Ambil Harta Benda Anak yang Tercampur dalam Harta Warisan Orang Tua
Oleh: Eko Mardiono
Ada seorang wanita datang ke Kantor Urusan Agama tempat saya bertugas Jumat, 09 Mei 2025. Berkonsultasi tentang bagian warisan ibunya dari neneknya. Ia menyampaikan:
“Ibunya, Pnm (inisial), membiayai ibunya, Mgn (inisial, nenek), membeli sebidang tanah sawah seluas 570 m2 dari 1.300 m2 dengan atas nama nenek, Mgn. Jual belinya hanya di bawah tangan (underhand). Namun, setelah berjalan beberapa tahun, tanah sawah tersebut dijual lagi oleh pemilik sertifikat ke orang lain (pihak ketiga). Sekarang ini nenek Mgn meninggal dunia.”
Pertanyaannya, “Bagaimana pembagian harta warisan tanah sawah atas nama nenek Mgn yang dulu membelinya memakai uang anak, Pnm? Bagaimana status tanah sawah itu yang telah dijual lagi oleh pemilik sertifikat ke pihak ketiga, padahal tanah sawah itu telah dibeli oleh nenek Mgn?”Dalam permasalahan ini terdapat 3 (tiga) persoalan. (1) Bagaimana status kepemilikan tanah sawah yang dibeli nenek Mgn? (2) Bagaimana pembagian warisan harta peninggalan nenek Mgn? (3) Bagaimana hak waris anak Pnm atas tanah sawah yang dibeli dengan atas nama nenek Mgn, tetapi memakai uang anak Pnm?
Status Kepemilikan Tanah Sawah
Sebelum membahas pembagian warisan harta peninggalan nenek Mgn, terlebih dahulu harus dibahas status kepemilikan tanah sawah tersebut.
Berdasarkan dokumen underhand (di bawah tangan) yang ada, memang telah terjadi jual beli antara pemilik sertifikat tanah dengan nenek Mgn. Namun beberapa tahun kemudian, tanpa sepengetahuan nenek Mgn, tanah sawah tersebut dijual lagi oleh pemilik sertifikat tanah ke pihak ketiga, juga secara underhand (di bawah tangan). Permasalahan ini pun perlu penyelesaian.
Mengingat tanah sawah tersebut sebelumnya telah dijual oleh pemilik sertifikat ke nenek Mgn, maka transaksi jual beli tanah sawah antara pemilik sertifikat dengan pihak ketiga tidak dapat dibenarkan, karena objek jual belinya sudah tidak lagi menjadi milik penjual.
Salah satu syarat jual beli, bahwa objek yang diperjualbelikan adalah hak milik penjual dan setelah dijual beralih menjadi hak milik pembeli.[1]
Jika demikian, bagaimana dengan hak kepemilikan pihak ketiga tersebut yang juga sudah membeli tanah sawah tersebut? Solusinya adalah dilakukan permusyawaratan di antara semua pihak.
Dalam permusyawaratan ini, pihak ketiga dapat diberi pilihan alternatif, yaitu membeli sisa tanah sawah yang masih ada dari luasan 1.300 m2, sesuai dengan keluasan tanah sawah yang ia beli.
Transaksi jual beli antar semua pihak ini pun harus diselesaikan sampai ke tahap pemecahan tanah sawah dan bersertifikat BPN (Badan Pertanahan Nasional) atas nama masing-masing pembeli dan atas nama penjual jika masih ada sisa.
Hanya saja persoalannya, tanah yang berstatus persawahan yang luasnya kurang dari 2 (dua) hektar tidak dapat dipecah.[2] Apabila tanah sawah tersebut akan dipecah sebab dijual sebagian, maka harus terlebih dahulu diubah menjadi berstatus tanah pekarangan.
Apabila telah diubah menjadi tanah pekarangan dan tanah yang dibeli nenek Mgn tersebut telah pula dipecah menjadi sertifikat atas nama nenek Mgn, maka tanah tersebut dapat dibagi mawaris.
Pembagian Waris Harta Peninggalan
Dalam pembagian harta warisan ada rukun-rukun yang harus dipenuhi. Yaitu: (1) Mauruts (harta yang ditinggalkan Mayit); (2) Muwarrits (orang yang meninggal dunia); (3) Warits (orang yang akan mewarisi harta peninggalan Muwarrits).[3]
Sebelum membagi harta peninggalan nenek Mgn, terlebih dahulu harus dilakukan 4 (empat) hal. Yaitu: (1) Menjumlah semua harta peninggalan nenek Mgn. (2) Memisahkan harta bersama dan harta bawaan. (3) Menentukan ahli waris-ahli waris yang berhak menerima. (4) Menghitung biaya pemakaman, pengobatan, hutang, dan wasiat jika ada.[4]
Ternyata setelah dihitung semua harta peninggalan dan setelah dikurangi setengah (separuh) harta bersama serta setelah dikurangi biaya pemakaman, pengobatan, hutang, dan wasiat jika ada, harta warisan nenek Mgn ditaksir sebesar Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).
Adapun ahli waris nenek Mgn yang ada beserta bagian-bagian warisannya adalah sebagai berikut:[5]
§ Ibu : 1/6 = Rp. 100.000.000,-
§ Suami : 1/4 = Rp. 150.000.000,-
§ Anak laki-laki 2 orang : Ashabah : Rp. 116.666.667,- x 2 = Rp. 233.333.334,-
§ Anak perempuan 2 orang : Ashabah Maal ghair : Rp. 58.333.333,- x 2 = Rp. 116.666.666,-
§ Saudara kandung laki-laki 3 orang : Rp. 0,- mahjub (terhalang) oleh anak laki-laki.
Namun, ternyata ada harta benda warisan nenek Mgn berupa tanah sawah seluas 570 m2, yang dibeli atas nama nenek Mgn, tetapi memakai uang anak Pnm, dan anak Pnm meminta tanah sawah tersebut sebagai hak miliknya di luar bagian dari harta warisan.
Dalam khazanah Ilmu Fiqh Waris, harta benda warisan yang terkait dengan hak orang lain disebut hak 'ainiyah atau dain 'ainy atau duyunul mumtazah atau duyunul muatstsaqah.[6]
Dalam kasus ini, pembagian tanah sawah tersebut tetap harus dibagi melalui pembagian harta warisan karena nenek Mgn sudah meninggal dunia. Berbeda apabila nenek Mgn masih hidup, maka dapat dibagi atau diberikan kepada anak Pnm dengan cara hibah.[7]
Dalam kasus ini, para ahli waris dapat melakukan musyawarah untuk bersepakat dalam pembagian harta warisan yang berupa tanah sawah tersebut.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia membolehkan para ahli waris bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya (Pasal 183).[8]
Dalam kasus ini, para ahli waris bersepakat, bahwa tanah sawah seluas 570 m2 menjadi hak milik anak pnm di luar penghitungan pembagian harta warisan dan bersepakat pula bahwa harga tanah tersebut Rp. 100.000,- setiap 1 (satu) meternya, sehingga nilainya sebesar Rp. 57.000.000,-
Dengan demikian, harta warisan nenek Mgn yang semula sebesar Rp. 600.000.000,- dikurangi Rp. 57.000.000,- sehingga menjadi = Rp. 543.000.000,- sehingga bagian warisan masing-masing ahli warisnya sebagai berikut:
§ Ibu : 1/6 = Rp. 90.500.000,-
§ Suami : 1/4 = Rp. 135.750.000,-
§ Anak laki-laki 2 orang : Ashabah : Rp. 105.583.333,- x 2 = Rp. 211.166.666,-,-
§ Anak perempuan 2 orang : Ashabah Maal ghair : Rp. 52.791.667,- x 2 = Rp. 105.583.334,-
§ Saudara kandung laki-laki 3 orang : Rp. 0,- mahjub (terhalang) oleh anak laki-laki.
§ Jumlah keseluruhan Rp. 543.000.000,-
Demikian jawaban dan analisis atas persoalan harta benda tanah sawah anak yang masuk dalam harta warisan orang tua, yang sudah dijual oleh pemilik sertifikat tanah ke pihak ketiga secara sepihak. Waallahu A’lam bish Shawab.
[1] Prof. R. Subekti, S.H., Aneka Perjanjian, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992) hlm. 1
[2] Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
[3] Drs. Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Al-Maarif, 1981), hlm 36.
[4] Kewajiban ahli waris terhadap pewaris diatur dalam Pasal 175 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Lihat: Drs. H.M. Anshary MK, S.H., M.H., Hukum Kewarisan Islam dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), hlm, 14.
[5] Besar bagian para ahli waris sebagaimana diatur dalam Pasal 176 s.d. 182 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
[6] Drs.
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Al-Maarif, 1981), hlm 37.
[7] Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang yang masih hidup untuk dimiliki (Pasal 171 (g) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
[8] Kementerian Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: tnp., 2020), hlm 95.