal ini adalah solusi yang ketiga.
Yaitu data binti, data ayah dan ibunya dicatat sebagaimana data dalam akta kelahiran dan Kartu Keluarga. Sedangkan data wali nikahnya ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan oleh Penghulu.
Data wali nikah ini dicatat seperti hasil pemeriksaan wali nikah oleh Penghulu. Bisa jadi, wali nikahnya adalah ayah kandungnya, yaitu yang nikah sah dan tercatat di Kantor Urusan Agama.
Bisa jadi pula wali nikahnya adalah wali hakim, apabila anak yang bersangkutan adalah anak yang lahir di luar nikah sah walaupun binti dan nama orang tuanya dalam akta nikah tertulis nama ayah dan ibu angkatnya.
Supaya sebab dan keterangan wali nikah kasus anak angkat seperti kasus seperti ini terdokumentasikan dalam akta nikah, maka dalam menu pilihan sebab wali nikah dalam aplikasi Simkah ditambah sebab lainnya yang dapat diisi secara fleksibel, yaitu “Ayah dan ibu tertulis orang tua angkat, namun pengangkatan anaknya tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku”. Waallahu a'lam bish Shawab.
[1] Didiskusikan pada Pertemuan APRI (Asosiasi Penghulu Republik Indonesia) Cabang Sleman pada Rabu, 25 September 2024 di RM Bali nDeso Plaosan, Tlogoadi, Mlati, Sleman.
[2] Penghulu Ahli Madya Kantor Urusan Agama Prambanan Kabupaten Sleman.
[3] Klasifikasi ini dibuat berdasarkan pengalaman penulis selama bertugas sebagai Penghulu di Kantor Urusan Agama.
[4] Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[5] Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahibil al-Arba’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008), IV: 29)
[6] Pasal 6 ayat (2.a) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lihat juga pasal 4 ayat (1.b) Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan.
[7] Penjelasan pasal 47 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
[8] Pasal 87 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2008 tentang Pendaftaran dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
[9] Undang-undang Perlindungan Anak: UU RI No. 23 Th 2002, cet. ke-2 (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 16.
[10] Penjelasan pasal 40 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
[11] Konklusi ini dibuat berdasarkan pengamatan penulis di lapangan dan diskusi-diskusi non-formal dengan kolega sesama penghulu.
[12] Tidak semua Pemerintah Desa/Kelurahan bersedia memenuhi permintaan dari Penghulu ini. Pemerintah Desa/Kelurahan tersebut hanya mau membuatkan data kependudukan sesuai dengan data-data yang mereka miliki, yaitu berdasarkan Kartu Keluarga dan KTP.
[13] Tentang pembatalan nikah ini, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mengklasifikasikannya ke dalam dua kategori, yakni “batal demi hukum” karena pelanggaran terhadap larangan dan “dapat dibatalkan” karena pelanggaran terhadap syarat. Selengkapnya lihat M. Yahya Harahap, “Materi Kompilasi Hukum Islam” dalam Moh. Mahfud MD (ed.), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 1993), hal. 87.
[14] Prof. H.A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 168.
[15] Lampiran III Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor 473 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Percatatan Pernikahan.