AKUNTABILITAS
WAKAF TUNAI
Oleh:
Eko Mardiono
Majlis Ulama Indonesia (MUI) Daerah Istimewa Yogyakarta telah mendirikan Badan Wakaf Uang Tunai (BWUT) yang berkantor di bank BPD DIY Syariah Jalan Cik Ditiro 34 Yogyakarta.
Harapan
Dewan Pelaksana Badan tersebut, dana wakaf tunai bisa digunakan untuk
mengembangkan Usaha Kecil dan Menengah yang selama ini sulit mengakses dana
perbankan. Bila sudah berkembang, begitu harapan selanjutnya, hasil dana
wakafnya nanti dapat dipakai untuk membantu beaya pendidikan dan kesehatan
masyarakat. Namun, dana wakaf uang tunai yang berhasil dihimpun baru mencapai
Rp. 25,6 juta (KR, 28/04/2009).
Memang, sampai saat ini istilah wakaf tunai belum begitu familiar di kalangan publik. Padahal sebenarnya peraturan tentang wakaf tunai telah ditetapkan lima tahun yang lalu, bersamaan dengan diundangkannya UU No. 41/2004 tentang Wakaf. PP No. 42/2006 pun telah dikeluarkan sebagai peraturan pelaksanaannya.
Akan
tetapi, mengapa gaungnya tidak begitu terdengar di kalangan umat? Apakah hal
itu dikarenakan kurang adanya sosialisasi?, apakah disebabkan opini masyarakat
secara syar’iy memang belum bisa menerima keabsahan wakaf tunai?, ataukah
lantaran keraguan mereka terhadap sistem pengelolaan wakaf tunai itu sendiri?
Dewasa
ini, khususnya di Indonesia, wakaf tinggal berfungsi sebagai modal penyangga
iman dan pemelihara tradisi dan budaya keagamaan kaum muslim. Peruntukan wakaf
berkisar antara masjid, madrasah dan pekuburan.
Tidak
biasa terdengar wakaf untuk pemeliharaan kesehatan masyarakat miskin, wakaf
untuk sarana seni, budaya dan olahraga, atau yang sangat urgen, wakaf untuk
riset dan pengembangan sains dan teknologi.
Padahal
sebenarnya lembaga wakaf ini telah dilaksanakan kaum Muslim Indonesia sejak
datangnya Islam di Nusantara.
Wakaf (waqf) menurut bahasa berarti habs (menahan). Sedangkan menurut Syara’ ialah menahan asalnya dan menyalurkan hasilnya, yaitu menahan hartanya dan memberdayakan manfaatnya di jalan Allah.
Wakaf
tunai dalam bahasa Inggris biasa diterjemahkan dengan cash waqf. Memang,
kalau menilik objek wakafnya, yaitu uang, maka lebih tepat kiranya jika cash
waqf diterjemahkan dengan wakaf uang.
Adapun
yang dimaksud wakaf tunai atau wakaf uang di sini adalah wakaf yang dilakukan
seseorang, kelompok orang, dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang
tunai. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga seperti
saham, cek dan lainnya.
Munculnya penetapan tentang wakaf tunai dalam peraturan perundangan Indonesia sangatlah fenomenal karena uang bukan merupakan aset tetap yang berbentuk benda tidak bergerak seperti tanah, melainkan aset lancar.
Ketentuan
inipun berbeda dengan pemahaman mayoritas umat Islam Indonesia yang selama ini
banyak mengikuti pemikiran Syafiiyyah. Menurut mereka, barang yang diwakafkan
haruslah barang yang kekal manfaatnya, baik berupa barang yang tak bergerak
ataupun barang bergerak.
Secara
tegas, mazhab ini tidak membolehkan wakaf uang, karena uang akan lenyap ketika
dibayarkan, sehingga menjadi tidak ada wujudnya.
Tampaknya,
opini umat Islam seperti inilah yang ikut menyebabkan potensi wakaf tunai tidak
terberdayakan. Padahal, sebenarnya dalam catatan sejarah, wakaf tunai telah
dipraktikkan oleh masyarakat yang menganut mazhab Hanafi.
Imam
Bukhari mengungkapkan bahwa imam Az-Zuhri (w. 124 H) berpendapat dinar dan
dirham (keduanya mata uang yang berlaku di Timur Tengah) boleh diwakafkan.
Caranya ialah dengan menjadikan dinar dan dirham itu sebagai modal usaha
(dagang), kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf.
Nah,
berdasarkan rekaman historis ini, tentunya keraguan sebagian khalayak tentang
kelestarian benda wakaf tunai dari sisi syar’iy sudah terjawab. Apalagi, MUI
pada 11 Mei 2002 sudah mengeluarkan fatwa bahwa wakaf tunai hukumnya jawaz
(boleh).
Jadi,
titik persoalannya terletak pada utuh atau tidaknya uang yang diwakafkan itu
ketika diambil manfaatnya.
Sementara itu, kalau melihat perkembangan sistem perekonomian yang berkembang di Indonesia sekarang ini, sangatlah mungkin melaksanakan wakaf tunai. Yaitu, dengan cara ia diserahkan kepada lembaga nazhir. Nazhir tersebut harus lembaga keuangan syariah. Ia diberi wewenang untuk menerima, menyalurkan, dan mengelola dana wakaf.
Difungsikannya
lembaga keuangan syariah, khususnya perbankan syariah, sebagai nazhir
setidaknya memiliki beberapa keunggulan yang dapat mengoptimalkan
operasionalisasi harta (dana) wakaf, yaitu ia memiliki jaringan kantor,
memiliki kemampuan sebagai fund manager, memiliki pengalaman dalam
jaringan informasi dan peta distribusi, dan memiliki citra positif.
Selain itu, pengelolaan dan pengembangan wakaf tunai harus dilakukan melalui investasi pada produk-produk lembaga keuangan syariah dan/atau instrumen keuangan syariah. Pengelolaan dan pengembangannya pun harus mengikuti program lembaga penjamin simpanan sesuai dengan peraturan perundangan.
Sedang,
bila diinvestasikan di luar bank syariah, ia harus diasuransikan pada asuransi
syariah. Mengenai pemberdayaannya, uang yang diwakafkan dapat dijadikan modal
usaha, atau diinvestasikan dalam wujud saham di perusahaan yang bonafide atau
didepositokan di perbankan Syariah, kemudian keuntungannya disalurkan sebagai
hasil wakaf.
Memang, ada persoalan krusial yang sangat potensial muncul ke permukaan, yaitu tentang akuntabilitas pengelolaan hasil dana wakaf tunai. Akuntabilitas ini akan sangat menentukan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi wakaf tersebut.
Oleh
karena itu, semua pihak, termasuk BWUT MUI DIY, harus senantiasa
mengaplikasikan akuntasi syariah secara konsisten. Tidak justru terjebak dalam
akuntansi kapitalis yang menerapkan entity theory dan proprietary
theory.
Akuntansi
Syariah tidak saja sebagai bentuk akuntabilitas (accountability)
manajemen terhadap pemilik institusi (stockholders), tetapi juga sebagai
akuntabilitas kepada stakeholders, alam, dan Tuhan.
Pertanggungjawaban
akuntabilitasnya tidak hanya diberikan kepada para wakif (pihak yang berwakaf)
dan Pemerintah, tetapi juga kepada masyarakat (stakeholders), alam (universe)
yang dinamakan akuntabilitas horizontal (horizontal accountability), dan
Tuhan yang disebut akuntabilitas vertikal (vertical accountability ).
Demikian
semoga sukses, barakah, dan penuh manfaat.
Eko Mardiono
Dewan
Pengawas Syariah
KJKS BMT
Turi Sembada dan
Cangkringan
Sembada
terima kasih
BalasHapusTerimakasih juga.
BalasHapus