Oleh: Eko Mardiono
Sampai saat
ini penyebaran virus Covid-19 Korona di Indonesia belum menunjukkan penurunan.
Penyebarannya justru menunjukkan peningkatan.
Pada update 13 September 2020 pukul 12:00 WIB jumlah terpapar Covid-19 di Indonesia
terkonfirmasi sebanyak 218.382, sembuh sebanyak 155.010, dan meninggal dunia
sebanyak 8.723 orang. Tersebar di 34 provinsi, di 490
kabupaten/kota (Sumber: https://covid19.go.id/)
Di Daerah Istimewa Yogyakarta update 13 September 2020
pukul 16:00 WIB, jumlah terpapar Covid-19 suspek sebanyak 11.933, konfirm 1.836, sembuh 1.332, dan
meninggal dunia konfirm 52 orang (sumber: https://corona.jogjaprov.go.id/).
Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta pun mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 77 Tahun 2020
tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Sebagai Upaya
Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019.
Bupati
Sleman juga mengeluarkan Peraturan Bupati Sleman Nomor 37.1 Tahun 2020 tentang
hal yang sama.
Menurut Peraturan Bupati Sleman Nomor 37.1 Tahun 2020, “Perorangan
yang berasal dari luar wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (dibuktikan dengan
Kartu Tanda Penduduk) yang akan masuk dan/atau telah masuk dalam wilayah
Kabupaten Sleman diwajibkan memiliki hasil Tes PCR dengan hasil negatif
yang masih berlaku atau Rapid Diagnostic Test (RDT) COVID-19 dengan hasil non
reaktif yang masih berlaku, atau melakukan karantina mandiri selama 14
(empat belas) hari sejak tanggal kedatangan di Kabupaten Sleman.” (Pasal 5
ayat 2.f).
Jadi menurut Peraturan Bupati Sleman ini, setiap orang yang datang
dari luar Daerah Istimewa Yogyakarta yang masuk ke wilayah Kabupaten
Sleman wajib melakukan tes PCR yang hasilnya negatif, atau melakukan tes RDT
yang hasilnya non reaktif, atau melakukan karantina mandiri selama 14 (empat
belas) hari sejak kedatangannya.
Sekarang pertanyaannya, wajibkah calon pengantin atau wali nikah yang
berasal dari luar Daerah Istimewa Yogyakarta yang akan melangsungkan pernikahan
di wilayah Kabupaten Sleman melakukan tes PCR yang hasilnya negatif, atau
melakukan tes RDT yang hasilnya non reaktif, atau melakukan karantina mandiri
selama 14 (empat belas) hari?
Pertanyaan
ini mengemuka karena cukup banyak orang dari luar Daerah Istimewa Yogyakarta
yang akan melangsungkan pernikahan di wilayah Kabupaten Sleman.
Di
antaranya di KUA Kecamatan tempat saya bertugas, ada permohonan pelaksanaan akad
nikah yang wali nikahnya berasal dari luar Daerah Istimewa Yogyakarta.
Wali nikah
tersebut setelah sampai di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta memang melakukan
karantina mandiri untuk selama 14 (empat belas) hari di suatu tempat tertentu.
Namun
permasalahannya, rencana akad nikahnya akan dilangsungkan pada saat wali nikah yang bersangkutan belum selesai
menjalani karantina mandiri 14 (empat belas) hari.
Kemudian dengan dukungan Gugus Tugas Pengendalian Penyebaran
Covid-19 setempat, warga masyarakat setempat tidak mengizinkan wali nikah yang bersangkutan memasuki lokasi tempat
akad nikah akan dilangsungkan.
Wali nikah
tersebut diarahkan untuk melakukan Tes PCR (Test–Polymerase
Chain Reaction) atau melakukan RDT (Rapid Diagnostic Test)
COVID-19, namun wali nikah yang bersangkutan tidak bersedia dengan berbagai
alasan.
Wali nikah
tersebut justru akan datang ke KUA Kecamatan untuk mewakilkan kepada penghulu
guna mewakili menikahkan anak perempuannya.
Penghulu KUA Kecamatan pun dalam posisi yang dilematis.
Satu sisi apabila
permohonan taukil wali nikah itu ditolak, bukankah wali nikah yang bersangkutan telah
datang ke KUA Kecamatan dan berkehendak mewakilkan hak kewaliannya kepada
penghulu?
Padahal,
menurut protokol kesehatan aman Covid-19 yang berlaku di KUA Kecamatan saat
ini, para calon pengantin dan wali nikah beserta saksi nikah yang akan
melangsungkan pernikahan di KUA Kecamatan hanya diharuskan pakai masker dan sarung
tangan, cuci tangan pakai sabun dengan air yang mengalir, jaga jarak, tidak
berkerumun, dan suhu tubuhnya tidak di atas 37,3⁰C.
Sementara
itu, di sisi lain apabila permohonan taukil wali nikah kepada penghulu yang
akan diikrarkan di KUA Kecamatan diterima, bukankah hal itu berarti penghulu
KUA Kecamatan membiarkan dan membenarkan wali nikah yang bersangkutan melanggar ketentuan
karantina selama 14 (empat belas) hari yang semestinya tidak boleh keluar dari tempat
karantina.
Lantas,
bagaimana seharusnya Standar Operasional Prosedur (SOP) KUA Kecamatan dalam
melayani masyarakat pada masa Pandemi Covid-19 Korona setelah keluar Peraturan
Gubernur Nomor 77 Tahun 2020 dan Peraturan Bupati Sleman Nomor 37.1 Tahun 2020?
Apakah KUA
Kecamatan harus mewajibkan para calon pengantin dan wali nikah yang berasal
dari luar DIY memiliki hasil Tes PCR dengan hasil negatif yang masih berlaku
atau Rapid Diagnostic Test (RDT) COVID-19 dengan hasil non reaktif yang masih
berlaku, atau melakukan karantina mandiri selama 14 (empat belas) hari
sejak tanggal kedatangannya.
Memang
dalam hal ini penghulu KUA Kecamatan harus hati-hati dan waspada karena sudah
ada beberapa pegawai KUA Kecamatan dan masyarakat dalam acara perkawinan di Daerah Istimewa Yogyakarta yang terpapar
virus Covid-19 Korona.
Misalnya di KUA Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta dan di wilayah kerja
KUA Kecamatan Paliyan Kabupaten Gunungkidul.
Menurut
pendapat saya, semua calon pengantin, wali nikah, dan saksi nikah yang berasal
dari luar Daerah Istimewa Yogyakarta harus melaksanakan ketentuan protokol
kesehatan sebagaimana ditentukan oleh Peraturan Gubernur DIY Nomor 77 Tahun 2020 dan Peraturan
Bupati Sleman Nomor 37.1 Tahun 2020.
Calon
pengantin dan wali nikah yang berasal dari luar Daerah Istimewa Yogyakarta
harus memiliki hasil Tes PCR dengan hasil negatif yang masih berlaku atau Rapid
Diagnostic Test (RDT) COVID-19 dengan hasil non reaktif.
Keharusan
memiliki hasil tes PCR atau RDT ini sejak awal disampaikan oleh Penghulu dan disanggupi
oleh calon pengantin dan wali nikah pada saat pendaftaran kehendak nikah di KUA
Kecamatan.
Apabila ternyata calon pengantin dan wali nikahnya tidak memiliki
hasil tes PCR atau RDT termaksud, maka pelaksanaan akad nikahnya ditunda sampai
pada waktu tertentu. Calon pengantin dan wali nikah yang bersangkutan harus menjalani karantina
selama 14 (empat belas) hari terlebih dahulu.
Menurut hemat saya, Standar
Operasional Prosedur (SOP) Pelayanan KUA Kecamatan pada masa Pandemi
Covid-19 Korona sekarang ini harus ditetapkan kembali karena beberapa alasan. Di antaranya karena alasan-alasan berikut ini.
Pertama: Pasal 5 ayat 2.f
Peraturan Bupati Sleman Nomor 37.1 Tahun 2020 secara tegas telah menentukan, setiap orang yang datang dari luar Daerah Istimewa Yogyakarta harus memiliki
hasil Tes PCR dengan hasil negatif yang masih berlaku atau Rapid Diagnostic
Test (RDT) COVID-19 dengan hasil non reaktif, atau menjalani karantina 14
(empat belas) hari sejak kedatangannya.
Ketentuan
pasal 5 ayat 2.f tersebut di atas tentunya juga berlaku bagi para calon pengantin dan wali
nikah yang berasal dari luar DIY yang akan melangsungkan pernikahan di wilayah
Kabupaten Sleman.
Kedua: Pasal 6 ayat (1) Peraturan Bupati
Sleman Nomor 37.1 Tahun 2020 juga menentukan, bahwa setiap pelaku usaha,
pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat dan fasilitas umum di
Daerah wajib melakukan dan mematuhi protokol kesehatan bagi masyarakat dalam
pencegahan dan pengendalian COVID-19 di lingkungannya.
Pasal 6 ayat (2) Peraturan Bupati Sleman ini pun menjelaskan bahwa
fasilitas umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2) meliputi juga
perkantoran/tempat kerja.
Kemudian pasal 4 ayat (b.6) Pergub.
DIY Nomor 77 Tahun 2020 juga menentukan, penyelenggara fasiltas umum termasuk
perkantoran wajib melaksanakan penegakan kedisiplinan pada perilaku masyarakat
yang berisiko dalam penularan dan tertularnya Covid-19.
Dengan demikian, KUA Kecamatan sebagai
sebuah perkantoran tentunya juga berkewajiban dalam penegakan kedisiplinan
perilaku masyarakat yang berisiko dalam penularan dan tertularnya Covid-19.
Penghulu KUA Kecamatan pun berkewajiban
menegakkan kedisiplinan perilaku yang beresiko dalam penularan dan tertularnya
Covid-19 bagi para calon pengantin dan wali nikah di lingkungan perkantorannya.
Ketiga: KUA Kecamatan
ditugaskan oleh Kementerian Agama untuk mengatur hal-hal yang berhubungan
dengan petugas, calon pengantin, waktu dan tempat pernikahan agar pelaksanaan
akad nikah dan protokol kesehatan dapat berjalan dengan sebaik-baiknya.
Selain itu, KUA Kecamatan juga diperintahkan untuk berkoordinasi dan
bekerja sama dengan pihak terkait dan/atau aparat keamanan untuk pengendalian
pelaksanaan pelayanan akad nikah, sehingga akad nikah terlaksana sesuai dengan protokol kesehatan
yang ketat.
Keempat: Peraturan Gubenur
DIY Nomor 77 Tahun 2020 dan Peraturan Bupati Sleman Nomor 37.1 Tahun 2020
sejatinya merupakan ketentuan Ulil Amri yang harus dipatuhi dan
dilaksanakan oleh semua pihak sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.
Ajaran Islam pun memerintahkan supaya umat Islam mentaati Ulil Amri
sebagaimana firman Allah SWT:
يَٰأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي
ٱلأَمرِ مِنكُم
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu (QS an-Nisa’: 59).
Menurut para ahli tafsir, yang dimaksud Ulil Amri
dalam ayat ini adalah Ahlul Halli wal Aqdi. Kalau pada era sekarang ini lembaga legislatif dan
lembaga eksekutif. Dalam hal ini Pemerintahan Republik Indonesia dengan semua
jajarannya.
Kelima:
Peraturan-peraturan Pemerintah (Ulil Amri) ditetapkan sejatinya adalah untuk
kemaslahatan bagi warga negaranya sebagaimana kaidah fiqh:
تَصَرُّفُ الْاِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْحَلَةِ
Artinya: Kebijakan pemimpin (Pemerintah) adalah demi
kemaslahatan rakyat (umat).
Keenam: Syariat Islam
diturunkan ke muka bumi adalah untuk melindungi lima hal, yaitu untuk melindungi
agama, nyawa, akal, harta, dan keturunan (nasab). Jadi, salah satu tujuan
Syariat Islam adalah untuk melindungi
keselamatan nyawa.
Jika perintah Syariat Islam bertujuan untuk melindungi keselamatan jiwa,
maka Syariat Islam pun juga memerintahkan untuk melaksanakan sarana melindungi keselamatan jiwa itu sebagaimana Kaidah Fiqh:
مَا
لَا يَتِمُّ الْوَجِبُ اِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Artinya: Apabila suatu kewajiban tidak dapat dilaksanakan
kecuali dengan dilaksanakan sesuatu tertentu, maka sesuatu tertentu itu hukumnya juga wajib dilaksanakan.
Selain itu, kaidah fiqh juga menyatakan:
لِلْوَسَائِلِ
أَحْكَمُ الْمَقَاصِدِ
Artinya: Hukum bagi wasilah (sarana) adalah sama dengan
hukum asal.
Nah, berdasarkan peraturan, dasar hukum, dan argumen-argumen
di atas, maka menurut pendapat saya dapat disimpulkan bahwa calon suami, calon istri, dan wali nikah dari
luar Daerah yang akan melangsungkan pernikahan di wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta wajib memiliki hasil Tes PCR dengan hasil negatif yang masih
berlaku, atau Rapid Diagnostic Test (RDT) COVID-19 dengan hasil non reaktif
yang masih berlaku.
Apabila tidak memiliki hasil tes PCR atau RDT sebagaimana yang disyaratkan, mereka harus
melakukan karantina mandiri selama 14 (empat belas) hari sejak tanggal
kedatangan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kemudian apabila belum habis masa
karantinanya, maka pelaksanaan akad nikahnya ditunda sampai habis masa karantinanya.
Apabila tidak menghendaki rencana pernikahannya tertunda karena belum selesai masa karantinanya, maka calon suami, calon istri, dan wali nikah datang lebih awal masuk ke wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Menurut hemat saya, ketentuan-ketentuan di atas kiranya dapat ditetapkan
sebagai SOP (Standar Operasional Prosedur) KUA Kecamatan dalam memberikan
layanan pernikahan pada masa Pandemi Covid-19 Korona sekarang ini setelah terbitnya Peraturan Gubernur DIY Nomor 77 Tahun 2020 dan Peraturan Bupati Sleman Nomor 37.1 Tahun 2020.
Demikian semoga bermanfaat. Wallahu a’lam
bish shawab.
Mantaaaab P. Eko. sehat selalu
BalasHapusTermakasih pak Suhadi.
HapusAmiin, terimakasih. Semoga kita semua senantiasa sehat dan barakah.
BalasHapus