EKSISTENSI
UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
DALAM KASUS SYEKH PUJI
Oleh: Eko Mardiono
DALAM KASUS SYEKH PUJI
Oleh: Eko Mardiono
Berita bebasnya Pujiono Cahyo Widianto alias syekh Puji mencengangkan publik. Sebagaimana diwartakan, dengan putusan sela nomor 233/Pid.B/2009/PN.Ung., majlis hakim Pengadilan Negeri (PN) Ungaran menyatakan, dakwaan atas kasus pernikahan di bawah umur yang dilakukan syekh Puji terhadap Luthfiana Ulfa adalah batal demi hukum.
Dakwaan
jaksa penuntut umum (JPU) dinilai tidak memenuhi sebagian yang telah ditentukan
dalam pasal 143, ayat 2 huruf B KUHP. Dikatakannya, surat dakwaan yang pada
prinsipnya mengenai persetubuhan tidak cermat, kabur, dan kurang lengkap.
Tentu
saja, putusan sela PN Ungaran ini mengundang perlawanan keras para pembela
hak-hak anak.
Putusan
sela tersebut dinilai menjadi preseden buruk bagi dunia anak Indonesia. Ia
dianggap dapat menimbulkan opini negatif bahwa pernikahan di bawah umur adalah
hal yang lumrah.
Padahal
Ulfa adalah salah satu dari 700 ribu atau 34,5 persen dari perkawinan anak di
Indonesia. Atas putusan sela ini, para pejuang perlindungan anak pun melakukan
upaya hukum banding.
Mereka
melakukan advokasi dan konsolidasi guna membuktikan bahwa syekh Puji memang
telah melakukan persetubuhan, eksploitasi seksual, dan pencabulan terhadap anak
di bawah umur.
Persoalannya
sekarang adalah bagaimanakah kemungkinan keberhasilan pembuktian bahwa syekh
Puji telah melakukan tindak pidana seperti yang telah didakwakan kepadanya?
Untuk
menjawab persoalan ini, ada dua hal yang dapat dikemukakan. Pertama, majlis
hakim yang menyidangkan kasus syekh puji dituntut agar lebih peka dan lebih
memiliki perspektif perlindungan anak serta mempertimbangkan rasa keadilan
masyarakat.
Hanya
saja permasalahannya, dapatkah majlis hakim memutuskan suatu perkara tanpa
didukung oleh alat bukti yang cukup?
Di
sinilah arti pentingnya usaha keras JPU dan para pembela hak-hak anak. Mereka
menjadi tumpuan semua harapan. Walaupun dalam mengumpulkan alat bukti di
lapangan, mereka dikhawatirkan akan menemui banyak kendala.
Penilaian
ini mengemuka karena perbuatan persetubuhan, eksploitasi seksual, dan
pencabulan terhadap (anak) perempuan yang didakwakan itu pasti dilakukan di
tempat yang tidak terbuka, sehingga tidak mudah mengumpulkan alat buktinya.
Apalagi,
yang diancam pidana di sini adalah yang dilakukan atas dasar kekerasan,
penganiayaan, dan bujuk rayu. Kalau demikian, apakah berarti ia akan terbebas
dari jeratan hukum?
Memang,
jika menjerat hukum syekh Puji dengan menggunakan langsung Undang-undang Nomor
23/2002 tentang Perlindungan Anak dan/atau Undang-undang Nomor 23/2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, maka dikhawatirkan demikianlah yang
akan terjadi.
Namun,
sekali lagi, semuanya akan berpulang kepada usaha keras dan profesionalitas
JPU.
Yang
menarik untuk dicatat, dalam memperkarakan kasus pernikahan di bawah umur ini,
JPU sedikitpun tidak mengkaitkannya dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang
Perkawinan.
Sebetulnya jika Undang-undang Nomor 23/2002 dan 23/2004 tidak berhasil menjerat
tindak pidana yang dilakukan oleh syekh Puji, maka Undang-undang Perkawinan
kiranya sangatlah tepat untuk diterapkan sebagai alternatif berikutnya.
Selama
ini Undang-undang Perkawinan tidak mendapatkan porsi perhatian yang memadahi.
Padahal sebenarnya setelah syekh Puji terbukti melanggar Undang-undang
Perkawinan, maka ia dapat dikenai sanksi pidana yang cukup signifikan.
Logika
hukumnya adalah, pelanggaran syekh Puji terhadap Undang-undang Perkawinan akan
mengakibatkan hilangnya kesempatan tumbuh-kembang dan masadepan anak.
Padahal,
hal krusial inilah yang sangat dilindungi oleh Undang-undang Nomor 23/2002 dan
Undang-undang Nomor 23/2004.
Sehingga
dengan demikian, walaupun pada awalnya dijerat dengan Undang-undang Perkawinan
tetapi pada akhirnya syekh Puji dapat dikenai sanksi pidana kedua Undang-undang
yang disebut terakhir ini.
Ada tiga
ketentuan Undang-undang Perkawinan yang dilanggar oleh syekh Puji ketika ia melakukan
pernikahan sirri ini.
Pertama, ia
melangsungkan perkawinan dengan anak di bawah umur tanpa izin Pengadilan Agama
(pasal 7 (1) dan (2).
Kedua, ia
melakukan pernikahan poligami juga tanpa izin Pengadilan Agama (pasal 4 (1).
Ketiga, ia tidak melaksanakan dan mencatatkan pernikahannya kepada Pegawai
Pencatat Nikah (pasal 2 (2).
Undang-undang
Perkawinan ini pun dalam Penjelasannya secara eksplisit menegaskan bahwa calon
suami dan isteri harus telah masak jiwa raganya supaya dapat mewujudkan tujuan
perkawinan dan dapat menjaga kesehatan suami isteri dan keturunannya.
Adalah
tidak sulit membuktikan bahwa syekh Puji telah melangsungkan pernikahan sirri.
Banyak media massa yang telah meliputnya. Dia sendiri secara terbuka juga sudah
mengakuinya.
Nah,
ketika kasus itu telah terbukti, maka ia langsung dapat dijerat hukum pidana.
Memang, sanksi pidananya dalam Undang-undang Perkawinan sangat ringan, yaitu
hanya Rp. 7.500,00 (pasal 45 PP Nomor 7/1975).
Namun
sejatinya sanksi itu dapat ditafsirkan secara historis. Yakni, menafsirkan
hukum dengan cara melacak sejarah hukumnya dan sejarah Undang-undang-nya.
Sejarah
hukum yang diselidiki adalah maksud hukum berdasarkan sejarah terjadinya hukum
tersebut. Sejarah Undang-undang-nya yang diselidiki ialah maksud pembentuk
Undang-undang pada waktu membentuk Undang-undang itu.
Semua
sudah mafhum, latarbelakang dan tujuan utama diundangkannya Undang-undang
Perkawinan adalah dalam rangka melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak di
bawah umur.
Oleh
karena itu, berdasarkan amanat sejarah tersebut, ketentuan tentang sanksi
pidana dalam Undang-undang Perkawinan dapat ditafsirkan secara historis.
Undang-undang
Nomor 23/2002 dan Undang-undang Nomor 23/2004 ini pun sebetulnya mempunyai satu
misi dengan Undang-undang Perkawinan.
Oleh
karena itu, pelanggaran terhadap ketiga ketentuan Undang-undang Perkawinan
secara otomatis akan berakibat pula pada pelanggaran ketentuan kedua
Undang-undang termaksud.
Dengan
dmikian, syekh Puji akan tetap dapat dijerat hukum dalam kasus pernikahan di
bawah umur.
Alternatif
terakhirnya adalah dengan cara menjadikan Undang-undang Perkawinan sebagai
pintu masuk untuk membuktikan bahwa ia telah melakukan tindak pidana, yaitu
pernikahan sirri.
Suatu
tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya masadepan anak yang sangat
dilindungi oleh Undang-undang Nomor 23/2002 dan Undang-undang Nomor 23/2004.
Oleh
karenanya, majelis
hakim yang menyidangkan kasus pernikahan di bawah umur ini dapat menafsirkannya
secara historis dan kemudian menyelaraskannya dengan sanksi pidana dalam
Undang-undang Nomor 23/2002 dan Undang-undang Nomor 23/2004. Syekh Puji pun bisa diberikan hukuman yang
setimpal.
Demikian upaya pemetaan eksistensi Undang-undang
Perkawinan dalam pernikahan sirri yang dilakukan oleh syekh Puji. Semoga
bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan memberikan komentar di kolom ini. Atas masukan dan kritik konstruktifnya, saya ucapkan banyak terimakasih