• Keputusan Revolusioner MK Status Anak di Luar Nikah

    Mahkamah Konstitusi membuat keputusan revolusioner bahwa anak yang lahir di luar perkawinan yang sah mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya guna melindungi hak-hak anak yang dilahirkan dan membebani tanggung jawab ayah biologis yang bersangkutan.

  • Revisi UU Perkawinan dan Perlindungan Hak Anak

    UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah direvisi dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 bahwa usia paling rendah seseorang dapat melangsungkan perkawinan adalah 19 (sembilan belas) tahun, baik bagi laki-laki ataupun perempuan.

  • Daftar Nikah di KUA Secara Online Pakai HP

    Sekarang ini calon pengantin dapat daftar nikah secara online pakai HP, kemudian datang ke KUA untuk validasi syarat nikah dan persetujuan waktu akad nikah.

  • Istithaah Kesehatan Jemaah Haji

    Syarat beribadah haji adalah Islam, baligh, berakal, dan istithaah. Syarat Istithaah juga meliputi istithaah menurut standar kesehatan sebagaimana Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2016 tentang Istithaah Kesehatan Jemaah Haji.

  • Materi Bimbingan Perkawinan bagi Calon Pengantin

    Setiap Calon Pengantin wajib mengikuti Bimbingan Perkawinan. Eko Mardiono sebagai Fasilitator Terbimtek menyusun materi berdasarkan Modul yang diterbitkan Kementerian Agama RI.

  • Upacara Hari Jadi Kabupaten Sleman

    Warga masyarakat Kabupaten Sleman memperingati Hari Jadi Kabupaten Sleman. Upacara Peringatannya dilaksanakan menurut adat budaya Jawa. Semua peraga upacara berpakaian dan berbahasa Jawa.

  • Pelaksanaan Akad Nikah Masa New Normal Covid-19

    Pada masa New Normal (Tatanan Normal Baru) Pandemi Covid-19 Korona, akad nikah dapat dilaksanakan di Balai Nikah KUA ataupun di luar Balai Nikah KUA Kecamatan dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi.

  • Public Hearing Standar Pelayanan Publik KUA

    UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mengamanatkan bahwa Instansi Pemerintah, termasuk KUA Kecamatan, sebagai penyedia layanan harus menetapkan Standar Pelayanan Publik.

  • Jadwal Akad Nikah KUA Prambanan Kab. Sleman

    Jadwal Akad Nikah dibuat secara periodik. Jam akad nikah adalah jam dimulainya acara ijab qabul oleh Penghulu.

  • Praktik Kerja Mahasiswa UIN SUKA di KUA

    Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta melaksanakan praktik kerja lapangan di Kantor Urusan Agama,supaya mahasiswa dapat mengelaborasikan antara teori dan praktik bidang hukum keluarga Islam.

WALI NIKAH ANAK ANGKAT

ANALISIS KASUS WALI NIKAH ANAK ANGKAT ILEGAL[1] 

Oleh: Eko Mardiono, S.Ag., MSI.[2]


A.  LATARBELAKANG MASALAH

Di kalangan masyarakat, masih banyak terjadi pencatatan data kependudukan yang tidak sesuai dengan realitas yang sebenarnya.

Hal ini menjadi persoalan ketika pihak yang bersangkutan akan mencatatkan peristiwa hukumnya. Misalnya, mereka akan mencatatkan peristiwa perkawinan, baik di Kantor Urusan Agama maupun di Kantor Catatan Sipil Kabupaten/Kota.

Salah satu ketidaksesuaian data kependudukan tersebut adalah pencatatan nasab seorang anak. Banyak terjadi, anak orang lain atau anak lahir di luar perkawinan dicatatkan sebagai anak kandung sepasang suami istri.

Masalah penasaban seorang anak ini jika diklasifikasi ada dua macam persoalan. Pertama, anak orang lain yang dicatatkan sebagai anak kandung. Kedua,  anak angkat yang sah menurut hukum, tetapi selalu dirahasiakan, sehingga anak yang bersangkutan tidak mengetahui ayah ibu kandungnya.

Akibatnya, semua urusan keperdataannya dilakukan atas dasar data-data formal tersebut, yaitu ayah ibu angkatnya, termasuk dalam persoalan pencatatan pelaksanaan akad nikah.[3]

Pelaksanaan akad nikah harus memenuhi syarat dan rukunnya. Salah satu rukun nikah adalah adanya wali nikah yang berhak, baik wali nikah nasab atau wali hakim. Wali nasab didasarkan pada garis laki-laki hubungan darah ayah kandungnya.

Penentuan wali nikah garis laki-laki ayah kandung ini menjadi persoalan ketika ada sepasang suami istri yang mengangkat anak secara ilegal yang menghilangkan nasab ayah kandungnya. Dalam akta kelahirannya dicatat sebagai anak kandung pasangan suami istri, padahal mereka bukanlah ayah ibu kandungnya.

 

B.  RUMUSAN MASALAH

Dengan adanya kejadian pengangkatan anak secara ilegal, timbullah permasalahan bagi Penghulu dalam pelaksanaan akad nikah dan pencatatan pernikahannya, yaitu sebagai berikut: 

  1. Bagaimana seharusnya penetapan Penghulu dalam menentukan wali nikah bagi anak perempuan yang diangkat secara ilegal?
  2. Bagaimana putusan Penghulu terhadap adanya perbedaan data antara data dalam akta kelahiran dan realitanya?
  3. Bagaimana Penghulu dalam mencatat  nama binti, nama orang tua, dan wali nikah di akta nikah?  

C.  PENCATATAN DAN KEABSAHAN PERKAWINAN

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku.[4] 

Berdasarkan ketentuan Undang-undang Perkawinan itu ada dua hal yang harus dipenuhi. Yaitu perkawinan harus sah menurut hukum agama dan harus dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku.

Sementara itu, hukum agama Islam menentukan bahwa suatu perkawinan harus dilaksanakan oleh wali nikah yang berhak. wali nasab adalah wali nikah menurut garis laki-laki dari ayah kandungnya.[5] 

Di pihak lain, peraturan perundangan bidang perkawinan yang berlaku di Indonesia menentukan, data perkawinan didasarkan pada Kutipan Akta Kelahiran atau Surat Kenal Lahir calon mempelai.

Dalam hal tidak ada Akta Kelahiran atau Surat Kenal Lahir, maka dapat dipergunakan Surat Keterangan yang mengatakan umur dan asal usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa atau yang setingkat dengan itu.[6] 

Jadi menurut peraturan perundangan di Indonesia, data orang tua atau wali nikah calon pengantin didasarkan pada akta kelahiran.

D.  KETENTUAN ANAK ANGKAT

Ajaran Islam secara gamblang melarang merahasiakan asal-usul seorang anak. Allah SWT berfirman:

وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءكُمْ أَبْنَاءكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ﴿٤﴾

Artinya: “Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri); yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja; dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (Q.S. al-Ahzab (33): 4)

 

Selanjutnya Allah SWT menyatakan:

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً ﴿5﴾

Artinya: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu; dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) adalah apa yang disengaja oleh hatimu; dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. al-Ahzab (33): 5)

Rasulullah SAW pun bersabda:

ليس من رجل ادّعى الى غير أبيه وهو يعلم الّا  كفر (رواه البخاري)

Artinya: “Tidak seorangpun yang menasabkan kepada bukan ayah yang sebenarnya padahal ia mengetahui melainkan ia telah kufur.” (HR Bukhari dari Abi Dzar).

 

Beliau juga bersabda:

من ادعي الى غير أبيه وهو يعلم أنه غير أبيه فالجنة عليه حرام (رواه البخارى)

Artinya: “Barangsiapa yang menasabkan kepada bukan ayahnya padahal ia mengetahui bahwa ia bukan ayah kandungnya, maka surga haram baginya.” (HR Bukhari dari Sa’ad bin Abi Waqash)

 

Menurut peraturan perundangan di Indonesia, Yang dimaksud dengan "pengangkatan anak" adalah perbuatan hukum untuk mengalihkan hak anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan..[7]

 

Menurut peraturan perundangan di Indonesia ini, pengangkatan  anak disyaratkan, bahwa anak yang bersangkutan harus sudah memiliki akta kelahiran dari ayah dan/atau ibu kandungnya, yang apabila sudah diangkat berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan, maka akta kelahiran yang telah dimilikinya tersebut diberi catatan pinggir.[8]

 

Undang-undang Perlindungan Anak pun juga demikian. Pasal 40 ayat (1) dan (2) Undang-undang ini menegaskan bahwa orangtua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal-usulnya dan orangtua kandungnya dengan mempertimbangkan kesiapan anak yang bersangkutan.[9] 

 

Kesiapan itu meliputi kesiapan psikologis dan psikososial, yang biasanya dicapai oleh anak ketika ia sudah mendekati usia 18 (delapan belas) tahun.[10]

E.  WALI NIKAH ANAK ANGKAT ILEGAL

Hukum Islam dan peraturan perundangan di Indonesia secara jelas melarang pengangkatan anak yang menghilangkan hubungan darah dengan ayah dan/atau ibu kandungnya.

Namun, ada beberapa kejadian sepasang suami istri yang mengangkat anak dengan menghilangkan hubungan darah atau nasab dengan ayah dan/atau ibu kandungnya, sehingga tercatat dalam akta kelahirannya.

Anak yang diangkat secara ilegal tersebut bisa jadi dari pasangan suami istri yang menikah sah dan tercatat di Kantor Urusan Agama, dan bisa jadi pula dari pasangan lelaki perempuan yang tidak menikah sah dan tidak tercatat di instansi Pemerintah.

Selama ini, Penghulu berbeda-beda dalam menyikapi permasalahan tersebut. Paling tidak ada tiga model kebijakan yang dipilih oleh Penghulu, yaitu:[11] 

 

1. Penghulu sama sekali tidak mempertimbangkan data-data kependudukan yang telah ada. Pernikahan dilaksanakan dan dicatat atas dasar realita yang sebenarnya.

    

    Dalam hal ini, Penghulu hanya meminta agar data-data di formulir-formulir nikah/rujuk dibetulkan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Data-data yang ada di Model N1, N2, N4, N5, N6, dan N7 serta Model R1 yang dibuat oleh Pemerintah Desa/Kelurahan supaya dibetulkan.[12] 

 

    Solusi semacam ini masih menyisakan persoalan, yaitu timbulnya ketidakcocokan antardata kependudukan bagi anak yang bersangkutan. Kelak di kemudian hari, hal itu akan menimbulkan persoalan.

 

2. Penghulu mempertimbangkan sekaligus mencatat suatu peristiwa nikah/rujuk berdasarkan data-data kependudukan yang ada. Semuanya dicatat sesuai dengan data formal tersebut, termasuk data tentang wali nikah yang berhak.

 

    Hanya saja, akad nikah/rujuknya dilaksanakan berdasarkan realita yang sebenarnya, yang dikenal dengan istilah wali nikah Syar’i.

 

    Kebijakan ini pun mengakibatkan timbulnya perbedaan antara akta dan realita. Solusi seperti inipun juga menyisakan persoalan, bahwa pencatatan nikah/rujuknya secara yuridis dapat dibatalkan karena berbeda antara akta dan realita.[13]

 

3. Penghulu “menasabkan” anak sesuai dengan data formal kependudukan yang telah ada. Namun, dalam menetapkan wali nikahnya, PPN menentukan sekaligus mencatatnya berdasarkan data riil yang sebenarnya.

     

    Kebijakan ini dapat mengakibatkan, orangtua sebagai “ayah nasab” berbeda dengan orangtua sebagai “ayah wali nikah”. Solusi ini juga mempunyai implikasi hukum yang cukup serius.

 

    Jika kebetulan wali nikahnya adalah wali hakim, maka timbul pertanyaan bukankah secara yuridis formal calon pengantin perempuan tersebut mempunyai “ayah kandung” yang memenuhi syarat sebagai wali nikah (Islam, baligh, dan berakal) sebagaimana tertulis dalam data-data kependudukannya?

 

    Kalaupun seandainya wali nikahnya adalah wali nasab, hal itu juga menimbulkan pertanyaan, bukankah dengan demikian anak perempuan tersebut mempunyai dua “ayah kandung”? Satu “ayah kandung” sebagaimana tertulis dalam data “binti”-nya, dan satu “ayah kandung” lagi sebagaimana tertera dalam data “wali nikah”-nya.

 

Persoalan ini perlu dicarikan solusi yang tepat dan diharapkan ada kesamaan solusi yang diambil oleh semua penghulu, sehingga ada keseragaman dan kepastian hukum. Berikut ini akan disampaikan beberapa solusi secara berjenjang.

 

Solusi pertama: Semua berkas persyaratan nikah dikembalikan dan diperintahkan untuk mengganti akta kelahiran yang sesuai dengan data yang sebenarnya. Solusi ini memang sesuai dengan peraturan perundangan,sehingga terjadi kesamaan semua data kependudukan.

 

Namun, sulit dilaksanakan karena penggantian data akta kelahiran di luar kewenangan Penghulu dan harus melalui sidang pengadilan. Sosio kultural masyarakat pun tidak menghendaki demikian. Justru data seperti itulah yang dikehendaki oleh mereka.

 

Solusi pertama ini menjadikan bahwa wali nikahnya adalah garis laki-laki ayah kandungnya sendiri karena akta kelahiran, KTP, dan Kartu Keluarga sudah diganti dengan data yang sebenarnya, sehingga semua datanya sama. Data Binti dan wali nikahnya pun dicatat yang sama.

 

Akad nikahnya pun dilaksanakan oleh wali nikah sesuai hasil pemeriksaan wali nikah. Namun, solusi pertama ini sulit dilaksanakan karena mengubah akta kelahiran yang harus melalui sidang pengadilan dan secara sosio kultural masyarakat tidak menghendaki demikian.

 

Solusi kedua: Semua data persyaratan pernikahan (Model N.1, N.2, N.4, N.5, dan N.6) dikembalikan ke Kelurahan/Desa untuk diganti dengan data yang sebenarnya, tanpa harus mengubah data dalam akta kelahiran.

 

Solusi kedua ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan data antara data Akta Nikah yang ada di Kantor Urusan Agama dan data Akta Kelahiran, KTP, dan Kartu Keluarga di Kelurahan/Desa.

 

Solusi kedua ini menerapkan Kaidah Fiqh:

 اِذَا تَعَارَضَ الْمَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَارًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا[14]

Artinya: Apabila dua hal yang mafsadat bertentangan, maka perhatikanlah yang madharatnya lebih besar dengan melaksanakan yang madhararatnya lebih kecil.

 

Solusi kedua ini menjadikan wali nikahnya adalah garis laki-laki ayah kandungnya sendiri karena semua data dalam syarat pernikahannya sudah diganti sesuai dengan data yang sebenarnya.

 

Hanya saja, akan terjadi perbedaan data antara data dalam akta kelahiran, KTP, dan Kartu Keluarga dengan data dalam Akta Nikah di Kantor Urusan Agama. Akad nikahnya pun dilaksanakan oleh wali nikah sesuai hasil pemeriksaan wali nikah.

 

Adapun data binti dan wali nikahnya ditulis sama dan datanya pun sesuai dengan data yang sebenarnya. Hanya saja, tidak semua Kelurahan/Desa bersedia mengeluarkan data pernikahan yang tidak sama dengan akta kelahiran, KTP, dan Kartu Keluarga yang dimilikinya.

 

Solusi Ketiga: Data yang ada dalam akta kelahiran, KTP, dan Kartu Keluarga, serta syarat nikah ditulis apa adanya walaupun tidak sama dengan data sebenarnya. Binti, nama ayah dan nama ibunya dalam akta nikah ditulis seperti dalam akta kelahiran.

 

Adapun data wali nikahnya ditulis dengan data yang sebenarnya. Apabila anak angkat tersebut diangkat dari pasangan suami istri yang sah dan tercatat, maka ayah kandungnya yang sah itulah yang menjadi dan ditulis sebagai wali nikah.

 

Apabila anak angkat tersebut diangkat dari pasangan yang tidak sah dan tidak tercatat, maka wali nikahnya adalah wali hakim dan dicatat wali hakim. Akad nikahnya pun dilaksanakan sesuai dengan hasil pemeriksaan wali nikah itu.

 

Hasil pemeriksaan wali nikahnya ini pun dapat dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Wali Nikah sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan.[15]

 

Hanya saja persoalannya, sebab dan keterangan wali nikah bagi anak angkat yang seperti kasus ini tidak tercantum dalam aplikasi SIMKAH4 dan tidak ada kolom catatan yang cukup di lembar Akta Nikah.

 

Oleh karena itu, rekomendasi dari tulisan ini adalah dalam aplikasi Simkah4 supaya ada pilihan opsi sebab wali nikah lainnya yang dapat diisi secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan.

 

F.  KESIMPULAN

Setelah dilakukan analisis sebagaimana dideskripsikan di atas, maka disimpulkan sebagai berikut.

Solusi yang proporsional dalam kasus wali nikah bagi anak angkat ilegal ini adalah solusi yang ketiga.

Yaitu data binti, data ayah dan ibunya dicatat sebagaimana data dalam akta kelahiran dan Kartu Keluarga. Sedangkan data wali nikahnya ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan oleh Penghulu.

Data wali nikah ini dicatat seperti hasil pemeriksaan wali nikah oleh Penghulu. Bisa jadi, wali nikahnya adalah ayah kandungnya, yaitu yang nikah sah dan tercatat di Kantor Urusan Agama.

Bisa jadi pula wali nikahnya adalah wali hakim, apabila anak yang bersangkutan adalah anak yang lahir di luar nikah sah walaupun binti dan nama orang tuanya dalam akta nikah tertulis nama ayah dan ibu angkatnya.

Supaya sebab dan keterangan wali nikah kasus anak angkat seperti kasus seperti ini terdokumentasikan dalam akta nikah, maka dalam menu pilihan sebab wali nikah dalam aplikasi Simkah ditambah sebab lainnya yang dapat diisi secara fleksibel, yaitu “Ayah dan ibu tertulis orang tua angkat, namun pengangkatan anaknya tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku”. Waallahu a'lam bish Shawab.



[1] Didiskusikan pada Pertemuan APRI (Asosiasi Penghulu Republik Indonesia) Cabang Sleman pada Rabu, 25 September 2024 di RM Bali nDeso Plaosan, Tlogoadi, Mlati, Sleman.

[2] Penghulu Ahli Madya Kantor Urusan Agama Prambanan Kabupaten Sleman.

[3] Klasifikasi ini dibuat berdasarkan pengalaman penulis selama bertugas sebagai Penghulu di Kantor Urusan Agama.

[4] Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

[5] Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala  al-Madzahibil al-Arba’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008), IV: 29)

[6] Pasal 6 ayat (2.a) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lihat juga pasal 4 ayat (1.b) Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan.

[7] Penjelasan pasal 47 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

[8] Pasal 87 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2008 tentang Pendaftaran dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

[9] Undang-undang Perlindungan Anak: UU RI No. 23 Th 2002, cet. ke-2 (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 16.

[10] Penjelasan pasal 40 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

[11] Konklusi ini dibuat berdasarkan pengamatan penulis di lapangan dan diskusi-diskusi non-formal dengan kolega sesama penghulu.

[12] Tidak semua Pemerintah Desa/Kelurahan bersedia memenuhi permintaan dari Penghulu ini. Pemerintah Desa/Kelurahan tersebut hanya mau membuatkan data kependudukan sesuai dengan data-data yang mereka miliki, yaitu berdasarkan Kartu Keluarga dan KTP.

[13] Tentang pembatalan nikah ini, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mengklasifikasikannya ke dalam dua kategori, yakni “batal demi hukum” karena pelanggaran terhadap larangan dan “dapat dibatalkan” karena pelanggaran terhadap syarat. Selengkapnya lihat M. Yahya Harahap, “Materi Kompilasi Hukum Islam” dalam Moh. Mahfud MD (ed.), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 1993), hal. 87.

[14] Prof. H.A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 168.

[15] Lampiran III Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor 473 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Percatatan Pernikahan.

Share:

PASANGAN HIDUP

Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). (QS. an-Nur: 26)

Maka, jadilah yang baik, kamu pun mendapatkan yang baik.

PENGHULU

Kedudukan Penghulu
Penghulu berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional di bidang kepenghuluan pada Kementerian Agama.
Tugas Penghulu
Penghulu bertugas melaksanakan kegiatan pelayanan dan bimbingan nikah atau rujuk, pengembangan kepenghuluan, dan bimbingan masyarakat Islam.

SUKSES PENGHULU

Raih Angka Kredit Penghulu: Putuskan apa yang diinginkan, tulis rencana kegiatan, laksanakan secara berkesinambungan, maka engkau pun jadi penghulu harapan.

Categories

Followers

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *